Resensi Sastra Puisi oleh Anto Narasoma: Menguak Kekejian Israel Secara Estetik
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 24 Januari 2024 08:47 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Keprihatinan rasa menghadapi peristiwa yang menginjak-injak harkat pederitaan orang lain, membuat jiwa kita marah, sedih, dan ingin membantu membalaskan ketidakmanusiaan yang terjadi.
Apalagi mereka yang teraniaya itu, tak mampu membalas kekejian yang mereka rasakan.
Terkait masalah itu, Sulaiman Juned bersama Komunitas Kuflet Padang Panjang dan majalah digital Elipsis, berusaha menghimpun suara hati para penyair untuk menerjemahkan kegalauan di dada mereka lewat karya puisi.
Seperti terjadinya tragedi kemanusiaan di Palestina yang dilakukan tentara Israel secara keji, telah menggiring perasaan marah kepada zionis yang telah membombardir gedung dan perumahan orang-orang Palestina tak berdosa.
Akibat serangan bom sulfur yang menghancurkan gedung dan rumah-rumah penduduk, berakibat bagi tewasnya ribuan warga sipil, terutama anak-anak, wanita, dan orang tua.
Kepekaan Sulaiman Juned atas tragedi kemanusiaan itu, ia mengajak para penyair nusantara, antara lain, dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, serta Singapura.
Baca Juga: PUISI tentang Presiden Jokowi: Saya di Sini dan Akan Tetap di Sini Sampai Tugas Selesai
Dari himpunan 125 puisi pilihan yang diantologikan dalam buku Puisi Cinta untuk Palestina ini, mengurai keprihatinan dan kemarahan secara estetik, terkait kekejian dan kekejaman zionis tersebut.
Maka, ketika menganalisis buku 125 puisi pilihan dalam antologi Puisi Cinta untuk Palestina, kemarahan dan perhatian para penyair, secara estetik tampak beraneka ragam bentuknya. Terutama dianalisis secara teks dalam kapasitas ruang-ruang estetika yang sangat mendalam.
Maka pola sajian kumpulan puisi itu diungkap secara bebas. Sebab setiap puisi harus dikemukakan dengan beragam pokok persoalan yang isi dan pengembangan idenya dikemukakan para penyairnya dengan keindahan kata-kata.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wiji Thukul
Menurut I.A Richard, hakikat puisi itu dapat ditelaah dalam empat komponen yang terdiri dari, sense (tema atau arti), feeling (nilai rasa), tone (nada kata), serta intention atau dalam artian tujuan isi yang mengandung amanat (halaman 64 buku Perjalanan Sastra Indonesia September 1983)
Meski tema yang disampaikan seringkali tampak tersamar, namun tak ada satu puisi pun yang tidak mengandung arti.
Jika kita telaah dari satu puisi ke puisi lainnya, dari dalam jiwa penyair, banyak mengurai keprihatinan atas kekejaman penjajah (zionis Israel) yang kesehariannya melakukan pemboman dan penganiayaan terhadap warga Palestina.
Baca Juga: VIRAL, Video Gus Mus Baca Puisi: Ada Republik Rasa Kerajaan, Sindir Siapa Ini?
Puisi bertajuk Yang Dirindukan Surga karya A Warits Rovi (halaman 3), mengisahkan ketangguhan mental bocah Palestina yang sudah ditinggal mati kedua orang tuanya.
bocah itu, tak berayah dan tak beribu/ mandi darah di bawah gigil langit merah/ tapi tak menyerah (bait pertama).
Jika kita telaah, secara psikis, kondisi bocah yang berbalur darah itu tak pernah menyerah dengan keadaan, meski fisiknya dalam kondisi yang memprihatinkan.
Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah
Justru dalam kegaduhan suara tembakan (bom), ia tak menyerah. Bahkan dengan semangat hidup dan mati, kenakalan emosi perlawanan di dalam jiwanya terus berkobar. Bahkan sejumlah luka di tubuhnya tak ia hiraukan. Yang penting baginya, ia harus bangkit dari serangan bom dari tentara Israel..
di dalam dadanya/ ada matahari yang terbit menemani/ menjahit luka-lukanya dengan sehelai mimpi/ memberinya siang yang lain, malam yang lain/ dengan arloji kecil berjarum hening..(bait kedua).
Meski setiap penyair memiliki sikap dan pandangan tertentu terkait bocah (lirik) Palestina yang pemberani itu, namun yang pasti si bocah tetap meyakini perkembangan masa depan negara dan kehidupannya sendiri (..memberi siang yang lain, malam yang lain).
