Swary Utami Dewi: Catatan Politik Kebinekaan untuk Bang Trisno S. Sutanto.
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 31 Maret 2024 16:26 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Trisno S. Sutanto. Abang senior yang satu ini nyentrik. Aku mengenalnya sudah puluhan tahun. Seingatku sejak di acara-acara diskusi Paramadina di pertengahan tahun 1990-an.
Dari dulu, ia berwatak ceria dan humoris. Tiba-tiba ia suka berpendapat unik saat diskusi dan itu menunjukkan kecerdasannya. Untuk isu kebinekaan dan kebangsaan ia jagonya; Sejago sifatnya yang nyentrik.
Aku masih ingat. Dulu di sela-sela diskusi, Bang Trisno terkadang menunjukkan lembaran-lembaran ketikan buah pikirannya. "Hayo, baca ini," ujarnya.
Baca Juga: Natal dan Tahun Baru, Mukhlis Basri PDIP: Semoga Umat Kristen Suka Cita dalam Kebhinekaan
Aku biasanya membaca sekilas lalu memberikan kembali kertas-kertas itu. Tulisannya memang lebih banyak tentang isu kebinekaan, pluralisme, hak asasi manusia ( HAM). Seputar itulah.
"Keren, Bang," ujarku, yang biasanya disambut tawa lepasnya. Bisa jadi tulisan-tulisan itulah yang kemudian menjadi buku Politik Kebinekaan: Esai-Esai Terpilih, yang diterbitkan pada 2020.
Setahuku, Bang Trisno mengagumi pikiran-pikiran Cak Nur dan Gus Dur. Maka tidak heran ia getol menyambangi diskusi-diskusi yang ada dua tokoh ini. Ia menyimak dengan serius dan mencatat. Dan tampaknya, perjumpaan-perjumpaannya dengan para guru bangsa inilah yang membentuk pemikiran Bang Trisno.
Ia seakan -- dan memang -- menemukan cintanya pada isu-isu "serius" tentang pluralisme, kemanusiaan dan kebangsaan. Bukti baktinya pada isu-isu ini bukan hanya pada kegemarannya hadir di diskusi-diskusi terkait, tapi juga argumen yang cerdas dan bernas dalam narasi lisan dan tulisan -- dan salah satunya tergambar dalam buku tebal di atas tadi.
Bagi Trisno, isu-isu tentang pluralisme dan kebangsaan harus dibicarakan secara terbuka. Dialog menjadi titik penting sebagai pembuka pintu kemajemukan dalam rangka merekatkan bangsa dan mengembangkan kemanusiaan. Tapi Trisno tidak berhenti sampai di sini saja. Ia mengajak kita melanjutkan ke langkah kepedulian.
Tidak cukup mengembangkan pluralisme dan kebangsaan, jika masih ada mayoritas masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Maka, Trisno mengetuk hati kemanusiaan kita untuk memikirkan pula cara mengubah struktur sosial ekonomi yang timpang. Tujuannya jelas: untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Baca Juga: Satrio Arismunandar: Konsep Kanon Sastra di AS Dikritik Karena Kurangnya Keragaman dan Inklusivitas
Di sini aku jadi teringat almarhum Buya Syafii Maarif, yang sering mengingatkan kita, yang lalai menjaga sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.