Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Malari 1974 Penting Dikaji Karena Masih Relevan dengan Kondisi Indonesia Sekarang
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 19 Januari 2024 06:12 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Sebagai sebuah gerakan koreksi terhadap kekuasaan, peristiwa Malari 1974 penting untuk dikaji karena masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Dr. Ir. Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar mengomentari diskusi tentang Malari 1974. Diskusi di Jakarta, Kamis malam, 18 Januari 2024 itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadirkan pembicara Zainal C. Airlangga, peneliti sejarah dan aktivis Indemo. Diskusi itu dipandu oleh Anick HT dan Swary Utami Dewi.
Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang
Menurut Satrio, berbagai kondisi dan isu-isu yang diangkat pada Malari 1974 memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi Indonesia masa sekarang. Salah satunya adalah sikap kritis terhadap peran modal atau investasi asing yang menonjol.
“Seperti juga di pemerintahan era Orde Baru, pemerintahan era Jokowi sekarang membuka diri bagi modal atau investasi asing. Bahkan sangat mendorong investasi asing tersebut,” tutur Satrio.
“Kita tidak anti-modal asing. Tetapi yang dipersoalkan adalah bagaimana persyaratan, alokasi, dan cara pengelolaan investasi asing itu? Apakah dampaknya betul-betul efektif, sudah sampai ke rakyat bawah? Ini yang dipertanyakan,” ujar Satrio.
Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Penulis Indonesia Bisa Mendukung Ketahanan Jiwa Rakyat Gaza
Pertumbuhan ekonomi itu penting. Namun, masalah pemerataan dan keadilan ekonomi tidak kalah penting. “Tanpa penanganan serius atas isu keadilan dan pemerataan, bangunan kemakmuran itu semu, bahkan rapuh,” sambungnya.
Ditambahkan Satrio, isu krusial lain adalah soal korupsi. Isu korupsi dan pemborosan keuangan negara menjadi isu menjelang Malari 1974, dalam wujud antara lain penolakan terhadap proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
“Soeharto dijatuhkan pada Mei 1998, antara lain, karena isu korupsi. Tetapi 25 tahun pasca gerakan reformasi, saat ini kita masih berkutat dan dibebani masalah korupsi. Berarti kita belum melangkah maju,” ucap Satrio.
“Korupsi yang masif di berbagai tingkatan dan lapisan, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di pusat maupun di daerah, menghambat gerak maju bangsa ini,” tegas Satrio.
Namun, Satrio juga memaparkan ada perbedaan konteks antara situasi saat Malari 1974 dan Indonesia 2024 sekarang. Dulu tak ada kebebasan politik. Jumlah partai politik dibatasi.
“Sekarang Indonesia menganut sistem multipartai. Setiap orang bebas mendirikan partai. Presiden, kepala daerah, dan anggota parlemen dipilih langsung lewat pemilu,” lanjutnya.
Zaman Soeharto tahun 1974, tidak ada kebebasan pers. Jumlah media cetak dibatasi. Akses informasi dikontrol oleh negara. Belum ada internet dan media sosial.
“Sekarang, berkat kemajuan teknologi informasi dan adanya media sosial, negara tidak bisa mengontrol arus informasi. Di sini gerakan perlawanan bisa melontarkan isu-isu kritis,” sambung Satrio.***