Jarir: Batin Rempang Berdaulat, Membahas Himpunan Hukum Adat Indonesia di Masa Belanda
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 20 September 2023 07:40 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Terlepas dari soal masalah yang terjadi di Rempang saat ini, namun menarik menelisik sejarah tentang aktivitas penduduk dan batin di Pulau Rempang.
Pulau Rempang ini masuk dalam catatan VOC tahun 1710, 1712, 1714, 1722, 1741, 1742, 1746, 1767, 1769. Tahun 1850 Netscher pernah mengunjungi penduduk di pulau ini.
Bahwa di pulau Rempang ini ada penduduknya, dan ada batin sebagai pucuk (pimpinan) adat mereka. Mereka hidup sederhana, dan bersebati dengan alam. Teknologi dalam menangkap ikan juga masih sederhana.
Baca Juga: Karen Agustiawan Mantan Direktur Utama Pertamina, Resmi Ditahan oleh KPK dalam Kasus Korupsi LNG
Kemudian tahun 1930, Wink P melakukan kunjungan ke Pulau Rempang, disarikan dalam buku berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930 (Laporan Kunjungan ke Orang Darat Rempang tanggal 4 Februari 1930) menjelaskan, Batin Rempang (atau Boeton), yang mengadopsi Orang-Darat sebagai putranya dan memberikan pengaruh pada kelompok tersebut, berfungsi sebagai panduan.
Perjalanan melalui sampan melewati sebuah sungai kecil di hutan bakau sebelah selatan kampung Rempang. Setelah sampai di daratan, segera ada jalan setapak menuju ke kamp Orang-Darat, yang terdiri dari sekitar 7 pemukiman yang yang disebut "poendoeng".
Mereka bersama Batin Rempang masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk melihat warganya. Kunjungan tim disambut beberapa orang, di antaranya 8 orang laki-laki bernama Sarip, Rotjoh, Alam, Timoer, Lentok, Otah, Sindah dan Tjano.
Juga, 12 perempuan bernama Oengkai, Timah, Okam, Djelima, Soeleh, Tjétjé, Piai, la, Panéh , Perak, Soebang dan Lengah (empat orang terakhir adalah janda) dan 16 orang anak (Benang, Boelan, Bintang, Oetjik, Adik, Monggoh, Kèdah, Gibang, Bidik, Abak, Dadik, semuanya perempuan dan Boental, Kanting, Toenggal, Oetoel, Akin, teman-teman).
Dari nama-nama mereka, tergambar nama-nama melayu. Timah (Fatimah). Perak, Abak, Tunggal, Buntal, Bulan, Bintang, Ocik, Lengah), adalah sebutan yang umum bagi Melayu.
Penduduk Rempang, umumnya mereka mencari kepiting (ketam) atau keong cangkang yang bisa dimakan (sipoet lokan), yang ditukarkan dengan makanan di bangsal Tionghoa. Pada kondisi permukaan air yang tinggi, hasil hutan, khususnya akar, berfungsi sebagai alat tukar makanan sehari-hari.
Menurut Netcher, pakaian laki-laki orang Rempang terdiri dari ikat pinggang, bagi perempuan sarung; senjata mereka adalah tombak yang terbuat dari kayu keras, dan parang. (Bezemer, T.Jm Beknopte encyclopædie van Nederlandsch-Indie?, 1921. Hal. 371)
Adat pernikahan dengan orang Rempang. Pengantin pria harus mengejar pengantin wanita di sekitar pohon besar yang dipilih untuk tujuan tersebut. Jika dia mendapatkan wanita itu, maka perkawinan telah selesai; jika dia terlalu lambat, maka pernikahannya tidak akan menghasilkan apa-apa. (Sumatra en Riau Hal. 286).
Baca Juga: NASA Sedang Ciptakan Robot Humanoid untuk Bantu Pekerjaan Astronot di Luar Angkasa
Bahasa Orang Darat (maksudnya Penduduk Pulau Rempang yang berbeda dengan orang laut), tentu saja bahasa Melayu. Namun karena cara pengucapan dan penggunaan beberapa kata yang kurang umum atau benar-benar unik, memberikan kesan dialek tersendiri.
