Ari Sulistyanto: Perlukah Stealing Thunder Buat Ganjar Pranowo?
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 18 September 2023 04:24 WIB
Oleh: Ari Sulistyanto*
ORBITINDONESIA.COM - Tulisan Denny JA yang berjudul “Kemiskinan di Jawa Tengah Batu Sandungan Ganjar Pranowo Terpilih Menjadi Presiden?” menyatakan, masalah kemiskinan dapat menurunkan elektabilitas Ganjar sebagai capres.
Ia mengemukakan tiga hal yang bisa men-downgrade elektabilitas Ganjar. Yaitu: data itu harus valid dan dikeluarkan oleh lembaga yang kredibel dan acapkali menjadi rujukan.
Data ini pun harus diketahui seluas mungkin, disadari oleh mayoritas pemilih, dan Ganjar gagal me-marketing-kan counter-nya secara sama luasnya dengan beredarnya isu itu.
Apabila ketiga syarat itu terpenuhi dan dimanfaatkan kubu lawan, tentu merupakan bencana bagi kubu Ganjar. Dalam konteks komunikasi, telah terjadi krisis. Kredibilitas Ganjar sebagai pemimpin negara akan dipertanyakan.
Bagaimanapun, kata Marx, ekonomi adalah bangunan bawah. Kegagalan dalam pengelolaan ekonomi memberi efek domino kegagalan pada pengelolaan bidang lain.
Stealing Thunder
Oleh karena itu, penting untuk mengendalikan isu tersebut agar tidak berkembang liar dan menimbulkan krisis kredibilitas Ganjar. Dalam manajemen komunikasi krisis, ada strategi proaktif yang bisa dilakukan. Para ahli komunikasi menyebutnya dengan istilah “stealing thunder” atau mencuri guntur.
Strategi ini mengacu pada pesan yang mengungkapkan adanya masalah, sebelum orang lain memiliki kesempatan untuk menyerang pelaku kesalahan tersebut, atau pengungkapan informasi yang berpotensi merusak tentang diri sendiri sebelum pihak ketiga dapat mengungkapkan informasi yang sama.
Baca Juga: Di Depan Relawan Tiba-tiba Sebut Erick Thohir, Jokowi: Bersuara Nggak Apa-apa
Strategi ini awalnya dipraktikkan oleh pengacara dalam membela terdakwa di persidangan. Kejujuran terdakwa diperlukan dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskan terdakwa. Kemudian strategi ini berkembang luas dipraktikkan dalam dunia bisnis, sosial, maupun politik.
Dalam beberapa kasus, strategi ini cukup efektif meredam isu negatif yang akan menyerang menjadi positif, bahkan bisa menimbulkan simpati. Salah satu contoh “stealing thunder” adalah yang secara efektif digunakan bintang tenis Maria Sharapova.
Ia secara jujur mengungkapkan lebih dahulu kepada masyarakat umum melalui konferensi pers bahwa dia telah dites positif menggunakan zat terlarang pada turnamen Australia Terbuka.
Pengumuman itu sengaja ia lakukan sebelum pihak panitia turnamen mengetahui. Meskipun pengungkapan ini merugikan sejumlah sponsor terkenal, termasuk Nike, Avon, Porsche, dan Tag Heuer, Sharapova mendapatkan dukungan luas dari masyarakat umum.
Baca Juga: Menemukan Ketenangan dalam Gerak, Inilah Rekomendasi 5 Spot Jogging di Jakarta
Bahkan rivalnya bintang tenis terkenal Serena Williams memuji Sharapova karena keberanian mengungkapkan kesalahan dirinya menggunakan narkoba. Kendati rivalitas di lapangan terus berlanjut, Sharapova telah memberikan pelajaran bahwa membuka kejujuran lebih awal membuat kredibilitasnya terjaga.
Contoh lain, “stealing thunder” digunakan secara efektif sebagai strategi manajemen krisis yang melibatkan pembawa acara televisi tengah malam yang terkenal, David Letterman. Letterman gerah atas rahasia pribadi yang dijadikan ajang pemerasan untuk menghancurkan reputasinya.
Strategi proaktif dilakukan dengan mengumumkan kepada publik bahwa dia telah terlibat dalam beberapa hubungan di luar nikah dengan stafnya. Pengumuman Letterman ini menutup liputan media massa untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Kemanjuran “stealing thunder” ini juga telah dieksplorasi dalam pengaturan bisnis dan tempat kerja. Misalnya, publik menilai sebuah organisasi dianggap lebih kredibel ketika mengungkapkan diri adanya krisis dibandingkan ketika publik diminta menerima informasi krisis dari sumber pihak ketiga.
