DECEMBER 9, 2022
Puisi

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (15): Ibu dari Ciawi Mencari Anaknya Orang Belanda

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Itu terakhir kali, Bi Inah melihat anaknya, Elmo.
Usia Elmo lima tahun.

Tuan Belanda hanya sampaikan pesan.
“Ini. 
Jika rindu anakmu,
kirim surat ke alamat ini.
Di Den Haag, di Belanda.” (1)

“Rumah dan usaha ini,
semua kamu ambil.
Tapi anak ini, anakku, ikut aku.”

Elmo juga menangis,
tak ingin dipisahkan.
Tapi Elmo dibawa paksa, pergi.
Pergi pula mataharinya.

Setiap minggu Bi Inah kirim surat.
Tak berbalas.
Sudah ratusan surat ditulisnya.
Tak berbalas.
Tahunan sudah.
Tak berbalas.

Tahun 1967, Bi Inah ditemani seorang aktivis terpelajar, ke Belanda,
mencari Elmo.
Ternyata itu alamat palsu.
Tak ada alamat itu.

“Tak heran, suratku tak berbalas,”
Bi Inah menangis dalam hati.
“Teganya, kau Tuan Ernest.
Ia juga anakku.”

Kembali ke Cimahi,
Bi Inah kembali ke derita.
Ia dianggap sampah masyarakat,
menjadi gundik orang kafir Belanda.
Berzinah dengan tuan Belanda, tak pernah dinikahi resmi.

Hanya Joko, anak angkatnya,
yang memahami.
Rumah itu, yang ditinggalinya sejak dulu, 
kenangannya dengan Elmo, dijualnya.

Bi Inah pindah ke Bogor.
Ia perlu lingkungan baru.
Ia ingin lepas dari masa lalu.
Ia harus ke tempat yang tak mengenal dirinya.

Halaman:

Berita Terkait