Namun, tampaknya pertanyaan-pertanyaan tim mereka pahami dengan baik. Salah satu kata yang kurang umum dalam bahasa Melayu adalah “poendoeng” yang berarti “pondok”. Namun demikian, kata ini ditemukan di Klinkert sebagai "pondong", "perlindungan tanaman muda dari sinar matahari dan hujan" dan setara dengan "pondok". (Wink, P: Hal. 7).
Buku ini P. Wink. Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930. T.B.G. 70; terbitan 1930, menjadi rujukan perumusan hukum adat di Indonesia oleh Belanda. Buku hukum ada Indonesia dirumuskan oleh Muller, W.J. Adatrechtstichting (Leiden) dengan judul: Titel Literatuurlijst voor het adatrecht van Indonesie?, terbit tahun 1938.
Tahun 1925, Belanda melakukan survei biji timah ke Pulau Rempang. (Lihat: Het voorkomen van tinerts in den Riau-Archipel en op de eilanden-groep van Poelau Toedjoe (Anambas- en Natoena-eilanden).
Baca Juga: Sering Kunjungi Kampus, Politikus Partai Hanura Inas Nasrullah Ganjar Bisa Raup Banyak Suara Gen Z
Tahun 1930, penduduk pulau Rempong masuk dalam sensus penduduk oleh pemerintah kolonial Belanda. (Departemen Perekonomian Hindia Belanda, Volkstelling 1930 = Census of 1930 in Netherlands India, Hal. 21).
Ensiklopedia Hindia Belanda terbit 1917 pada halaman 260 tentang Tanjungpinang menjelaskan daerah pegunungan di Selatan Rempang tingginya mencapai 180 meter.
Keindahan pulau rempang, digambarkan Groneman, J. saat perjalanan dari Belanda ke Batavia saat melewati Riau. "Pada pukul 5 orang dapat melihat jauh di belakang Pulo Tërkoelei, melintang dari pelabuhan, gunung berapi Groot dan Klein Bintang setinggi 1287 dan 793 m dan di sebelah kanan pulau Rëmpang dan Galang.
Dan di depan Anda akan melihat mercusuar. Pada jam 6 pagi mercusuar sudah tergeletak miring dan lampu seinnya sudah terlihat di senja hari. Pulau Lingga, dengan puncak gunungnya yang tingginya lebih dari 1000 meter, dan merupakan tempat tinggal Sultan Kepulauan Riau-Lingga, terapung di malam hari, sehingga jarang atau tidak terlihat sama sekali..."
Demikian digambarkan bentuk keindahan laut sekitar pulau rempang oleh Groneman, J. dalam buku Over zee van Amsterdam naar Nederlandsch-Indie? Ondertitel Gids voor reizigers met de Stoomvaart Maatschappij "Nederland" terbit tahun 1904. Keindahan pulau rempang ini bukan saat ini saja mendapat perhatian investor, tetapi sudah lama mendapat perhatian Belanda.
Aturan dalam investasi di pulau rempang dan sekitarnya tercantum dalam buku Pandecten van het adatrecht, atau Janji Hak Adat, di bab 11 tentang sewa tanah di wilayah Melayu Riau:
"Jika orang asing ingin mengembangkan tanah, ia juga harus mempunyai izin untuk itu, yang dibayar sekaligus, lebih kecil atau lebih besar, tergantung pada luas tanah yang dimohonkan, dan sewanya dinyatakan dibayar setiap tahun oleh penyewa.
Sedangkan dalam beberapa kasus penyewa dibebaskan dari biaya sewa untuk tiga, empat atau lima tahun pertama, karena budaya yang akan digerakkan diharapkan menjadi produktif hanya setelah jangka waktu tersebut.