Baca Juga: 5 Akrtis Indonesia yang Cocok Perankan Nefertari Vivi di One Piece Live Action season 2
Dalam paradigma investasi, ketika bisnis mengungkapkan praktik negatifnya sendiri (mencuri guntur), hal ini tidak menimbulkan persepsi negatif. Kenyataanya, strategi “stealing thunder” memiliki efek perlindungan, yaitu secara signifikan mengurangi dampak negatif.
Efek ini akan berbeda ketika praktik negatif itu ditemukan dan diinformasikan oleh pihak ketiga. Dengan kata lain, dengan mengambil inisiatif untuk mengakui pelanggarannya, perusahaan menghilangkan kerugian yang akan timbul jika informasi tersebut dibocorkan oleh pihak lain.
Dalam domain politik, sebuah studi mengungkapkan bahwa anggota profesional media menilai kandidat politik yang menerapkan “stealing thunder” tentang pelanggarannya dengan lebih jujur.
Profesional media tersebut menunjukkan minat yang kurang dalam mengejar pelanggaran, untuk membuat sensasi, dan menindaklanjuti dengan artikel tentang informasi yang merusak tersebut.
Baca Juga: Bob Randilawe: Indonesia Bisa Periksa Semua Bantuan Asing untuk Cegah Intervensi Hasil Pilpres 2024
Studi lain menunjukkan, mahasiswa jurnalistik menilai positif dan dapat dipercaya, apabila seorang politikus dengan strategi “stealing thunder” mengakui kesalahan dengan jujur, dibandingkan dengan ketika kesalahannya diungkap oleh pihak ketiga.
Selain itu, mereka juga cenderung mendeskripsikan politisi ini dengan kata-kata negatif dan menulis artikel yang lebih panjang tentang pelanggaran mereka.
Sebuah studi lebih lanjut memperlihatkan keinginan yang lebih besar untuk memilih calon politik yang melakukan strategi “stealing thunder” dibandingkan dengan politisi yang ketahuan memiliki kesalahan ketika diungkapkan oleh pihak ketiga.
John F. Kennedy vs Fidel Castro Dalam Insiden Teluk Babi
Perang Amerika Serikat melawan komunisme berkecamuk selama beberapa dekade. Korea telah menjadi medan pertempuran yang menonjol pada 1950-an dan Perang Vietnam pada 1970-an.
Di sela-sela itu, AS berupaya menentang pemerintahan komunis di Kuba. Fidel Castro yang dianggap sebagai pemimpin komunis memimpin Gerakan 26 Juli dan berhasil menggulingkan pemerintah Kuba di bawah Presiden Fulgencio Batista dan memaksanya keluar dari Kuba.
Pasca-revolusi, Presiden Dwight Eisenhower menyetujui rencana untuk membantu orang-orang buangan Kuba, dalam upaya mereka merebut kembali Kuba dengan menyediakan senjata dan pelatihan. Kebijakan Eisenhower kemudian dilanjutkan Presiden terpilih John F. Kennedy untuk membantu orang buangan Kuba menggulingkan Castro.
Orang buangan inilah yang sebenarnya menginvasi Kuba pada 17 April 1961, di Teluk Babi. Invasi tersebut dikalahkan secara meyakinkan dalam dua hari pada tanggal 19 April 1961. Tentu saja, wajah Amerika Serikat terancam tercoreng dengan insiden tersebut.
Yang menarik bagaimana gaya retorika John F. Kennedy menerapkan strategi “stealing thunder”. Pada awalnya, Kennedy menjelaskan bahwa ia ingin "membahas secara singkat, saat ini peristiwa itu terjadi di Kuba."
Baca Juga: Spoiler dan Jadwal Rilis Manga Kagura Bachi, Rekomendasi Komik Jepang terbaru dari Shonen Jump
Ini mengakui invasi itu sebagai bencana tanpa memikirkan detail peristiwa tersebut. Presiden dengan tegas menyangkal bahwa Angkatan Bersenjata Amerika telah melakukan intervensi di Kuba di Teluk Babi.
Dalam pidatonya, “Intervensi Amerika sepihak apa pun, tanpa adanya serangan eksternal terhadap diri kita sendiri atau sekutu, akan bertentangan dengan tradisi Amerika dan kewajiban internasional Amerika.”
Pidato tersebut menjelaskan bahwa Kennedy tidak menyangkal AS telah mendukung invasi Kuba dengan memasok senjata atau pelatihan, tetapi tidak dengan Angkatan Bersenjata AS yang melakukan intervensi.