Jadi, inti keselurahan dari makna secara feel of poe, ditulis berdasarkan pendekatan intrinsik yang bersentuhan dengan perlawanan jiwa dan semangat hidup di antara peluru-peluru berdesingan, yang memburu nyawa rakyat sipil Palestina.
Di halaman 5, keprihatinan itu diungkap penyair Achmad Sahib dalam puisinya bertajuk Seribu Pintu Satu Cahaya....
gaza berserak/ini kota tinggal kerangka/ puing gedung, masjid, dan gang begitu lengang/ setelahnya?/ mesin penghancur membombardir/ lebur juga rumah sakit dan madrasah/ binasa (alinea I).
Baca Juga: BARAT dan TIMUR: Puisi Karya Abdul Hadi WW
Dari larik-larik kalimat yang diungkap penyair menjelaskan bahwa kondisi sosial di Gaza diibaratkan sebagai "kota hantu", yang tampak berserakan dengan serpihan batu-batu gedung yang berhamburan.
Selain itu, suasananya begitu lengang, ibarat kota hantu yang sangat memprihatinkan. Pada alinea ketiga, penyair Sahib mengutarakan suasana mistis yang sakral.
melayang, jiwa-jiwa berbingkai senyum melayang-layang/ debu-debu bercahaya membungkus puluhan ribu kusuma/ kafan-kafan sorban mengantar barisan pemenang/ langit berpagar bidadari merintikkan kesturi/ angin terdiam diredam lirih lantunan kalam/ tafakur embun kian mendalam/ sujud tawakal..
Baca Juga: Puisi Maruli Tobing tentang Tuhan
Meski dengan pola berbeda seperti diungkap penyair A Warits Rovi sebelumnya, namun keprihatinan Achmad Sahib itu memiliki sense atau nilai dengan tema yang sama.
Dalam kaitan dua penyair yang menulis dari daya ungkap berbeda, namun topik arti dari nilai rasa, memiliki intensi yang sama.
Ruang penyajian estetika itu merupakan rumusan puisi menurut pandangan Warits dan Achmad Sahib secara etimologinya masing-masing.
Baca Juga: Puisi Karya Mohammad Nasir tentang COVID 19
Pola sajian semacam itu mampu merumuskan unsur-unsur yang memandang karya dari dua sudut pandang, yakni, sudut bentuk dan isi. Bagi penyair, nilai semacam ini akan mampu mengangkat lapis norma dalam kaidah keprihatinan mereka atas tragedi kemanusiaan yang melanda warga sipil tak berdosa di wilayah Gaza.
Artinya, setiap kata memiliki arti tersendiri. Jika kata-kata tunggal itu bergabung dalam konteksnya, maka timbulah prase. Prase-prase ini akan melahirkan pola kalimat.
Dari satuan sintaksis itulah timbul lapis ketiga sesuai obyek-obyek yang dikemukakan. Menurut Drs BP Situmorang, cipta sastra dapat diteliti melalui analisis tiga movemen.
Baca Juga: In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial
Movemen pertama dapat dianalisis dari nilai efonis. Nilai ini bisa memasuki standar pada lapis-lapis bunyi di dalam setiap cipta sastra (puisi). Sebab melalui analisis ini, ternyata diperoleh kenyataan bahwa lapis bunyi dikembangkan dalam puisi, tidak menjadi pusat perhatian di dalam tulisan prosa.
Andaikan kita mencoba untuk memahami lapis arti secara stilistis, tentu saja muncul corak dengan gaya bahasa yang muncul dari berbagai ruang estetika. Maka secara stilistis, analisis semacam ini banyak memunculkan gaya bahasa yang indah (halaman 63 buku Perjalanan Sastra Indononesia : terbitan Gunung Jati Jakarta, September 1983).
Tampaknya, buku antologi ini tak hanya menyajikan nilai-nilai emosi ketidakadilan yang dialami warga Palestina secara tak manusiawi, tapi lebih mengutamakan nilai estetika sebagai bentuk kesantunan tradisi masyarakat kita.
Baca Juga: Kilas Balik Jejak Langkah Satupena Jawa Timur Beserta Koordinatornya Akaha Taufan Aminudin
Dalam kumpulan puisi ini, banyak penyair yang sudah memiliki porsi nama besar, seperti Isbedy Stiawan ZS, Bambang Widiatmoko, Ahmadun Yosi Herpanda, serta yang lainnya (maaf jika tak saya sebut namanya satu per satu di kesempatan ini).
Namun mereka juga larut dalam emosi personal di dalam menyikapi kekejian Israel. Inilah kekayaan estetika dalam menumpahkan corak puitika dalam sajaknya masing-masing.
