Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Rabu, 09 Oktober 2024 17:33 WIB
Pertama, alur naratif serta karakter fiksi memungkinkan publik untuk merenungkan persoalan tersebut tanpa merasa langsung terancam.
Lapisan fiksi ini berperan sebagai jembatan yang membuat topik-topik berat dan sensitif lebih mudah diterima, membuka ruang bagi refleksi dan diskusi yang lebih terbuka dan empatik.
Kedua, lebih dari sekadar penyampaian informasi, sastra menembus ke ranah emosi. Ketika pembaca terlibat dalam kisah seorang tokoh yang menghadapi konflik identitas atau ketidakadilan sosial, misalnya, mereka tak hanya “mengetahui” permasalahan, tetapi ikut “merasakan” penderitaan dan dilema yang ada.
Dengan demikian, sastra menanamkan empati—perasaan yang memungkinkan kita memahami orang lain dari dalam, melampaui sekadar logika atau argumen.
Empati ini, yang tumbuh dalam setiap kalimat puitis dan naratif, membuka hati dan pikiran, menciptakan ruang bagi penerimaan gagasan-gagasan baru yang mungkin sebelumnya ditolak atau dihindari.
ketiga, sastra membawa pengaruh yang kuat namun tidak konfrontatif. Lewat kisah atau puisi, gagasan yang mungkin menentang norma sosial ditanamkan dalam kesadaran pembaca dengan cara yang tidak langsung.
Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Pohon Buku di Rumahku
Karya sastra yang menyentuh isu-isu tabu seperti kebebasan berekspresi atau perjuangan identitas bisa membentuk pola pikir baru yang mengakar secara halus.
Sebuah puisi atau novel tidak hanya hadir untuk sekali baca; ia tertinggal dalam pikiran pembaca, membentuk sudut pandang yang baru dan berkembang seiring waktu.
Dalam hal ini, sastra menjadi medium perlawanan yang subtil, namun dengan pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan, mengubah cara kita melihat dunia dengan sentuhan yang lembut, namun kuat.
“Sastra adalah suara yang membawa kita ke dalam rahasia dan kebenaran hidup yang tidak terucapkan.”