Baca Juga: Persija Jakarta, Antara Kemenangan Pertama di Stadion Brawijaya dan Kisah Sedih Dibaliknya
Sewa tahunan tidak terikat langsung dengan peraturan, tetapi bergantung pada tuan tanah (raja) dan penyewa. Séwa tanah di perkebunan gambir sangat rendah, misalnya sebesar empat, lima atau enam dolar per perkebunan dan per tahun di Bintan, Batam, Rempang dan Soegie. Di sinilah lokasi ekstraksi tertua berada." (Rijksuniversiteit Groningen (Janji hukum adat), Pandecten van het adatrecht, Bab 11 Wilayah Melayu Riau, 1914. Hal. 358).
Pulau Rempang penghasil gambir, Netscher mengunjungi kebun gambir dipandu orang Cina. "...sambil berjalan-jalan di pedalaman Pulau Rempang , saya memutuskan bersama beberapa teman untuk mengunjunginya. Jadi kami pergi ke Rempang dan menemui seorang pemandu Tionghoa dari perkebunan gambir... (Elisa Netscher, Beschrijving van een gedeelte der residentie Riouw, 1854. Hal. 6)
Koran Belanda merilis data perkembangan produksi gambir di Riau tahun 1860... "bahwa jumlah kebun gambir dan lada (dua komoditas pertanian utama di wilayah Riau) turun sebanyak 1.857, yaitu dari 930 menjadi 887, di mana 438 di Pulau Bintang, 234 di Battam, 106 di Rempang, 66 di Gallang dan 43 sisanya di Pulau Gin, Klong dan Sengarang, yang bersama-sama telah melepaskan 95.234 pikol gambir dan 18.11 b pikol lada.
Berdasarkan pernyataan yang dibuat di kantor pelabuhan di Riouw, ekspor tersebut berjumlah 92.41740/100 picol gambir dan 5 70885/100 picol lada.
Namun, diduga produksinya jauh lebih tinggi dari yang dinyatakan oleh para pekebun, untuk tujuan penghindaran terhadap para rentenir di perkebunan mereka, baik untuk memasok mereka dengan seluruh produk mereka dengan harga yang telah ditentukan atau untuk mengirimkan mereka.
Kerajaan Siak seperti di Lingga dan Riouw tertarik pada budidaya kapas dan awalnya dijanjikan akan berhasil, namun pada akhirnya gagal." (Cultuur in Nederlandsch-Indie in 1859.. "Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage". 's-Gravenhage, 11-04-1862, p. 3. Lihat juga S. Friedmann, Nederlandsch Oost- en West-Indië, 1861. Hal, 64)
Wilayah Pulau rempang ini juga dikenal sebagai wilayah perompak. Pada 5 Maret 1855 surat kabar Belanda, Rotterdamsche courant, memberitakan bahwa telah menangkap dua perompak kelas kakap, yani Panglima Amat dan ayahnya Adjie.
Baca Juga: Wow! Venezuela Bekerja Sama dengan China Kirim Astronot Mereka ke Bulan
Berikut petikan berita koran Belanda: "dengan menggunakan sampan pandjang yang dikirim ke laut untuk melacak pemimpin perampok terkenal, Panglima Amat, pada awal Desember mereka tidak dapat melacaknya.
Pada tanggal 28 November Panglima Amat telah merampok beberapa kapal nelayan di Tandjong Oeban. Belanda memerintahkanlah agar dia dibawa ke darat, di mana pun dia muncul dengan hadiah sebesar ƒ 300 kepada siapa pun yang berhasil menangkapnya.
Akhirnya dia ditangkap di Pulau Galang pada tanggal 30 Desember, dan dipenjarakan di benteng Riouw. Pada saat yang sama diketahui bahwa ayah tirinya Adjie, yang meninggal pada tanggal 13 Oktober di Pulau Rempang telah menjarah rumah Oeij Tingmo, seorang Tionghoa telah dibunuh.
Kedua perampok tersebut dijatuhi hukuman oleh dewan Riouw, pengasingan seumur hidup di luar Riouw, Lingga dan wilayah dependensinya. Pada tanggal 24 Februari, mereka dikirim ke Batavia dengan kapal uap Koningin der Nederlanden." (Buitenland. BATAVIA den 13 maart.. "Rotterdamsche courant". Rotterdam, 03-05-1855, p. 1).
