DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Denny JA Lesehan Menonton Kabaret Transpuan di Yogyakarta

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - “Di atas panggung kabaret, saya bisa melepaskan semua topeng yang dipaksa masyarakat untuk saya kenakan. Di sinilah, dengan kostum dan cahaya lampu, saya menemukan kebebasan untuk menjadi diri saya yang sejati."

Ekspresi ini saya dengar ketika menonton TV di Thailand, yang menampilkan kisah aktivis kabaret show di sana, sekitar 14 tahun lalu.

Pemeran kabaret show di Thailand itu semuanya lady boy, transpuan, wanita tapi pria (waria).

Baca Juga: Catatan Denny JA: Di Kereta Itu, Tak Ditemukannya Sepasang Mata Bola

Acara kabaret bagi transpuan, waria, atau lady boy ini tak hanya panggung hiburan. Ia juga menjadi media ekspresi. 

Transpuan ini acapkali mendapat cemooh dan diskriminasi dari masyarakat. Tapi di panggung kabaret, kepala mereka tegak, bebas menyatakan diri, dan memperoleh tepuk tangan. Kabaret juga menjadi terapi bagi transpuan.

Ucapan aktivis transpuan di Thailand itu terngiang-ngiang di pikiran, saat saya duduk lesehan di lantai tiga Hamzah Batik, di malam 7 September 2024. Sejak pagi saya persiapkan diri ingin menikmati pertunjukan Raminten Cabaret Show.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Revolusi Kreativitas Bersama Artificial Intelligence (1)

Berbagai ragam tari dipentaskan di Raminten Cabaret Show. Mulai pembuka tari tradisional Jawa, sampai gemerlap superstar dari Dancing Queen, ABBA, sampai Jennifer Lopez, yang diperankan transpuan dengan lip sync.

Musik menyentak. Panggung gemerlap. Permainan lampu. Kembang api. Tari-tarian yang seksi, lucu, sampai berseni.

Dengan tiket yang terjangkau, Raminten Cabaret Show telah menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan dan warga lokal. Dan ini yang hot, ia juga menjadi panggung pemberdayaan para transpuan.

Baca Juga: Paus Berkati Lukisan Karya Denny JA Tentang Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia

-000-

Raminten Cabaret Show lahir dari tangan kreatif Hamzah Sulaeman, yang juga adalah pemilik Hamzah Batik.

Pertunjukan ini didirikan pada awal tahun 2010 dan dengan cepat menjadi fenomena hiburan malam di Yogyakarta.

Baca Juga: Lukisan Karya Denny JA di Gereja Katedral Jakarta Diberkati Paus Fransiskus

Nama Raminten berasal dari karakter perempuan yang dimainkan oleh Hamzah di serial televisi lokal yang populer berjudul Pengkolan.

Dalam acara tersebut, Hamzah menciptakan karakter Raminten, seorang wanita Jawa dengan gaya flamboyan dan humor yang kental.

Raminten Cabaret Show menjadi perpanjangan karakter tersebut di dunia nyata, namun dengan fokus pada pemberdayaan komunitas transpuan dan waria melalui seni pertunjukan.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Pesan yang Dibawa Seekor Burung yang Hinggap di Pundakku

Sekitar 14 tahun lalu, saya juga berkesempatan menonton kabaret transpuan di Thailand. Salah satu pertunjukan paling terkenal, Tiffany's Show di Pattaya.

Tiffany's Show pertama kali dipentaskan pada tahun 1974. Ia bermula sebagai sebuah pertunjukan kecil yang digagas oleh Tiffany, seorang transpuan di Thailand.

Seiring berjalannya waktu, kabaret ini tumbuh menjadi atraksi besar dengan panggung megah, kostum gemerlap, dan penonton dari berbagai belahan dunia.

Baca Juga: In Memoriam: Faisal Basri dan Nyanyian Suara Kritisnya di Mata Denny JA

Dalam pertunjukan tersebut, para transpuan (atau kathoey di Thailand) memamerkan bakat mereka dalam tari, nyanyian, dan lip sync.

Di Thailand, kabaret oleh transpuan tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga industri besar yang mendatangkan wisatawan dari seluruh dunia.

Penonton datang bukan hanya untuk melihat glamornya para penampil. Mereka juga merayakan keberagaman gender. Thailand telah menjadi tempat yang lebih ramah untuk para transpuan.

Baca Juga: Asri Venon, Juara Lomba Swafoto Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia Karya Denny JA

Kabaret transpuan di Thailand berhasil memadukan hiburan dan penghormatan kepada identitas gender yang berbeda. Ia juga memosisikan diri sebagai salah satu atraksi budaya yang utama.

-000-

Menonton kabaret, baik di Yogyakarta maupun di Thailand, membuat saya menyadari bahwa bagi para transpuan, kabaret bukan hanya sekadar bisnis pertunjukan. Kabaret menjadi forum pernyataan identitas.

Baca Juga: Lavina Putri Akbar, Juara Lomba Swafoto di Depan Lukisan Festival Toleransi Karya Denny JA

Ini sebuah panggung di mana mereka bisa menampilkan diri yang sejati. Di atas panggung, mereka bisa melepaskan beban norma sosial yang mengungkung. Mereka justru merayakan identitas transpuan dengan penuh kebanggaan.

Setiap tarian, setiap gerakan di atas panggung itu deklarasi bahwa mereka ada, mereka diakui, dan mereka diterima oleh penonton yang mendukung.

Namun, ketika saya membandingkan kedua pertunjukan tersebut, dengan kabaret asli di Eropa, ada satu elemen yang terasa absen. Tak hadirnya satire dan kritik sosial di sela-sela lagu dan tarian.

Baca Juga: Tafsir Hermeneutika Lukisan Karya Denny JA: Menyingkap Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Kabaret klasik di Eropa, terutama di Weimar Republic pada 1920-an, tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan kritik sosial yang tajam. (1)

Mereka memakai satire untuk menyapa dan mengkritik pemerintah, kebijakan politik, dan kemerosotan moral masyarakat waktu itu. Namun acapkali kritik itu disampaikan secara humoris.

Sebenarnya ada peluang bagi seniman transpuan di Yogyakarta untuk memakai kabaret ini sebagai alat kritik sosial yang lebih kuat. Misalnya mereka menyelipkan komentar isu lokal seperti ketidaksetaraan gender, diskriminasi, atau bahkan politik nasional.

Namun saya memahami. Satire atau kritik sosial itu mungkin sengaja dihindari agar panggung transpuan ini tak menambah kontroversi. ***

Jogjakarta, 8 September 2024

CATATAN 

(1) Aslinya, kabaret menyelipkan satire dan kritik sosial 

https://lwlies.com/articles/cabaret-bob-fosse-social-critique/

Berita Terkait