Kedua, Kennedy, kemudian menyinggung rivalnya Uni Soviet telah melakukan serangan bersenjata ke negara lain. Dalam pidatonya, Kennedy menjelaskan, "Kami tidak bermaksud untuk dikuliahi tentang 'intervensi' oleh mereka yang karakternya dicap sepanjang waktu di jalanan berdarah Budapest?"
Baca Juga: Mengenal Masalah Kesehatan Mental Ibu Pasca Melahirkan, Tak Hanya Baby Blues, Ada Juga Postpartum
Yang dimaksud Kennedy adalah Rusia menginvasi Hongaria pada 1956. Pada saat itu, Khrushchev tidak mengkritik Kennedy atas invasi Teluk Babi. Pidato itu adalah upaya untuk mengalihkan perhatian dari AS dan Teluk Babi.
Kemudian Kennedy melanjutkan, “Tapi bagaimana dengan jalanan berdarah di Budapest?” Kennedy berupaya memperluas gagasan dengan menyatakan "bukan pertama kalinya tank Komunis menggulingkan pria dan wanita gagah yang berjuang untuk menebus kemerdekaan tanah air mereka."
Kendati Kennedy tidak mengidentifikasi kejadian secara spesifik, faktanya Rusia menginvasi Polandia pada 1939, negara Baltik pada 1940, dan Finlandia pada 1940. Pernyataan ini bisa mengalihkan perhatian dari kegagalan AS di Teluk Babi ke agresi Rusia di masa lalu.
Ketiga, Kennedy menyebutkan bahwa AS adalah "demokrasi yang hebat." Kennedy mengatakan bahwa AS “tidak akan ragu dalam memenuhi kewajiban utamanya, yaitu untuk keamanan negara AS!”
Baca Juga: Mengenal Tradisi Unik Masyarakat Cirebon, Membuat Kue Apem untuk Keselamatan di Bulan Safar
Kennedy juga menyatakan cita-citanya, menegaskan bahwa “kita harus membangun belahan bumi di mana kebebasan dapat berkembang.” Pernyataan ini menegaskan untuk memperkuat reputasi Amerika.
Seperti yang diharapkan, Fidel Castro berpidato mencela agresi AS pada 23 April 1961. Namun, Kennedy telah melemahkan serangan Castro dengan memberikan pidato untuk mempertahankan citra Amerika dan mencuri perhatian ke Castro.
Kennedy mengakui adanya invasi Teluk Babi sambil menyangkal bahwa bukan Angkatan Bersenjata AS yang telah melakukan intervensi di Kuba.
Bahkan jika mengetahui dukungan AS dalam persenjataan dan pelatihan, bantuan semacam itu sangat berlawanan dengan gambar tank Soviet dan jalan berdarah di Budapest. Presiden Kennedy berusaha mengalihkan perhatian dan juga memperkuat citra negaranya.
Baca Juga: Mengenal Wayang Krucil, Seni Pertunjukan yang Digemari Para Petani di Jawa
Bumerang
Strategi “stealing thunder” bisa menjadi tidak efektif menjaga kredibilitas, bahkan bisa menjadi bumerang. Ambil contoh, misalnya, mantan Presiden AS George Bush yang terkenal membuat pernyataan publik tentang masalah sebelumnya dengan minum alkohol berlebihan, yang kemudian diungkapkan oleh pihak ketiga.
Pola serupa juga muncul pada tokoh politik lain yang terlibat dalam skandal yang dipublikasikan secara luas, seperti Jaksa Agung New York Anthony Weiner dengan skandal seks-nya.
Kandidat Presiden John Edwards yang berselingkuh dari istrinya. Hillary Clinton dengan skandal emailnya selama pemilihan presiden, dan dugaan kolusi Donald Trump dengan peretas Rusia untuk mencurangi pemilihan presiden demi kepentingannya. Strategi “stealth thunder” kenyataannya tidak mampu menolong kredibilitas.
Setidaknya ada satu alasan yang bisa dijelaskan mengapa “stealing thunder” dapat menjadi bumerang. Berangkat dari asumsi bahwa pengakuan bersalah dapat dikonseptualisasikan sebagai rangkaian cerita, mulai dari yang sangat spesifik hingga yang sangat kabur. Seringkali, pengakuan terhadap kesalahan dibuat kabur dan samar-samar.
