Ketika Elon Musk dan Jeff Bezos Bersemayam di Mahakam
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 11 Juni 2024 05:53 WIB
-000-
Seperti sudah saya tulis di depan bahwa saya bukan kritikus rupa, maka saya tidak berpretensi menulis kritik komprehensif. Saya hanya seorang tamu hotel dalam 1x24 jam. Entah turis backpacker mancanegara atau pebisnis UMKM dari luar kota yang sedang ada urusan di Blok M.
Tema lukisan yang paling saya nikmati adalah revisiting/revisited karya-karya pelukis dunia. Bagi peminat seni lukis serius, apalagi kritikus, boleh jadi sebaliknya. Lukisan-lukisan tema ini bisa terlihat sebagai pastiche (karya imitasi yang meminjam elemen karya-karya lain yang lebih sohor), bahkan sebagai kitsch yang dalam pandangan Theodor Adorno (1903 – 1969, sosiolog-filsuf Jerman motor Mazhab Frankfurt), adalah “fenomena industri budaya di mana seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh kebutuhan pasar”.
Penilaian seperti ini sangat mungkin muncul dari lukisan lainnya seperti Cafe Terrace at Night karya van Gogh namun dengan improvisasi penambahan sosok baru, seorang perempuan berwajah Oriental sedang bekerja dengan laptop di seberang para pengunjung cafe.
Tema yang menarik lainnya bagi saya adalah serial meditasi, permenungan, dan cuplikan kata-kata sufistik. Ini sangat dibutuhkan sebagai tamu hotel yang biasanya bergegas dengan riuh kesibukan duniawi. Dengan melihat lukisan-lukisan tema ini yang digarap dengan memadukan kedalaman makna spiritual dan eksperimen visual AI akan cukup mampu memberikan efek keteduhan.
Yang paling kurang saya nikmati—dalam konteks sebagai tamu hotel—adalah tema Covid-19 dan Pilpres 2024. Visualisasi korban Covid-19, bentuk virus, pemakaman, petugas dengan hazmat, proses vaksinasi, hemat saya bisa mendatangkan pengalaman kurang menyenangkan, sampai trauma, bagi tamu hotel yang kehilangan anggota keluarga tercinta pada masa pandemi yang belum lama berlalu. Bahkan bagi para penyintas pun, melihat kembali rangkaian lukisan pandemi saat mereka masuk dan keluar kamar, atau sekadar melintasi selasar, akan membuat kurang nyaman.
Pun dengan tema Pilpres 2024. Kendati Denny JA menampilkan secara proporsional sosok ketiga pasangan (Anies Baswedan-Cak Imin, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD) dan para pendukung utama mereka (Rhoma Irama, Ahmad Dhani, Slank) pada berbagai kanvas, namun estetika visual dan peran AI sebagai “asisten” Denny JA dalam mengkreasi lukisan, tidak mencapai daya kejut optimal seperti pada tema Revisiting atau Meditasi.
Penempatan beberapa lukisan juga berpotensi mengurangi kenikmatan seperti terganggu tiang bangunan. Atau lokasi penempatan yang kurang optimal seperti lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (Raden Saleh, 1857) yang dalam versi revisited Denny JA (2023) dipasang pada dinding kanan undakan menurun di lantai 5. Sementara persis di seberang tangga, pada posisi yang lebih strategis, terpampang lukisan Gustav Klimt Portrait of Adele Bloch-Bauer yang--saya yakin--sangat asing bagi mayoritas tamu hotel kecuali penikmat serius lukisan. Jika posisi lukisan Raden Saleh dan Gustav Klimt ini ditukar posisi, hasilnya akan lebih bagus lagi.
Di luar beberapa catatan kecil ini, pertanyaan saya tentang mengapa nuansa gloomy, kesendirian, kesepian, kesedihan, penderitaan, begitu mendominasi dan terasa kental pada 188 lukisan kreasi Denny JA, rupanya mendapat jawaban dari salah satu lukisan yang terpajang di lantai 3. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan duduk di atas kasur, memandang keluar jendela. Tak ada orang lain di dalam kamar tidurnya kecuali sesosok cyborg di pojok kanan lukisan yang tak dilihat perempuan itu.
Judul lukisan? Lonely Heart Can’t Be Healed By AI. Dahsyat, bukan?