Energi Fosil Versus Energi Terbarukan: Sisi Ekonomi dari Gerakan Ekologi dan Green Religions
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Minggu, 18 Agustus 2024 11:29 WIB
Itu pula sebabnya negara-negara yang tahu data ini, termasuk PBB dan 195 negara lainnya, membuat Paris Agreement pada tahun 2016.
Mereka tahu bahwa kita harus beralih ke energi terbarukan, tetapi belum bisa dilakukan sekarang, sehingga dibuatlah rencana bertahap hingga tahun 2050. Diharapkan pada saat itu, energi terbarukan bisa mensuplai 70 hingga 90% kebutuhan energi.
Namun, berita pentingnya ada negara-negara yang sudah mencapai level penggunaan energi terbarukan hingga 70%- 80%, seperti negara-negara Skandinavia. Contohnya Islandia dan Norwegia.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Mundurnya Joe Biden dan Kemungkinan Presiden Perempuan Pertama di Amerika Serikat
Mereka berhasil mencapai ini bukan hanya karena sumber daya alam yang bagus dan komitmen besar dari pemerintah mereka. Tetapi ini terjadi juga karena inovasi teknologi yang terus-menerus membuat harga energi terbarukan semakin lama semakin murah.
Cara paling efektif untuk mengkampanyekan energi terbarukan ternyata dengan terus-menerus menciptakan teknologi yang akhirnya berhasil memproduksi energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan energi fosil.
Bukan hanya unitnya yang lebih murah, tetapi juga biaya kapital awal untuk teknologinya akan jauh lebih rendah.
Baca Juga: ORASI DENNY JA: Katakan dengan Lukisan
Hal ini akan terjadi, terutama dengan perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang nanti akan mampu menciptakan rumus-rumus untuk membuat teknologi energi terbarukan lebih murah.
Perdebatan dua gerakan ini: HENTIKAN energi fosil SEGERA versus TAK ADA KETERGESAAN menghentikan energi fosil bisa selesai ternyata bukan karena debat filsafat, tapi penemuan teknologi baru.***
CATATAN
(1) Gerakan Katolik pro Lingkungan Hidup dengan Divestasi, menarik investasi dari bisnis berbasiskan enerji fosil