DECEMBER 9, 2022
Buku

Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya

image
Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya. (istimewa)

Sophia, sebagai AI, mencoba mengangkat relevansi sosial dari puisi-puisi ini, menawarkan perspektif baru tentang dinamika identitas dan kemanusiaan. 

Meski Sophia memberikan pandangan kritis, interpretasinya sering kali belum sennsitif dengan konteks budaya Indonesia dan keunikan lokal yang melekat pada karya-karya Agus.

Ketika membahas cinta dan identitas dalam masyarakat Indonesia, budaya lokal dan nilai-nilai kebangsaan memiliki pengaruh besar, sehingga interpretasi Sophia yang berorientasi Barat belum menyentuh aspek budaya Indonesia yang kaya dan beragam. 

Baca Juga: Kota Makassar Gelar Baca Buku Serentak di Hari Kunjung Perpustakaan Nasional 2024, Pesertanya 3.500 Orang

Namun, Sophia memberikan perspektif bahwa teknologi juga dapat menjadi alat untuk menjelajahi tema-tema kompleks ini.

Buku ini, dengan puisi esai dan kontribusi AI Sophia, menjadi simbol perkembangan puisi esai di Indonesia yang pertama kali saya populerkan pada tahun 2012 lewat Atas Nama Cinta. 

Genre ini sejak itu berkembang sebagai pohon yang terus  mencari akar di tanah sastra Indonesia. From the River to the Sea adalah salah satu buah termanis dari pohon tersebut.

Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Pohon Buku di Rumahku

Buku puisi esai Agus R Sarjono menjadikan puisi esai From the River to the Sea Husam Husky Rhapsody sebagai menu utama. Puisi itu juga menjadi judul buku. Tapi hadir pula banyak puisi esai lain versi yang lebih pendek.

-000-

Mengapa hal- hal tabu lebih efektif disampaikan lewat sastra agar ikut memulai public discourse? Mengapa puisi esai memang diarahkan untuk memfiksikan true story, kisah sebenarnya, terutama isu yang masih menjadi tabu?

Baca Juga: Canda Airlangga Hartarto tentang Buku Sri Mulyani sebagai Sinyal Lanjut Jadi Menteri di Pemerintahan Berikutnya

Sastra memiliki kemampuan unik untuk menyampaikan isu-isu tabu dengan cara yang lebih efektif dan halus. Ketika tema-tema yang sensitif, seperti LGBT, diskriminasi, atau konflik agama, dibahas melalui lapisan fiksi, sastra menciptakan “jarak aman” bagi penulis dan pembaca. 

Halaman:
1
2
3
4
5

Berita Terkait