Baca Juga: 5 Fakta Menarik tentang Desainer Legendaris Oscar De La Renta
Misalnya, dalam kasus skandal Bill Clinton, pengakuannya yang adalah "telah menyebabkan rasa sakit" dalam pernikahannya, berupaya untuk mengalihkan perhatian dari tindakan perselingkuhan. Pengakuan umum yang samar-samar bisa memberi celah pihak ketiga untuk melakukan investigasi lebih lanjut dan menyiarkannya.
Dengan demikian, memberikan pengakuan yang kurang detail sama halnya dengan mereka yang tidak mengaku sama sekali. Oleh karena itu, kejujuran dan keterbukaan penting ketika mengungkap kelemahan atau kesalahan.
Contoh lain yang menarik adalah perbandingan antara penggunaan strategi “stealing thunder” dengan ketika media atau pihak ketiga yang memberitakan kesalahannya.
Cerita bermula, awal Maret 2008, media mengungkapkan bahwa Eliot Spitzer, Gubernur New York saat itu, adalah klien tetap dari jaringan prostitusi mahal yang dikenal sebagai Emperors Club VIP. Dia dikenal sebagai “'Klien 9.” Perempuan favoritnya adalah pelacur yang berambut coklat yang selalu diminta datang ke hotelnya di Washington.
Apa yang dimulai sebagai penyidikan prostitusi segera berubah menjadi penyelidikan korupsi terhadap Gubernur. Akibatnya, ia menghadapi kemungkinan tuduhan prostitusi dan pencucian uang.
Pada saat berita protitusi dan korupsi menjadi headline di media, saat itu juga Eliot Spitzer membacakan pernyataan yang ambigu kepada pers. Ia meminta maaf kepada keluarganya dan publik.
Kendati demikian, ia tidak menjelaskan untuk apa dia meminta maaf, dan tidak mau menerima pertanyaan dari wartawan, dan menghilang. Selama dua hari berikutnya, media berspekulasi liar terhadap kesalahannya.
Empat puluh delapan jam kemudian Spitzer muncul kembali, kemudian membaca pernyataan yang disiapkan selama 2 menit, menyatakan secara terbuka mengundurkan diri dan pergi tanpa menjawab pertanyaan.
Berbeda dengan Gubernur David Paterson, yang dilantik sebagai Gubernur ke-55 Negara Bagian New York. Pada 17 Maret 2008, satu minggu setelah skandal Spitzer dipublikasikan, Paterson mengetahui desas-desus perselingkuhan dalam pernikahannya berkembang di antara korps pers dan politisi di gedung perwakilan rakyat negara bagian New York.
Paterson tahu, wartawan telah mengunjungi teman dan keluarga untuk membicarakan kehidupan pribadinya. Alih-alih membiarkan desas-desus itu membusuk, Paterson memutuskan untuk menghadapi mereka secara langsung dan menceritakan kabar buruknya sendiri. Paterson dan istrinya duduk bersama di depan wartawan dan memberikan wawancara, mengakui bahwa mereka berdua tidak setia dalam pernikahan mereka.
Keesokan harinya, saat konferensi pers diadakan untuk membahas masalah tersebut lebih lanjut, Paterson ditanya mengapa dia dan istrinya begitu terbuka. Paterson menjawab, "kami memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya," dan “apa yang benar-benar ingin saya lakukan, semua ini adalah tanggung jawabku”.
Gubernur Peterson adalah contoh politisi yang mengakui kesalahannya secara terbuka dan jujur. Akhirnya, ia terselamatkan dalam jabatannya.
Komunikasi Konteks Tinggi Dan Komunikasi Konteks rendah
Andaikan data kemiskinan di Jawa Tengah menjadi isu untuk menjatuhkan Ganjar, apakah perlu untuk melakukan strategi “stealing thunder” --memberi penjelasan isu kemiskinan terlebih dulu, sebelum pihak lawan menyerang atau media menyiarkan. Ini perlu pertimbangan dan pemikiran matang.
Contoh kasus keberhasilan dalam menerapkan strategi “stealing thunder,” seperti diungkapkan di atas, umumnya berlangsung pada wilayah budaya masyarakat Barat yang terbiasa dengan komunikasi konteks rendah. Sedangkan wilayah Timur, seperti masyarakat Asia terbiasa dengan budaya komunikasi konteks tinggi. Indonesia adalah bagian dari budaya komunikasi konteks tinggi.
Edward T. Hall (1976) dalam bukunya Beyond Culture, membagi budaya komunikasi konteks tinggi dan konteks rendah. Komunikasi konteks tinggi dicirikan dengan pesannya bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang.
