DECEMBER 9, 2022
Kolom

Rizal Tanjung: Denny JA Semakin Berkibar di Tengah Kritikan

image
Rizal Tanjung (foto: Istimewa)

Oleh Rizal Tanjung*

Kritik yang dilontarkan oleh Doddi Ahmad Fauji tidak serta-merta menggugurkan posisi Denny JA sebagai penyair puisi esai. Ada beberapa alasan mengapa kritik tersebut tidak mampu mengubah status tersebut:

Menulis dan menciptakan karya sastra, termasuk puisi esai, adalah hak setiap individu. Kritik, sekeras apa pun, tidak dapat menghapus status seseorang sebagai penyair. Gelar tersebut lebih ditentukan oleh konsistensi berkarya dan penerimaan dari pembaca serta penikmat sastra.

Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Jejak Puisi di Ujung Zaman

Kritik Doddi adalah bagian dari tradisi polemik di dunia sastra. Kritik seperti ini tidak “menghapus” karya atau gerakan yang telah ada, melainkan memperkaya diskursus sastra. Justru, perdebatan ini menciptakan dinamika yang menyoroti relevansi puisi esai di dunia sastra.

Denny JA memiliki pendukung, sumber daya, dan jaringan yang solid. Meski mendapat kritik tajam, ia tetap memiliki ruang untuk memproduksi dan mempromosikan karya-karyanya. Bagi sebagian pihak, gerakan puisi esai dipandang positif, terutama dalam hal pendanaan dan eksposur.

Sejarah sastra dipenuhi perdebatan besar, seperti polemik antara sastra populer dan sastra serius. Namun, karya dan pengarang di balik polemik tersebut tetap bertahan. Kritik bukanlah akhir dari sebuah gerakan, melainkan bagian dari perjalanan sejarah sastra.

Baca Juga: Puisi En Jacob Ereste: Surat Cinta Kepada Marsinah di Sorga

Kritik Doddi lebih berfokus pada aspek moral dan etis gerakan puisi esai, bukan pada kualitas karya secara langsung. Status “penyair” tidak bergantung pada pengakuan individu tertentu, melainkan pada proses kreatif dan penilaian publik yang lebih luas.

Puisi esai Denny JA telah menarik perhatian besar. Namun, penerimaan estetisnya masih menjadi perdebatan. Sebagian kalangan sastra menganggap karya tersebut cenderung sebagai kampanye daripada memenuhi standar “seni murni.”

Sebagai penggagas puisi esai, Denny JA mencoba memperkenalkan format baru yang memadukan narasi cerita dengan puisi, dengan fokus pada isu-isu sosial seperti diskriminasi, kemiskinan, dan LGBT. Tema-tema ini relevan, tetapi tidak lepas dari resistensi di masyarakat konservatif Indonesia.

Baca Juga: Denny JA: AI Mempercepat Proses Kreatif Dalam Menulis Puisi Esai

Meski demikian, kritik terhadap puisi esai lebih banyak diarahkan pada metode promosi dan aspek etisnya. Klaim Denny JA bahwa puisi esai adalah “genre baru” dalam sastra Indonesia dianggap tidak proporsional dibandingkan penerimaan karya tersebut dalam dunia sastra.

Salah satu hal yang sering diperdebatkan adalah pendekatan marketing Denny JA dalam mempromosikan puisi esai. Banyak kritikus menilai bahwa promosi yang masif dengan hadiah besar dan klaim sepihak mengenai pengaruh puisi esai justru menutupi ruang kritik yang sehat.

Tradisi sastra Indonesia menjunjung tinggi kejujuran dalam berkarya dan kebebasan kritik. Ketika strategi promosi dianggap terlalu dominan, muncul kekhawatiran bahwa nilai estetis sastra tereduksi menjadi sekadar fenomena komersial.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Sangat Potensial untuk Alih Wahana ke Teater, Film, dan Karya Seni Lain

Karya sastra yang besar sering kali lahir dari keberanian berbicara tentang isu-isu tabu atau kontroversial. Penulis seperti Victor Hugo, James Baldwin, atau Pramoedya Ananta Toer pernah mengangkat tema ketidakadilan dan diskriminasi dalam karya mereka.

Dalam hal ini, Denny JA sah-sah saja menulis puisi esai dengan tema-tema seperti diskriminasi, LGBT, atau kemiskinan. Sastra memang berfungsi sebagai cermin realitas sosial. Namun, kritik tajam yang diterimanya lebih menyasar pada strategi promosi dan metode kampanye yang dinilai tidak selaras dengan tradisi sastra Indonesia.

Kritik dari para sastrawan terhadap puisi esai tidak lepas dari tradisi dialog dan diskusi intelektual yang sehat. Sebagaimana kebebasan Denny JA untuk berkarya, para kritikus juga memiliki hak untuk mempertanyakan metode dan substansi karyanya.

Baca Juga: Denny JA: Launching 37 Buku Puisi Esai Memberi Landasan Kukuh pada Angkatan Puisi Esai

Pada akhirnya, yang menentukan keberlanjutan suatu karya adalah sejarah sastra itu sendiri. Jika puisi esai memiliki kedalaman artistik, daya tahan, dan relevansi lintas zaman, maka karya Denny JA mungkin akan dikenang. Namun, jika karyanya hanya dikenal karena kontroversi dan promosi, ia bisa saja berakhir sebagai fenomena sesaat dalam sejarah sastra Indonesia.

Padang, 17 Desember 2024

*Rizal Tanjung adalah seorang seniman dan budayawan Sumatra Barat. ***

Halaman:

Berita Terkait