Resensi Sastra Puisi oleh Anto Narasoma: Menguak Kekejian Israel Secara Estetik
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 24 Januari 2024 08:47 WIB
Meski tema yang disampaikan seringkali tampak tersamar, namun tak ada satu puisi pun yang tidak mengandung arti.
Jika kita telaah dari satu puisi ke puisi lainnya, dari dalam jiwa penyair, banyak mengurai keprihatinan atas kekejaman penjajah (zionis Israel) yang kesehariannya melakukan pemboman dan penganiayaan terhadap warga Palestina.
Puisi bertajuk Yang Dirindukan Surga karya A Warits Rovi (halaman 3), mengisahkan ketangguhan mental bocah Palestina yang sudah ditinggal mati kedua orang tuanya.
bocah itu, tak berayah dan tak beribu/ mandi darah di bawah gigil langit merah/ tapi tak menyerah (bait pertama).
Jika kita telaah, secara psikis, kondisi bocah yang berbalur darah itu tak pernah menyerah dengan keadaan, meski fisiknya dalam kondisi yang memprihatinkan.
Justru dalam kegaduhan suara tembakan (bom), ia tak menyerah. Bahkan dengan semangat hidup dan mati, kenakalan emosi perlawanan di dalam jiwanya terus berkobar. Bahkan sejumlah luka di tubuhnya tak ia hiraukan. Yang penting baginya, ia harus bangkit dari serangan bom dari tentara Israel..
Baca Juga: PUISI tentang Presiden Jokowi: Saya di Sini dan Akan Tetap di Sini Sampai Tugas Selesai
di dalam dadanya/ ada matahari yang terbit menemani/ menjahit luka-lukanya dengan sehelai mimpi/ memberinya siang yang lain, malam yang lain/ dengan arloji kecil berjarum hening..(bait kedua).
Meski setiap penyair memiliki sikap dan pandangan tertentu terkait bocah (lirik) Palestina yang pemberani itu, namun yang pasti si bocah tetap meyakini perkembangan masa depan negara dan kehidupannya sendiri (..memberi siang yang lain, malam yang lain).
Jadi, inti keselurahan dari makna secara feel of poe, ditulis berdasarkan pendekatan intrinsik yang bersentuhan dengan perlawanan jiwa dan semangat hidup di antara peluru-peluru berdesingan, yang memburu nyawa rakyat sipil Palestina.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wiji Thukul
Di halaman 5, keprihatinan itu diungkap penyair Achmad Sahib dalam puisinya bertajuk Seribu Pintu Satu Cahaya....