DECEMBER 9, 2022
Puisi

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (15): Ibu dari Ciawi Mencari Anaknya Orang Belanda

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Tahun 1936, di Cimahi.
Usia Bi Inah baru 18 tahun.
Ia dijual ayahnya ke tentara KNIL Belanda.
Keluarga Bi Inah dililit hutang.

Bi inah berontak.
“Aku tak mau,
aku sudah punya calon suami.”

Bi Inah kabur dari rumah tentara Belanda.
Tapi Ayah dan Ibunya dijadikan sandera.
Itu perjanjian ketika Bi inah dijual.

Pagi, siang, malam, tak henti.
Bi Inah melayani tuan Belanda.
Ia pun hamil.
Elmo lahir.

Bi inah besarkan Elmo.
Ia menyusuinya.
Ia timang- timang agar tidur.
Hanya Elmo hiburannya.
Ia berikan nyawanya untuk Elmo.
Cinta ibu pada anak.

Tahun 1942, Jepang datang.
Belanda dikalahkan.
Malam itu rumah tuan Belanda digerebek Jepang.
Tuan Belanda sedang tak di rumah.

Wajah Elmo terlihat mirip Belanda.
Senapan diarahkan ke wajah Elmo.
“Mana Ayahmu,”
tanya tentara Jepang.
Elmo menangis ketakutan.

Bi Inah teriak histeris.
“Jangan Pak, bunuh saya saja.
Ia anak saya.
Tak tahu apa-apa.”

Itulah awal Elmo dibawa pergi Ayahnya, ke Belanda.
“Aku dan Elmo tak aman tinggal di sini,” kata tuan Belanda itu,
lelaki yang dilayaninya bertahun-tahun.

Bi Inah memohon dibawa serta, tapi tak didengar oleh Tuan Belanda.
Bi Inah menangis.
Diciumnya tapak kaki tuan Belanda.
Memohon.
Agar ia tak dipisahkan dari anaknya.
Tak digubris.

Halaman:

Berita Terkait