Kisah Zarof Ricar, Makelar Kasus di Mahkamah Agung
- Penulis : Maulana
- Selasa, 05 November 2024 17:22 WIB
Lee memberi contoh Indonesia sebagai negeri yang bobrok hukumnya. Para pemimpin negara Indonesia, kata Lee, tidak mampu membenahi dunia peradilan. Akibatnya, negeri kaya sumber daya alam tersebut miskin. Nyaris bangkrut, ujar Lee.
Waktu itu, sebagai WNI -- cerita Luthfi -- aku "panas" mendengar kritikan Lee. Aku katakan padanya, membandingkan Indonesia dan Singapura, not apple to apple.
Singapura itu luas wilayah dan populasinya hanya setara sebuah kabupaten di Indonesia. Belum lagi persoalan agama, budaya, dan tata cara hidup ratusan etnis yang mendiami nusantara.
Aku katakan pada Lee, Indonesia di masa depan, setelah melalui perjuangan panjang, akan menjadi "negeri hukum" yang lebih baik dari Singapura. Aku percaya saat itu, rezim reformasi akan berhasil menata hukum di Indonesia dengan baik, kata Luthfi.
Kenapa? Indonesia punya Pancasila, tegas Luthfi. Singapura, tidak! Orang Indonesia tidak melakukan korupsi bukan sekadar takut masuk penjara. Tapi juga takut masuk neraka, seperti tersirat dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lee terdiam mendengar argumentasiku. Ia mengangguk-angguk. Aku merasa "menang".
Baca Juga: Komisi Yudisial: Putusan Batas Usia Mahkamah Agung Tak Akan Terpengaruh Hasil Pemeriksaan KY
Tapi? Apa yang terjadi dalam dunia peradilan Indonesia setelah sekian tahun konferensi advokat internasional itu? Nothing!
Jujur, kenang Luthfi, aku malu kalau mengingat momen tersebut. Ternyata dunia peradilan Singapura terus berbenah dan memperbaiki diri. Kini Singapura termasuk salah satu negara dengan sistem hukum terbaik di dunia. No korupsi. No suap. No transaksi.
Hukum adalah panglima yang penuh kebesaran dan kehormatan. Hasilnya, negeri miskin sumber daya alam itu kini kaya raya. Investasi dari negeri maju terus mengalir ke Negeri Singa.
Baca Juga: Ketua Mahkamah Agung Bangladesh Obaidul Hassan Mundur di Tengah Aksi Protes Mahasiswa
Kini kasus Zarof membuka mata dunia, Indonesia terbukti gagal mereformasi sistem hukumnya. Dampaknya: hukum tak bisa dipercaya. Investor takut menaruh uangnya di Jakarta. Apalagi setelah indeks persepsi korupsi Indonesia terus memburuk. Bila tahun 2023 indeks tersebut mencapai 3,92, sekarang di 2024, turun di angka 3,85. Makin buruk.