Catatan Denny JA: Negaraku Hilang, Kekasihku Sirna
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 23 September 2024 08:18 WIB
Dua burung berputar di atas mereka,
seperti janji yang melayang di udara,
dua kelopak bunga berpelukan, diam dalam makna.
Di Moskow,
Asnawi belajar keras,
tapi bahkan namanya berubah.
Tak ada huruf “W” di sana.
"W" menjadi "V",
Asnawi menjadi Asnavi,
seolah nasibnya ikut berubah bersama namanya.
Nama yang lama hilang.
Dalam hati ia bertanya,
"Apakah aku kehilangan diriku juga?"
Baca Juga: Swary Utami Dewi: Catatan Politik Kebinekaan untuk Bang Trisno S. Sutanto.
Musim semi tiba.
Di toko kecil di Arbat Street,
Asnavi membeli dua cincin kecil,
penanda janji yang selalu ia bawa dalam pikirannya.
Setiap malam, wajah Nirmala menghiasi langit-langit kamarnya,
cinta yang tak terjangkau,
harapan yang tertambat pada sepotong logam.
Namun, takdir menulis kisah lain.
Angin sejarah berputar liar,
tahun 1965,
Bung Karno jatuh,
Indonesia terguncang,
dan mereka yang belajar di negeri jauh dipanggil pulang,
bukan untuk membangun, tapi untuk dihukum.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Di Kereta Itu, Tak Ditemukannya Sepasang Mata Bola
Nama Asnawi masuk daftar hitam,
pengkhianat, begitu mereka berkata.
Jika pulang, penjara menanti,
jika tak pulang, ia tanpa negara,
tanpa tanah untuk berpijak,
tanpa langit untuk menatap.
Hari-hari bergulir seperti salju yang tak pernah berhenti.
Paspor hilang,
negara lenyap,
dan surat-surat dari Nirmala memudar.
Semua menjadi mimpi,
yang terhapus oleh fajar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Revolusi Kreativitas Bersama Artificial Intelligence (1)
Asnavi pindah ke Praha,
kota asing yang ia paksa menjadi tempat bertahan,
namun di hatinya, cinta untuk Nirmala masih menyala,
tertahan dalam celah harapan,
seperti api kecil yang melawan angin.