Fajar B Hirawan: Anomali Potensi Ekonomi dan Capaian Sosial Kependudukan di Jawa Tengah
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 15 September 2023 03:46 WIB
Oleh: Fajar B Hirawan, Ketua Departemen Ekonomi CSIS
ORBITINDONESIA.COM - Pesta demokrasi di Indonesia memang penuh dengan dinamika. Adu gagasan hingga adu kekuatan basis dukungan menjadi hal yang sangat lumrah dijumpai, ketika negeri ini sedang berpesta lima tahunan untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Gesekan sosial, meskipun tidak terlalu masif, masih saja seringkali terjadi di masa-masa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).
Sentimen kesukuan dan kedaerahan juga seringkali dikemas sedemikian rupa, demi memperoleh pengaruh dan dukungan guna mempermulus jalan calon wakil rakyat dan pemimpin, agar sampai ke titik akhir pengharapan sebagai wakil rakyat dan pemimpin sesungguhnya.
Baca Juga: Timnas Indonesia Lolos ke Piala Asia U 23, Shin Tae Yong: Erick Thohir Sering ke Stadion
Jawa adalah kunci merupakan contoh di mana sentimen kesukuan dan kedaerahan begitu kentara menjelang pesta demokrasi di Indonesia. Setidaknya pernyataan tersebut cukup mendasar karena kontribusi Pulau Jawa memang masih sangat dominan.
Data terakhir Badan Pusat Statistik di triwulan pertama 2023 memperlihatkan bahwa Pulau Jawa memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar 57,17 persen dengan pertumbuhan sebesar 4,96 persen (yoy).
Jika ditelaah lebih mendalam, dari kontribusi Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia tersebut, 26,60 persen berasal dari DKI Jakarta, disusul Jawa Timur (24,99 persen), Jawa Barat (22,35 persen), dan Jawa Tengah (14,54 persen). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di keempat provinsi ini juga berada di kisaran 4,95 - 5,04 persen (yoy).
Dari perspektif sosial dan kependudukan, meskipun Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar terhadap perekonomian nasional, bukan berarti Pulau Jawa luput dari permasalahan seperti kemiskinan dan ketimpangan, pengangguran, dan kerawanan pangan.
Baca Juga: Muslim Wajib Tahu, Ini Manfaat Positif yang Didapat Ketika Membaca Surat Yasin di Malam Jumat
Tulisan Denny JA yang berjudul ”Kemiskinan di Jawa Tengah Batu Sandungan Ganjar Pranowo Terpilih Menjadi Presiden?” tampaknya berupaya untuk membahas isu sosial dan kependudukan yang cenderung anomali, dengan fakta bahwa Provinsi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, yang seharusnya punya potensi ekonomi yang cukup menjanjikan.
Potensi Jawa Tengah di sektor industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan seharusnya menjadi peluang bagi provinsi ini untuk memperbaiki isu sosial dan kependudukannya.
Tulisan ini akan mengupas kinerja dan capaian ekonomi, termasuk terkait isu sosial dan kependudukan di Provinsi Jawa Tengah, sekaligus menanggapi apa yang dibahas oleh Denny JA dalam tulisannya terkait kemiskinan di Jawa Tengah.
Potensi Ekonomi Jawa Tengah
Berbicara terkait kontribusi Pulau Jawa, pembangunan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir diupayakan untuk mendorong pembangunan yang bersifat Indonesia sentris dan bukan Jawa sentris. Tetapi tetap saja dominasi Pulau Jawa sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat terlihat jelas.
Baca Juga: Inilah Profil Lengkap Karen Agustiawan yang Disebut Tersangka Kasus LNG Pertamina oleh Dahlan Iskan
Berdasarkan sisi pengeluaran, Pulau Jawa disokong oleh konsumsi rumah tangga yang masih sangat superior kontribusinya, yaitu di atas 60 persen. Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, industri pengolahan dan perdagangan menjadi sektor primadona bagi keempat Provinsi penyumbang terbesar terhadap perekonomian Pulau Jawa.
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang juga memiliki karakteristik ekonomi, khususnya struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang identik dengan ketiga provinsi penyumbang utama di Pulau Jawa.
Berdasarkan data terakhir BPS Jawa Tengah, kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 60 persen terhadap perekonomian di Provinsi tersebut.
Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan berkontribusi sebesar 34 persen, disusul sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan kontribusi sebesar 14,46 persen, serta sektor perdagangan (13,61 persen).
Angka tersebut dapat dijadikan dasar bahwa potensi ekonomi Jawa Tengah sangatlah menjanjikan, setidaknya dalam konteks sosial dan kependudukan, khususnya terkait dengan penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Olivia Rodrigo Jadwalkan Guts World Tour di Tahun 2024, Ini Daftar Kota Lengkap dengan Tanggalnya!
Pembukaan Kawasan Industri Terpadu Batang merupakan salah satu contoh upaya mengoptimalkan potensi sektor industri pengolahan di Jawa Tengah. Dengan semakin banyak dan berkembangnya Kawasan Industri di Jawa Tengah, seharusnya mampu menurunkan angka penggangguran yang cukup signifikan di Provinsi tersebut.
