DECEMBER 9, 2022
Kolom

Ahmad Nuri: Gaza Sekarang adalah Indonesia Pada Masa Perang Kemerdekaan

image
Massa dari Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis (KIBBM) menggelar aksi bela Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Sabtu, 1 Juni 2024. Aksi bertajuk All Eyes on Rafah itu sebagai bentuk protes atas kekejaman Israel yang melakukan serangan di Rafah, Gaza Selatan, Palestina dan meminta Amerika Serikat untuk menghentikan dukungan kepada Israel. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Yogyakarta yang menjadi wilayah kedaulatan sekaligus benteng terakhir Indonesia tidak ubahnya Rafah yang kini menjadi titik perlindungan terakhir rakyat Palestina di Gaza. Selama berbulan-bulan Rafah difungsikan sebagai area pengungsian bagi warga sipil.

Tidak ada lagi tempat untuk berlindung dan bersembunyi. “All Eyes On Rafah” sempat menjadi trending dunia ketika tempat perlindungan terakhir itu ternyata tidak luput dari serangan militer Israel.

Anomali sejarah?

Baca Juga: Lebih dari 120 Jenazah Warga Palestina Ditemukan Setelah Pasukan Israel Tinggalkan Kamp Jabalia di Gaza

Setelah membahas sekilas persamaan nasib serta penderitaan dan mentalitas antara Gaza dan Indonesia masa lampau, kini tibalah saatnya semua mata mengarahkan perhatian pada aspek terdalam konflik Israel-Palestina sebagai suatu anomali kemanusiaan dan sekaligus noda besar sejarah bagi dunia, yakni bagaimana mungkin Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan lebih dari 8 dekade lamanya tidak berdaya menyelesaikan masalah ini.

Bagaimana mungkin humanisme dunia modern yang kita jalani dewasa ini bertekuk lutut terhadap praktik dehumanisasi terang-terangan yang seharusnya lebih pantas terjadi 2.000 tahun lalu.

Hampir 30 persen dari 36.000 lebih jumlah korban adalah anak-anak. Jika dunia penuh dengan kontradiksi, maka saat inilah kontradiksi terbesar sepanjang sejarah sedang dipentaskan.

Baca Juga: Presiden Zelenskyy: Ukraina Akui Palestina sebagai Negara Merdeka dan Akan Bantu Akhiri Konflik di Gaza

Tetapi bahkan di tengah kontradiksi sebagai suatu gejala nyata, kita tetap memperoleh sisi paling logis bila merujuk pada realisme politik yang telah dijelaskan sejak 2.400 tahun lalu oleh sejarawan masa lampau Thucydides. Ia menilai relasi antarbangsa dalam praktik tidak akan pernah berubah dari tabiatnya. Hubungan antarbangsa dan negara di dunia tidak berlandaskan pada kebenaran serta kemanusiaan, namun pada kekuatan.

Dengan kekuatan, entitas manapun akan mampu menguasai dunia dan bila perlu membengkokkan arah sejarah. Sesuatu yang tampak sebagai anomali, akan berubah dan diakui sebagai realitas begitu saja. Itu hukum realisme.

Berlarutnya permasalahan antara Israel-Palestina tentu saja lebih dari sekadar diskursus antarkekuatan. Ada juga permasalahan ekonomi, permasalahan sejarah, dan kecenderungan kepentingan politik melanggengkan kekuasaan di internal Isarel, tidak terkecuali di pihak Palestina.

Baca Juga: Abdul Kadir Jailani: Indonesia Lakukan Tekanan Diplomatik Lebih Keras untuk Dorong Kemerdekaan Palestina

Hanya saja, dengan segala hormat, tanpa bermaksud menyingkirkan bab-bab lain yang menjadi musabab kompleks dan berlikunya penyelesaian masalah Israel-Palestina, kesediaan untuk menyudahi tragedi berkepanjangan dari negara super kuat tetap sangat menentukan.

Halaman:
1
2
3
4
5
Sumber: Antara

Berita Terkait