Seperti penyair dari Johor Malaysia, Alkhair Aljohare, ia juga ikut menyisipkan puisinya bertajuk Ada Cinta Disebalik Katastrofi Palestina .
Dari balik kalimat (larik) yang berisi lirik-lirik sederhana terkait cinta kasih kemanusiaan meski mereka (warga Palestina) babak-belur hidup dalam kehancuran kekejian kaum Yahudi...
Meskipun kehancuran dan kesulitan melanda meraka/ cinta masih ada di dalam hati orang-orang Palestina/ Cinta kepada keluarga, teman, dan tanah air mereka/ tetap kuat di tengah ketidakpastian (alinea pertama).
Alkhair Aljohore menyorot sekitar perasaan cinta kemanusiaan yang dimiliki warga Gaza. Justru dengan suasana ketidakpastian itu, mereka pasrah dan berserah diri kepada Allah SWT.
Nilai arti semacam ini terasa padat dalam pengungkapan komponen yang berkaitan dengan pendekatan kejiwaan (intrinsik) dan pendekatan ekstrinsik yang ada di luar dirinya.
Bentuk puisi semacam ini miliki nilai kebersihan hati yang dialirkan secara tematis. Bisa jadi warna semacam ini merupakan corak pribadi yang tampil dengan bahasa apa adanya.
Karena itu hakikat dan metode untuk merangkai kata dalam membangun struktur kalimat, merupakan rumusan yang sesuai dengan pandangan etimologinya.
Terlepas dari itu, saya juga tertarik dengan bentuk puisi yang ditulis penyair wanita dari Bengkulu, Merawati May, bertajuk Percikan Air Mata Anakku.
Sebagai seorang ibu, barangkali secara etimologis perasaannya begitu terharu kepada tangisan anak-anak yang wajahnya berbalur darah akibat pemboman Israel.
Akibatnya kedua orang tua anak itu tewas di bawah timbunan gedung rumahnya yang berantakan. Anehnya, tangisan anak-anak itu ditulisnya sebagai senjata perlawanan terhadap zionis yang memiliki persenjataan lebih canggih dan lengkap.
..titik air mata/ meluap menjadi ombak/ sebab tiap tangisan bergolak dan mendidik ke celah-celah peristiwa/ penembakan orang-orang palestina..
Jika dianalisis melewati teori dikotomi, pada alinea pertama, uraian kisah yang dituturkan Merawati May itu mengungkap dari dua sudut pandang, yakni sudut bentuk dan isi.
Bentuk peristiwa yang teramat kejam dan tak manusiawi, telah membangun semangat perlawanan. Coba kita simak di alinea lanjutan,..
lalu kemarahan itu pun menyandang senjata ke arena pertempuran/ sedangkan ombak mrnampar tepian perkampungan orang-orang israel tanpa wajah..
Kata ombak dalam puisi ini konotasinya adalah konsep kemarahan yang membangkitkan semangat perlawanan.
Nilai estetik semacam ini sangat berkenaan dengan akal pikiran dan masalah yang berkembang di lapangan. Sebab untuk masuk ke dalam substansi persoalan harus diketahui dan diselidiki unsur-unsur yang membangun terciptanya puisi itu.
Setiap kata memiliki arti tersendiri. Harus kita akui banyak penyair yang menulis puisinya dengan nilai estetik yang tersamar. Tapi secara jujur diungkap bahwa tidak satu pun puisi yang tidak mengandung nilai arti.
Andaikan berhadapan dengan puisi yang cenderung tersamar, pembaca memang dituntut untuk lebih kreatif menangkap isi yang dikemukakan penyair tersebut.
Pada alinea enam puisi Percikan Air Mata Anakku berbunyi.. lalu/ kuttitipkan air mata pun membara/ agar setiap percikan menjadi saksi/ atas perlawanan/ dengan lemparan batu/ dan sisa-sisa senjata kehabisan peluru..
Tampaknya, sikap "kebencian" penyair terhadap persoalan kekejian Israel tidak ia lampiaskan dengan kata-kata bombastis, tapi cara halus, estetis, dan mampu membangun persepsi dari balik lapisan kalimatnya.
Jadi, inti sehimpun puisi di dalam antologi Puisi Cinta untuk Palestina lebih mengemukakan nilai-nilai keindahan yang dibangun dengan unsur seni dan rangkaian kata kreatif sesuai dengan hakikat dan metode puitik.
Barangkali sebatas itu saja yang bisa saya ulas, sehingga kita bisa menguak persoalan mendasar antara sikap nyata dari pokok kekejian Israel terhadap orang-orang Palestina yang tak berdosa di tanah Gaza. Selama membaca. (*)
Palembang
14 Januari 2024
Anto Narasoma