Pesan yang sebenarnya, bisa saja tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara, seperti intonasi suara, gerakan tangan, postur tubuh, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan kontak fisik. Pernyataan verbal bisa berbeda dengan pernyataan nonverbal. Sedangkan pada komunikasi konteks rendah, karateristik pesan bersifat eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang.
Berkaitan dengan persepsi terhadap isu dan kelogisan informasi. Budaya komunikasi konteks tinggi selalu melihat siapa yang menyebarkan isu, tidak memperhatikan informasi secara detil-rasional dan cenderung emosional. Sebaliknya, komunikasi konteks rendah tidak melihat siapa yang menyebarkan isu, asal rasional dan logis.
Apabila isu kemiskinan Jawa Tengah menjadi terbuka, sekaligus dengan argumentasi dan data valid sekalipun. Bagi pendukung Ganjar (PDIP dan partai koalisinya), isu tersebut dianggap sebagai serangan dan tidak menyebabkan Ganjar powerless. Yang perlu diwaspadai adalah para pemilih milenial yang cenderung berpikir rasional dan logis.
Dalam tradisi budaya China, mengakui kesalahan berarti siap untuk kehilangan muka. Sama halnya dengan Ganjar, mengakui Jawa Tengah selama kepemimpinan dua periode masih tergolong miskin, bisa menjadi potensi amunisi bagi lawan untuk menyerang yang menyebabkan kredibilitasnya turun, dan membuat pendukungnya lelah membela.
Tetapi, bagaimana kalau pihak ketiga (media atau lawan politik) mengungkapkan lebih dulu? Situasi ini membuat Ganjar terjebak dalam krisis komunikasi. “Stealing thunder” bisa efektif diterapkan pada masyarakat dengan komunikasi konteks rendah. Tetapi belum tentu berlaku pada masyarakat dengan budaya komunikasi konteks tinggi.
Ada beberapa kerangka acuan, ketika menghadapi komunikasi krisis sebagai perbaikan kredibilitas dan citra. William I. Bennoit (2008) menjelaskan lima tipologi, yaitu penyangkalan, penghindaran tanggung jawab, mengurangi serangan, tindakan perbaikan, dan mortifikasi.
Tidak semua digunakan, tentu saja disesuaikan dengan konteks budaya Indonesia, seperti penyangkalan, mengurangi serangan dan tindakan perbaikan.
Penyangkalan, misalnya, bahwa kemiskinan di Jawa Tengah sebagai akibat dampak lanjutan dari bencana pandemic Covid-19 yang baru usai. Mengurangi serangan, yaitu dengan menunjukan bukti positif yang telah dicapai selama memimpin Jawa Tengah.
Tindakan perbaikan dengan bukti positif keberhasilan pembangunan Jawa Tengah bisa menjadi modal untuk pembangunan kemajuan Indonesia.
Terakhir, Alexander Pope (1688–1784) mencatat secara ringkas, “Melakukan kesalahan adalah manusiawi. Namun, kemungkinan mendapatkan pengampunan itu mungkin tergantung pada bagaimana seseorang menangani arus komunikasi tentang kesalahan tersebut.
Bahan Referensi
Bell, T. R. (2018). "Stealing thunder through social media: The framing of Maria Sharapova’s drug suspension." International Journal of Sport Communication, 11(3), 369–388. https://doi.org/10.1123/ijsc.2018-0079
Fowler, B. M. (2017). "Stealing thunder and filling the silence: Twitter as a primary channel of police crisis communication." Public Relations Review, 43(4), 718–728. https://doi.org/10.1016/J.PUBREV.2017.04.007
Guchait, P. (2019). "Examining stealing thunder as a new service recovery strategy: impact on customer loyalty." International Journal of Contemporary Hospitality Management, 31(2), 931–952. https://doi.org/10.1108/IJCHM-02-2018-0127
Kim, K. (2020). "Stealing Thunder in Negative Political Advertising: The Persuasive Impact of One-sided and Two-sided Negative Messages on Partisan Individuals." Journal of Creative Communications, 15(1), 7–18. https://doi.org/10.1177/0973258619876222
Lee, S. Y. (2020). "Stealing thunder as a crisis communication strategy in the digital age." Business Horizons, 63(6), 801–810. https://doi.org/10.1016/j.bushor.2020.07.006
Lee, S. Y. (2021). "Fixing the barn door before the horse bolts: Effects of pre-crisis engagement and stealing thunder in crisis communication." Public Relations Review, 47(1). https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2020.101930
*Ari Sulistyanto, Staf Pengajar Tetap Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta ***