Abustan: Imaji Demokrasi, Kembali ke Rumah Sendiri
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 25 Maret 2024 02:13 WIB
Sesungguhnya, sedari awal Soekarno menyatakan bahwa demokrasi liberal sangat tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian rakyat Indonesia.
Demokrasi tidak lagi merefleksikan "saling merawat" dan "saling menghormati" sebagai sesuatu yang penting, yaitu mutual respect sebagai anak bangsa. Namun, setiap kali habis pemilu yang tersisa adalah konflik pertentangan dan keterbelahan anak bangsa.
Bahkan, politik kita akan memasuki wilayah rawan, yaitu ideologi liberal yang ada di sistem politik kita akan menjadi "titik rawan" menggerogoti prilaku koruptif dan manipulatif.
Baca Juga: Dr Abustan: Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesejahteraan
Pada tahap ini telah cukup isyarat untuk menyimpulkan bahwa demokrasi yang diperjuangkan dalam amandemen ke empat (2002) berjalan di atas fondasi yang tak kuat.
Justru menciptakan, pendalaman oligarki, perluasan korupsi, pelebaran kesenjangan sosial, dan moral hazard yang melanda penyelenggara negara. Kesemuanya ini, mencerminkan kondisi - kondisi yang makin kontradiktif dengan ideal - ideal demokrasi.
Padahal demokrasi pada hakekatnya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara. Karena itu, dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa "semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi.
Baca Juga: Dr H Abustan: Sepekan Ramadan Berlalu
Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarki, pemerintahan otoriter dan tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, desain yang menjadi imaji demokrasi yang kita pilih justru kian memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Fakta itu menunjukkan bahwa institusi demokrasi juga "menggelembungkan" biaya kekuasaan. Di mana kekuatan modal mendikte demokrasi. Faktor ini memunculkan keyakinan yang luar biasa bahwa uang adalah jalan keluar. Berburu uang adalah pekerjaan pokok dari elite partai politik.
Jadi, sistem demokrasi di era neoliberal ini, ranah pilihan pengabdian bagi rakyat mengalami pergeseran dari yang berkarakter ideologi yang kuat menjadi orentasi materialistik, yaitu ketika uang menjadi satu-satunya alat untuk menjadi politik.
Baca Juga: Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
Pada tataran ini, korupsi politik mensubordinasikan kepentingan publik pada kepentingan privat - komunal. Harapan untuk mewujudkan keadilan melalui demokrasi di Indonesia semakin suram.