Baca Juga: Luhut B Pandjaitan: Indonesia Ingin Menjadi Pusat Peradaban Maritim Dunia
Surat kabar De Tij: surat kabar agama-politik melaporkan tentang tentara Belanda yang mengejar perampok yang bersembunyi di Pulau Rempang pada 1 Juni 1859.... Laksamana Muda JW Sijnja berangkat dari sana pada tanggal 1 Juni, ditemani sejumlah prajurit garnisun dan beberapa pelaut dari kapal yang ditempatkan di Riouw.
Meskipun kami berhasil menemukan tempat persembunyian para perampok, mereka dicegah untuk mendekat dengan cukup cepat oleh kawanan perampok. Para perampok berhasil melarikan diri ke semak-semak yang dalam Pulau Rempang.
Kapal pembantu No. 2 yang dikirim ke sana kembali pada tanggal 28 Juni dengan kabar bahwa para perampok telah melarikan diri ke Singapura; beberapa ditangkap di sana oleh polisi. (BATAVIA, 25 Julij.. "De T?d : godsdienstig-staatkundig dagblad". 's-Hertogenbosch, 17-09-1859, p. 2).
Keberadaan Batin Rempang dan beragam aktivitas penduduknya, maka dari catatan di atas, bahwa penduduk Rempang berdaulat, mereka memiliki batin yang diakui Belanda. Sama dengan batin lainnya di Riau, seperti batin sungai alam di pulau Bengkalis, batin senggoro dan batin senapelan, batin tenayan dan batin-batin lainnya.
Bagi Belanda, jika akan melakukan pembangunan, mereka akan melakukan kontrak dengan level tinggi sampai tingkat datok atau batin, atau pucuk adat. Belanda kontrak dengan sultan siak, juga melakukan kontrak di tingkat lebih rendah yakni dengan pimpinan wilayah Tapung dan beberapa kedatukan di sekitarnya (Kabun, Tandung, dan lainnya).
Nah, jika di masa Belanda, kedatukan atau batin itu diakui, mengapa di saat Indonesia sudah merdeka selama 78 tahun, mengabai pimpinan adat di suatu tempat (di pulau) Apresiasi Belanda terhadap pulau Rempang, maka dibuat kapal besar (tanker) dengan nama Rempang.
Kapal ini dibuat tahun 1943 dan beroperasi tahun 1946. ANP Nieuwsbericht yang terbit pada tanggal 17 maret 1950 menjelaskan tentang sebuah kapal uap yang ukurannya besar (tangker), diberi nama Kapal Uap Rempang oleh Belanda.
Kapal uap besar (Rempang) mampu mengangkut kapal ampok dan alkai, yakni kapal patroli memiliki panjang tiga puluh meter; kecepatan dua puluh kilometer per jam yang dipesan pemerintah RI. Kemudian koran Belanda memberitakan, tiga kapal pesiar layar tujuan Olimpiade berangkat ke Melbourne dengan kapal “Rempang”. (Zeiljachten voor Melbourne. "Het Rotterdamsch parool". Rotterdam, 29-08-1956, p.1).
Perusahaan kapal uap Nederland telah menjual kapal Rempang miliknya kepada Atlas Enterprise Ine. atau Panama. Kapal tersebut diserahkan kepada pemilik baru di Genoa pada 4 Juli. Kapal Rempang dibangun pada tahun 1943, dibeli pada tahun 1947 melalui perantaraan pemerintah Belanda. (Nederlands schip verkocht. "De waarheid". Amsterdam, 08-07-1968, p. 2.)
Terkait kapal tanker Rempang ini, maka iklan perjalanan dan pengiriman paket, banyak menyebut kapal lintas benua ini. Iklan paket dan perjalanan antara tahun 1946 sampai tahun 1960 an. Demikian besarnya dampak kapal uap yang diberi nama rempang ini pada media saat itu.
Di masa perang dunia kedua, saat tentara Jepang kalah perang, mereka dievakuasi ke Pulau Rempang, warga Rempang pun mendapat konpensasi dari Belanda.
