Renungan Iduladha: Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 17 Juni 2024 17:41 WIB
Tiga hal yang bisa membuat pandangan dari Shahid Ali Mutaqqi ini menguat dan potensial lebih banyak lagi yang mendukung tafsir ini.
Pertama adalah kesepakatan pada filsafat dari tafsir itu. Mereka yang setuju memahami bahwa kisah Nabi Ibrahim itu lebih kuat pada ajaran moralnya.
Bahwa ini kisah bagaimana seorang insan manusia, seorang nabi akhirnya memilih lebih cinta pada Tuhan, lebih cinta pada kebenaran ketimbang cinta bahkan kepada anak kandungnya sendiri. Kisah hewan sebagai kurban bukan pesan utama.
Filosofi ini sangat dalam. Menyentuh. Prinsip moralnya melampaui sekedar kisah kurban hewan belaka.
Kedua: keberagaman dimensi sosial yang lebih terlayani, jika kurban itu tidak harus hewan. Kurban juga bisa dalam bentuk derma, dana tunai, dan sebagainya.
Pada segmen masyarakat yang membutuhkan daging hewan, mereka tetap bisa terlayani. Tapi di segmen yang lebih membutuhkan dana untuk pendidikan, mereka juga bisa diakomodasi. Di segmen yang lebih perlu fasilitas kesehatan, itu pun bisa diberikan.
Jika kurbannya berupa dana, maka kurban ini bisa disalurkan lebih bervariasi. Kurban dapat dibagikan sesuai kebutuhan dari masing-masing segmen yang akan dibantu.
Ketiga: ini era lahirnya kesadaran yang lebih kuat soal lingkungan hidup dan animal rights. Muncul banyak gerakan dan civil society tentang pentingnya hewan untuk lebih dilindungi.
Ini era dimana kedekatan manusia dengan hewan itu semakin kuat dan dalam dibanding babak sejarah sebelumnya.
Data menunjukkan di Amerika Serikat juga di Eropa, lebih dari 50% rumah tangga sekarang ini memelihara hewab. Tak hanya anjing, tapi juga kucing.