Abustan: Imaji Demokrasi, Kembali ke Rumah Sendiri
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 25 Maret 2024 02:13 WIB
Oleh: Abustan, Pengajar Magister lImu Hukum Universitas Islam Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Di ujung proses pemilu sebagai perwujudan demokrasi, kita menyadari seperti berada di tengah puing. Memang tugas yang agak berat adalah tidak ada jalanan mulus ke depan. Kita mengitari atau malah memanjat hambatan. Dan, yang pasti kita harus tetap optimis betapapun langit tetap runtuh.
Gambaran kondisi tersebut, hampir sama dengan situasi bangsa hari ini. Demokratisasi sangat pervasif dalam nafas perkembangan dinamikanya, dengan dalih demokrasi kita mengorbankan semangat kebersamaan, karena juga berkembang demokrasi ke arah persaingan bebas.
Baca Juga: Dr Abustan: Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesejahteraan
Demokrasi hari ini telah meluluhlantakkan sendi-sendi dari rancang bangun bangsa ini, demokrasi semakin menggerus karakter bangsa yang telah berurat-berakar di jiwanya rakyat Indonesia.
Alam demokrasi liberal telah direnggut dan dipilih oleh sebagian elit. Termasuk kesepakatan umum tentang kebutuhan akan demokrasi.
Kondisi ini mengakibatkan sesuatu yang permanen dan serius, sehingga menyingkirkan ketidakwajaran dan irasionalitas. Pergumulan politik yang mempunyai corak sukarela ini hilang dengan aktivis yang bercorak transaksional dan kalkulatif. Motif bersikap ideologis dan gairah politik hilang tergantikan dengan nafsu untuk mengejar uang ataupun kepentingan sesaat.
Baca Juga: Dr H Abustan: Sepekan Ramadan Berlalu
Fakta tersebut dapat dilacak/dilihat pada arena pemilu 2024 yang baru selesai, di mana perjuangan merawat masa depan demokrasi makin terkikis.
Yang nampak adalah perspektif merawat integrasi sosial di tengah ancaman ideologi transaksional yang terbukti telah memperlebar segregasi minoritas-mayoritas melalui baju kelompok kepentingan partai dalam politik kontemporer.
Tulisan ini, tanpa berpretensi mendiskreditkan pihak manapun. Akan tetapi, renungan ilmiah ini bagian dari catatan perjalanan demokrasi kita setelah melalui pemilu pasca reformasi, kita pun makin sadar bahwa akal dan moral untuk merawat "roh demokrasi" sebagai imaji demokrasi yang ideal semakin melenceng dari arah cita pendiri bangsa.
Baca Juga: Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
Krisis Demokrasi Kita
Sesungguhnya, sedari awal Soekarno menyatakan bahwa demokrasi liberal sangat tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian rakyat Indonesia.
Demokrasi tidak lagi merefleksikan "saling merawat" dan "saling menghormati" sebagai sesuatu yang penting, yaitu mutual respect sebagai anak bangsa. Namun, setiap kali habis pemilu yang tersisa adalah konflik pertentangan dan keterbelahan anak bangsa.
Baca Juga: DR H Abustan: Antiklimaks Putusan Mahkamah Konstitusi
Bahkan, politik kita akan memasuki wilayah rawan, yaitu ideologi liberal yang ada di sistem politik kita akan menjadi "titik rawan" menggerogoti prilaku koruptif dan manipulatif.
Pada tahap ini telah cukup isyarat untuk menyimpulkan bahwa demokrasi yang diperjuangkan dalam amandemen ke empat (2002) berjalan di atas fondasi yang tak kuat.
Justru menciptakan, pendalaman oligarki, perluasan korupsi, pelebaran kesenjangan sosial, dan moral hazard yang melanda penyelenggara negara. Kesemuanya ini, mencerminkan kondisi - kondisi yang makin kontradiktif dengan ideal - ideal demokrasi.
Baca Juga: Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas
Padahal demokrasi pada hakekatnya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara. Karena itu, dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa "semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi.
Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarki, pemerintahan otoriter dan tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, desain yang menjadi imaji demokrasi yang kita pilih justru kian memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Fakta itu menunjukkan bahwa institusi demokrasi juga "menggelembungkan" biaya kekuasaan. Di mana kekuatan modal mendikte demokrasi. Faktor ini memunculkan keyakinan yang luar biasa bahwa uang adalah jalan keluar. Berburu uang adalah pekerjaan pokok dari elite partai politik.
Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
Jadi, sistem demokrasi di era neoliberal ini, ranah pilihan pengabdian bagi rakyat mengalami pergeseran dari yang berkarakter ideologi yang kuat menjadi orentasi materialistik, yaitu ketika uang menjadi satu-satunya alat untuk menjadi politik.
Pada tataran ini, korupsi politik mensubordinasikan kepentingan publik pada kepentingan privat - komunal. Harapan untuk mewujudkan keadilan melalui demokrasi di Indonesia semakin suram.
Politik kita akan memasuki wilayah rawan, ideologi liberal yang ada di sistem politik kita mengulangi prilaku koruptif. Dan, tentu pembuktiannya bisa di lihat betapa besar kejadian penangkapan (OTT) dan status tersangka korupsi dari kalangan politisi.
Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi
Realitas miris yang membuncah dalam sistem pilihan demokrasi kita, merupakan "peringatan keras" bahwa mengadopsi institusi demokrasi liberal adalah tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi sosio-historis Indonesia. Fakta ini dapat menjadi peringatan bagi rakyat Indonesia khususnya para pemuja Demokrasi Amerika Serikat (AS).
Dengan demikian, para elite politik Indonesia segera sadar bahwa sistem pilpres langsung yang sudah 5 kali berlangsung hanyalah menyisakan masalah krusial di tengah masyarakat, baik itu tuduhan kecurangan, saling fitnah, pecah belah persatuan, konflik antar pendukung, bahkan menyisahkan kegaduhan yang terus berlanjut.
Akhirnya, sudah saatnya kembali kerumah demokrasi sistem sendiri untuk disempurnakan. Seperti yang telah diingatkan oleh Mohammad Hatta: "Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan."
Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu
Selanjutnya dikatakan, "Karena itu demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya" (Hatta, 1957: 34-35).
Jakarta, 24 Maret 2023 ***