Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 11 Agustus 2023 17:30 WIB
Oleh: Abustan, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta.
ORBITINDONESIA.COM - Apakah situasi yang ada bukan pertanda kekacauan di bidang kebebasan berekspresi dan juga dalam cakrawala perikemanusiaan, yang seharusnya dijaga sebagai sesuatu yang amat tinggi nilainya.
Akan tetapi, dengan banyaknya laporan yang diarahkan kepada Rocky Gerung, baik berupa Pidana maupun Gugatan Perdata, menunjukkan bayangan kabur terhadap "kebebasan berpendapat dan berbicara" di negara demokrasi dengan penerapan negara hukum (democracy and the rule of law).
Padahal seharusnya menjadi kesetiaan bagi orang yang cinta tanah air. Sebab, hanya merekalah yang memiliki sensitivitas (kepedulian) terhadap kehidupan bernegara, sehingga senantiasa dengan kritis menyuarakan pendapatnya untuk sebuah perbaikan agar tatanan kehidupan bernegara bisa lebih baik ke depan.
Baca Juga: Real Madrid Pertimbangkan Rekrut David De Gea Setelah Thibaut Courtois Alami Cedera
Dengan perwujudan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).
Bukankah tradisi kritis politik seharusnya dihidupkan, sebagai anak kandung demokrasi? Tak ada demokrasi tanpa kritik. Selama ada demokrasi, selama itu pula tradisi kritik menyertai kehidupan bernegara.
Bagaimanapun, sistem ketatanegaraan kita dengan mengambil bentuk negara Republik, tentu saja mencerminkan sebuah pilihan yang merupakan antitesis dari sistem monarki absolut yang diwarnai pemerintahan otoriter.
Jadi, ketika konstitusi menegaskan Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstsat), sesungguhnya kita telah mengadopsi salah satu prinsip demokrasi substansial.
Yang mengedepankan prinsip kesetaraan di muka hukum, kesederajatan dalam hubungan antar manusia atau egalitarianisme, menghargai dan menjunjung tinggi hak - hak asasi manusia. Bahkan, juga mengutamakan adanya kebebasan, baik kebebasan berpendapat, berbicara maupun kebebasan berorganisasi.
Oleh sebab itu, delik penghinaan kepada Presiden yang dilaporkan telah ditolak oleh Mabes Polri adalah sangat beralasan. Hal itu disebabkan karena kualifikasinya adalah delik aduan (klacht delict) yang kecil kemungkinan Presiden Jokowi menjadi pelapor.
Apalagi Presiden sendiri sudah menunjukkan sikapnya, dengan pernyataan: "Itu masalah kecil. Saya kerja saja." Artinya, Jokowi tak mau mengadukan kasus itu.
Akan tetapi, dalam perkembangan tidaklah selesai sampai disitu. Karena pemaksaan dari pihak-pihak tertentu akhirnya "penggeseran" delik pun dilakukan dengan menarik UU No 1 tahun 1946 (vide Pasal 14 dan 15) soal penyebaran berita bohong.
Pertanyaannya, adakah kalimat tersebut melanggar hukum dan memenuhi rumusan Pasal 14 atau 15 UU No 1 tahun 1946? Jawabnya tentu tidak. Itu objektifitas dan rasionalitas saya.
Menggarisbawahi ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) serta Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 itu memiliki 3 unsur yang mesti dipenuhi seluruhnya, yaitu; (1) menyiarkan atau menyebarkan (2) berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi (3) keonaran.
Jika ditelusuri (dielaborasi) sedetail mungkin kata-kata yang dikemukakan Rocky yang kini menjadi objek atau landasan muatan materi pengaduan, maka konklusi yang ada yaitu tidak ditemukan/tidak terbuktinya ke 3 unsur yang menjadi elemen penting dalam membuktikan suatu delik (perbuatan) terlapor.
Dengan demikian, apa yang diungkapkan Rocky dalam acara buruh di Bekasi adalah tidak memiliki dasar (obscur libel) untuk dilaporkan ke pihak kepolisian. Namun, jika dilaporkan pun tentu saja tak layak diproses.
Konkretnya, jika diproses juga tidak memenuhi unsur delik apapun. Yang terdekat adalah soal penghinaan dan hal itu sudah jauh-jauh di eksepsi (ditepis) sendiri oleh Presiden bahwa tidak merasa terhina.
Akhirnya, dapat disimpulkan tak ada masalah. Banyaknya laporan pidana dan gugatan perdata yang ditujukan kepada seorang Rocky Gerung kita pun bertanya, apa sesungguhnya yang mau dicapai bangsa ini dengan "kegaduhan" terus menerus. Bukankah masih banyak masalah besar yang "membelenggu" bangsa ini?
Baca Juga: Presiden Jokowi Tunjuk Mahfud MD Pimpin Gugus Tugas TPPO, Jenderal Listyo Sigit Prabowo Ketua Harian
Mengapa kita tak manfaatkan energi ini untuk ramai-ramai mempersoalkan dana korupsi yang raib begitu saja di korupsi secara berjamaah. Kemana dana Rp 349 triliun yang pernah dipersoalkan dan menjadi temuan Menkopolhukam?
Akan tetapi sampai sekarang tak jelas dan bagaimana implementasinya. Dan, mengenai kasus tersangka Masiku yang sudah jadi buron tapi sampai sekarang belum ditangkap.
Jadi, berlapis-lapis kasus korupsi dan "seabrek" masalah bangsa ini yang seharusnya kita harus proaktif untuk menyikapinya. Bukan sebaliknya fokus "menyerang" seorang rocky dan beramai-ramai melaporkan ke kepolisian.
Atau jangan-jangan memang kasusnya memiliki nilai politis ketimbang aspek hukumnya. Dan, bisa saja seperti sinyalemen yang ada bahwa kasus Rocky Gerung ini hanyalah sebuah sinopsis (pengantar) dari suasana pemilu yang akan kita hadapi.
Lagi pula tahapan proses pilpres sudah berlangsung. Karena itu, semacam "pemanasan" untuk menghadapi pertandingan sesungguhnya: Pilpres 2024.
Jakarta, 11 Agustus 2023. ***