"Di Pulau Rempang yang terletak di tengah kepulauan Riouw, tepat di sebelah selatan Singapura, kini telah selesai persiapan menerima pasukan Jepang yang berjumlah 230.000 orang.
Hal ini disampaikan kepada Aneta oleh Bapak Van Brakél, warga Riouw, yang selanjutnya mengatakan bahwa penduduk Rempang yang dievakuasi ke pulau-pulau sekitarnya akan mendapat kompensasi yang memadai." (ONS KONINKRIJK DE KAMERS BIJEEN.. "Amigoe di Curacao". Willemstad, 27-11-1945. Hal, 5).
Hal yang sama dialami tentara Jepang yang berada di Medan, mereka merasa aman saat akan dibawa ke Pulau Rempang. Diberitakan dari Medan, para tawanan perang Jepang di Medan yang selalu terkena serangan musuh Indonesia di Sumatera bagian utara, merasa senang karena dipindahkan ke Pulau Rempang. (IEDER OP Z'N BEURT.. "Het nieuws : algemeen dagblad". Paramaribo, 05-01-1946, p. 1.)
Khusus tentera Jepang yang berasal dari Sumatera, mereka diavakuasi ke Pulau Rempang, sedang tentara Jepang yang berasal dari Jawa, sebanyak 77.000 orang, mereka dikumpulkan di Pulau Galang.
Demikian laporan koran Limburgsch dagblad halaman depan, terbitan 8 januari 1946. "Dr. van Mook pada 12 Januari melaporkan. Dia pertama kali berangkat ke London untuk mengadakan diskusi dengan Tuan EFMJ Michiels van Verduhnen duta besar Belanda.
Dalam perjalanan pulang, Dr. van Mook, sebagaimana telah diketahui, juga akan tinggal di Kairo selama tiga hari. Semua orang Jepang di Jawa — sekitar 77.000 orang akan dikirim ke pulau Galang, sementara semua orang Jepang di Sumatra akan dipusatkan di Pulau Rempang, yang dekat dengan tempat itu, telah dikeluarkan perintah oleh Laksamana Helfrich." (Van Mook op 12 Jan. terug.. "Limburgsch dagblad". Heerlen, 08-01-1946, p. 1)
Pulau Rempang dijadikan tempat penyimpan barang berharga milik tentara Jepang yang kalah perang, yang dikumpulkan di Pulau Rempang. Berikut Indische documentatie dienst van ANP-Aneta 1946 (Layanan dokumentasi Indie ANP-Aneta, 1946):
"Usai perang dunia II, seperti diketahui tentara Jepang kalah, disimpan sebuah pulau di kepulauan Riouw dibangun di Rempang, sebelum dibawa ke Jepang. Atas inisiatif CONIE, pasukan di Rempang ini diselidiki, yang mengakibatkan penyitaan sejumlah besar uang Jepang dan Belanda, uang India Belanda (Indonesia), emas, barang berharga lainnya.
Bersama dengan barang-barang dari Makasar dan Batu Pahat, barang-barang tersebut kini telah diambil alih dari otoritas Inggris di Singapura oleh CONIE. (Indische documentatie dienst van ANP-Aneta, 19-12-1946).
Kemudian, pihak Inggris berhasil mengumpulkan harta curian yang dibawa tentara Jepang. totalnya f 3.000.000. Penyerahannya dilakukan oleh Tuan Banckert. Berikut kutipan berita koran saat itu.
"Tuan Banckert yang tiba di Tanjung Priok pagi tadi, membawa 22 dus perak dan satu dus koin emas dari Singapura, barang-barang berharga tersebut disita dari orang Jepang yang bermukim di Pulau Rempang, Kepulauan Riouw.
Pihak Inggris bersama dengan pihak Belanda, mengambil tindakan pencegahan dengan memeriksa barang bawaan mereka secara menyeluruh. Hasilnya sungguh mencengangkan.
Dengan bantuan keterampilan investigasi para pejabat C.0.N.1.E. (Komisi Penelusuran Belanda Timur Indies Property), untuk mengidentifikasi benda-benda tersebut sebagai milik Hindia Belanda dan untuk membujuk penguasa Inggris agar mengembalikannya.
Yang ditemukan terdiri dari: 35 batangan perak, 514 kg perak batangan (perak mentah), 7 kg lebih emas batangan, 433 koin emas dari berbagai negara, 170 gram platinum dan bernilai sekitar ƒ 1.000.000. Selanjutnya Pemerintah menerima ucapan terima kasih kepada C.0.N.1.E. di Singapura.
Benda lainnya: 250 kamera, 4800 tempat pulpen, teropong 8J, 80 cincin emas dan perak, kurang lebih 3111 gerobak. berlian, ƒ 2.127.172,50 uang kertas Java, 519 rantai arloji dan berbagai benda perak kecil lainnya | bernilai sekitar ƒ 2.500.000. ("Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia". Batavia, 23-12-1947, p. 1.)
Kemudian tahun 1975-1779 Pulau Rempang dan Galang menjadi isu internasional. Pulau ini dijadikan tempat penampungan Indochina, orang perahu Vietnam. Disebut manusia perahu, karena mereka nekat keluar dari negaranya dengan menggunakan perahu nelayan.
Manusia perahu Vietnam ini dianggap oleh Malaysia, Singapura, Thailand, Hongkong dan Filipina sebagai masalah, sebab mereka melarikan diri dari negaranya yang penuh konflik perang.
Untuk menyelamatkan manusia perahu Vietnam ini, Indonesia memberi solusi, Pulau Galang-Rempang dijadikan persinggahan untuk sementara.
Perlakuan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Vietnam menimbulkan orang Vietnam Selatan melakukan eksodus ke negara-negara Asia Tenggara di antaranya Filipina, Malaysia, Hong Kong dan Indonesia. (Moh. Fandik, Pengusngsi Vietnam di Indonesia 1975-1979, Avatara, e-Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol.1 NO.2. Januari 2013. Hal. 164.)
Menurut perkiraan, sudah terdapat 140.000 pengungsi di Thailand (sebagian besar adalah warga Kamboja dan Laos), 54.000 di Malaysia, dan 4.000 di Filipina dan Indonesia. Singapura telah mengatakan secara langsung bahwa mereka tidak dapat menampung lebih dari 1.000 orang.
Namun data lainnya, menyebutkan diperkirakan terdapat 200.000 orang yang sebagian besar adalah warga Kamboja di Thailand. Pengungsi: Sebanyak 60.000 pengungsi di Malaysia dan 20.000 pengungsi di Indonesia hampir semuanya adalah orang Vietnam, yang meninggalkan negara mereka dengan perahu nelayan.
Menteri Imigrasi dan Urusan Etnis Australia Michael MacKellar mengatakan bahwa antara 100 hingga 200 ribu pengungsi Vietnam meninggal karena tenggelam, penyakit, dan kelaparan dalam empat tahun terakhir. Lebih dari seperempat juta orang yang putus asa menunggu di kamp-kamp yang padat di Asia Tenggara untuk diterima di negara ketiga.
Proses tersebut sangat lambat dan diperkirakan akan memakan waktu setidaknya dua tahun sebelum jumlah pengungsi yang ada saat ini dapat diserap di negara-negara Barat. (Indonesië stelt eiland beschikbaar als doorgangskamp voor vluchtelingen. "NRC Handelsblad". Rotterdam, 24-02-1979.)
Amerika Serikat bersedia mendanai kamp transit di Indonesia untuk pengungsi dari Indochina. Hal itu diungkapkan Duta Besar Perjalanan Amerika Richard Clark di Jakarta, Kamis 23 April 1979.
Dalam waktu enam bulan, kamp pertama akan dibuka di sebuah pulau yang disediakan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Clark, yang mengoordinasikan urusan pengungsi Amerika Serikat, akan ada dua kamp di pulau Rempang dan Galang, sekitar 50 km selatan Singapura.
Tak satu pun dari pengungsi yang berakhir di kamp tersebut akan tetap tinggal di Indonesia. Pada titik tertentu mereka akan melakukan perjalanan ke negara-negara yang telah menyatakan siap menerima mereka.
