DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Elza Peldi Thaher: Jika Buku Gratis, Buat Apa Menulis?

image
Elza Peldi Thaher. (OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Denny JA hari ini Sabtu 4 Januari 2024 berusia 62 tahun. Makin berumur makin produktif. Tiap hari menulis dan mengirimkannya ke berbagai media sosial.

Tulisannya mencerahkan karena selalu disertai riset data mutakhir. Belakangan Denny JA  juga makin rajin membagikan buku karyanya dalam format PDF  kepada publik secara luas secara gratis.

Terakhir ia membagikan karyanya “Mereka Yang terbuang Di Tahun 60-an”. Buku ini, mengangkat sejarah kelam tahun 60-an tentang diskriminasi di Indonesia.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: 60 Tahun Denny JA, Catatan Seorang Sahabat

Menulis buku ini memerlukan waktu, tenaga dan pikiran,  memerlukan riset, minimal riset perpustakaan, terutama karena topiknya berkaitan peristiwa sejarah yang kompleks. Apalagi, dalam buku puisi esai tersebut ada catatan kaki yang menambah kedalaman dan validitas informasi yang disajikan.

Sebelumnya, SATUPENA juga meluncurkan buku terbarunya yang luar biasa tebal, lebih dari 1000 halaman. Buku berjudul “Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024”, sesuai kebijakan yang diterapkan oleh Denny JA sebagai Ketua Umum SATUPENA, juga disebarkan dalam format PDF secara gratis, sehingga semua orang bisa membacanya tanpa biaya.

Padahal buku ini mendapat penghargaan dari MURI karena rekor jumlah penulisnya mencapai 221 orang. Buku penting ini membahas secara mendalam peristiwa politik sepanjang tahun 2024, khususnya mengenai demokrasi, pemilu, dan dampaknya bagi Indonesia.

Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana

Tentu saja, para pecinta buku merasa senang karena menikmati karya berharga ini tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, cukup dengan membuka ponsel mereka.

Membanjirnya buku digital yang bisa dibaca secara cuma-cuma, muncul pertanyaan mendalam: untuk apa menulis

Jika tulisan-tulisan yang dibuat dengan kerja keras, memerlukan waktu yang lama, bisa dibaca publik secara cuma-cuma, tanpa sepeser pun imbalan materi kepada penulisnya.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Keadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Apa yang tersisa untuk pengarang selain rasa lelah dan waktu yang hilang? 

Buku, yang dulu bisa membuat seorang penulisnya menjadi kaya raya, sekarang menjadi barang gratisan di dunia maya.

Buat penulis seperti Denny JA, itu mungkin tak masalah, karena ia sudah berkecukupan secara materi. Tapi bagaimana dengan penulis lain yang selama ini mengggantungkan hidup mereka dari menulis? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup jika karya mereka tidak lagi menghasilkan materi.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Denny JA, Penulis Lari Cepat 100 Meter

Untuk apa menulis jika tak mendapat imbalan dalam bentuk materi?

000

Kini telah datang era ketika karya penulis dapat dengan mudah tersebar secara gratis melalui format digital seperti PDF atau platform online lainnya, termasuk bajakan, yang membuatnya dapat diakses oleh publik secara luas.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Esoterika, Melanjutkan Gagasan Djohan Effendi

Hal ini menyebabkan pencetakan dan penjualan buku menjadi semakin sulit, karena begitu sebuah buku terdistribusi secara digital, buku tersebut langsung bisa dinikmati oleh banyak orang tanpa biaya, berkat kemajuan teknologi digital.

Dampaknya akan terasa kepada penulis yang berharap karyanya dihargai secara materi.

Pemerintah atau lembaga yang peduli terhadap dunia kepenulisan, seperti SATUPENA, sebenarnya dapat  membantu penulis menerbitkan karya-karya mereka.

Setiap buku yang diterbitkan akan melalui proses seleksi, di mana hanya karya yang dianggap layak dan berkualitas yang akan diterbitkan.

Dengan dukungan lembaga seperti SATUPENA, penulis dapat memperoleh imbalan materi yang pantas atas karya mereka, meskipun karya tersebut kemudian beredar secara gratis di publik. Hal ini memastikan bahwa penulis tetap mendapatkan penghargaan yang sesuai, sementara karya mereka tetap dapat dinikmati oleh masyarakat luas tanpa hambatan.

Tapi saya merasa pesimisTIS bahwa ide ini akan berjalan baik, mengingat perhatian pemerintah yang cenderung terfokus pada urusan politik, sedangkan filantropi yang mendukung dunia literasi masih sangat terbatas.

Banyak pihak yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya buku sebagai sarana untuk membangun peradaban. Peradaban itu sendiri tercipta oleh individu yang memiliki waktu dan kesempatan untuk menulis, terutama dalam bentuk buku.

Penulis perlu mendapat dukungan agar mereka bisa menghasilkan karya-karya yang berpotensi mengubah peradaban.

Buku-buku karya Karl Marx, sampai sekarang masih memengaruhi banyak orang di seluruh dunia, juga karya-karya Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan sejumlah penulis besar lainnya yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk sejarah dan peradaban manusia.

Kembali ke inti masalah, meskipun karya kita dibaca oleh banyak orang, jika tidak ada imbalan materi yang sebanding, untuk apa kita menulis?

Menulis ibarat menanam benih dalam tanah yang gersang—tanpa nutrisi yang memadai, benih itu sulit tumbuh menjadi pohon yang bermanfaat.

Penulis, sebagai penjaga cahaya peradaban, seharusnya mendapat penghargaan yang layak agar mereka terus mampu menyalakan api kreativitas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Tanpa imbalan yang pantas, semangat untuk menulis bisa meredup, seperti api yang kekurangan kayu bakar. ***

Pondok Cabe Udik 4 Januari 2025

Halaman:

Berita Terkait