Clark berkeliling Asia Tenggara untuk berdiskusi dengan para pemimpin pemerintah mengenai masalah pengungsi. (VS financieren doorgangskampen in Indonesië. "Vrije Stem: onafhankelijk weekblad voor Suriname". Paramaribo, 23-04-1979, p. 4.)
Fungsi Pulau Rempang dan Galang, dalam kasus manusia perahu Vietnam tahun 1975-1979 ini adalah untuk kemanusiaan. Tentunya masyarakat adat setempat sangat mendukung manusia yang terluntang lantung di lautan untuk diselamatkan. PBB pun sangat berharap pada Indonesia, agar pulau tersebut digunakan untuk kamp sementara. Ini tugas mulia.
Sejarah wilayah dan aturan (undang-undang) di negeri ini , khususnya sejarah Batam, Rempang dan Galang (Barelang) ini tidak bisa dilihat hanya dari masa Otonomi Daerah 1999, Otoritas Batam, atau Indonesia Merdeka 1945, atau di masa Belanda, sebaiknya lihat jauh sebelum fase-fase itu.
Memang wilayah Rempang saat ini kampung tua, tetapi dulunya itu besar. Mereka berdaulat, walau dalam skala kecil, untuk kampung mereka sendiri. Nah, sebaiknya, saat muncul investor saat ini dan mendapat persetujuan pusat dan wali kota, sebaiknya juga mendapat persetujuan pimpinan adat setempat.
Mereka memiliki hak bergaining, minimal, mempertahankan kampung halamannya yang sudah tua (sejak dulu adanya).
Prof Abdul Malik, selaku ketua tim penulis sejarah pahlawan nasional Sultan Mahmud Riayat Syah (1761—1812) menyebut warga Rempang yang mendukung perjuangan gerilya laut Sultan Mahmud Riayat Syah di Lingga.
Perjuangan itu sendiri, tetapi juga dari seluruh warga melayu yang bermukim di pulau-pulau, sehingga memperoleh penghargaan sebagai pahlawan nasional. Tak mungkin perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah sendiri. Tentu penduduk di pulau-pulau itu berperan, bahkan mereka gagah berani melawan Belanda yang saat itu bermarkas di Malaka.
Rasanya, tanpa perjuangan mereka, perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah (1761—1812), Indonesia pun tidak terwujud. Kualat kita, jika saat ini anak cucu mereka kita usir dari kampung mereka sendiri.
Setelah ratusan tahun berlalu, kini jumlah penduduk di Pulau Rempang sebanyak 7.500 hingga 10 ribu jiwa. Aksi demo penduduk Rempang kabarnya mereka mau menerima investor (karena adanya peluang pekerjaan dan mendapat rumah layak huni), tetapi jangan rumah dan kampung mereka dihancurkan.
Artinya mereka welcome pada investor yang sudah mendapatkan izin dari pemerintah pusat (yang kabarnya sudah mendapatkan izin dari pemerintah pusat sejak tahun 2001). Yang ingin mereka (warga pulau rempang) pertahankan hanya entitas (keberadaan) kampung mereka, yang sejak dulu kala mereka bermukim.
Jika di masa penjajah Belanda saja mereka dilindungi (diakui), tentunya di masa kemerdekaan, lebih dari itu. Mereka (keturunan pejuang di masa Sultan Mahmud Riayat Syah) juga berhak merasakan kemerdekaan.
Hukum adat mengakui keberadaan entitas penduduk rempang dengan batinnya, diakui pemerintah Belanda di masa lalu hingga kini. Makanya mereka berdaulat, berhak untuk wilayahnya, berhak bernegosiasi dengan pemerintah RI dan juga dengan investor yang akan menguasai wilayah Pulau Rempang.
Jangankan kampung tua, pulau rempang itu mereka berhak. Jika duduk bersama (kesepakatan dengan pusat, pemprov, pemko dan batin atau pucuk adat rempang), insyaAllah akan ketemu solusinya.
*Jarir, dosen sejarah budaya Melayu. ***