Berbicara terkait kawasan industri, Jawa Tengah juga memiliki banyak kawasan industri yang seharusnya mampu menyerap tenaga kerja dan menyejahterakan masyarakatnya.
Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal merupakan beberapa wilayah di Jawa Tengah yang memang memiliki fokus untuk mengembangkan sektor industri pengolahan.
Sementara itu, di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, Jawa Tengah juga memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Daya serap tenaga kerja di sektor ini juga merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor lain.
Baca Juga: Seorang Jurnalis Klaim Temukan Tubuh Alien, Legislator Meksiko Gerak Cepat Gelar Sidang Terbuka
Berdasarkan data BPS Jawa Tengah, sektor pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan memiliki distribusi penduduk bekerja tertinggi. Dari 19,96 juta penduduk yang bekerja di Jawa Tengah, 29,78 persen berada di sektor pertanian, disusul sektor industri pengolahan sebesar 19,09 persen dan perdagangan sebesar 18,50 persen.
Komoditas pertanian di Provinsi Jawa Tengah juga cukup beragam. Kabupaten Brebes memiliki keunggulan komoditas bawang merah, Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara menjadi sentra perkebunan teh dan kentang, Kabupaten Grobogan memproduksi jagung, Kabupaten Wonogiri menjadi sentra produksi ubi kayu, dan Kabupaten Pati sebagai sentra produksi tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan.
Potensi ekonomi lainnya yang memiliki prospek menjanjikan di Jawa Tengah adalah sektor perdagangan. Keberadaan Pelabuhan Tanjung Emas di tepi kota Semarang menjadi salah satu keunggulan tersendiri untuk menyokong kegiatan sektor perdagangan.
Pelabuhan Tanjung Emas bukan hanya dapat menjadi hub lalu lintas perdagangan di dalam negeri, tetapi juga dapat menjadi hub internasional. Kondisi tersebut secara otomatis dapat mendorong kegiatan yang lebih masif lagi di sektor perdagangan dan sektor-sektor lainnya yang terkait dengan aktivitas perdagangan.
Baca Juga: Di Bawah Ibnu Chuldun, Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Raih 7 Penghargaan dari KPPN Jakarta V
Dengan karakteristik struktur perekonomian yang mengandalkan tiga sektor utama di atas, Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap ekonomi Pulau Jawa maupun nasional, idealnya mampu mendorong masyarakatnya untuk lebih sejahtera.
Isu Sosial dan Kependudukan Jawa Tengah
Fakta yang memperlihatkan capaian sosial dan kependudukan di Jawa Tengah yang kurang menggembirakan, khususnya dalam konteks kemiskinan, sepertinya menjadi anomali tersendiri dari apa yang seharusnya dapat dihasilkan.
Pemberitaan yang marak terkait status Jawa Tengah sebagai provinsi termiskin kedua di Pulau Jawa setelah DI Yogyakarta memang sewajarnya menjadi tamparan keras bagi pemimpin daerahnya.
Meskipun hanyalah sebuah angka persentase, bukan angka absolut, dan kebetulan angka persentase kemiskinan di Jawa Tengah (10,98 persen) dan DI Yogyakarta (11,49 persen) lebih tinggi dibandingkan persentase rata-rata nasional (9,57 persen), tetap saja kondisi ini memperlihatkan adanya anomali antara potensi ekonomi dengan capaian sosial dan kependudukan yang seharusnya dapat tercapai.
Baca Juga: Selena Gomez Bercanda Bahwa Dirinya Merasa Sembelit Ketika Berada di Samping Taylor Swift
Jika dikaitkan dengan kontestasi politik menjelang Pemilu, raihan angka persentase tersebut tentu saja menjadi sasaran empuk bagi penantang. Mereka pastinya akan menggunakannya sebagai amunisi untuk menyerang pihak yang kebetulan pernah menjadi pemimpin daerah di Provinsi tersebut. Hal ini sesuai dengan harapan yang dituangkan dalam tulisan Denny JA.
Poin Denny JA terkait dengan data yang valid dan kredibel, karakteristik pemilih, dan upaya penjelasan dari pihak yang bersangkutan memang menjadi hal penting. Namun, isu sosial dan kependudukan ini tidaklah terbatas hanya indikator kemiskinan.
Setidaknya ada beberapa indikator lainnya yang dapat digunakan, seperti ketimpangan, pengangguran, kerawanan pangan, dan indeks pembangunan manusia. Beberapa indikator ini harusnya dapat menjadi pelengkap dalam menjelaskan capaian sosial dan kependudukan di provinsi yang ingin ditelaah.
Dari sudut pandang ketimpangan, berdasarkan data BPS terakhir, rata-rata nasional menunjukkan angka koefisien gini (perkotaan dan perdesaan) sebesar 0,381. Jika nilai koefisien gini mendekati 1 artinya semakin timpang, sedangkan jika nilainya mendekati 0 artinya semakin merata (tidak timpang).
Baca Juga: Inilah Sinopsis Lengkap dengan Daftar Pemeran Film Horor Terbaru Siksa Kubur Garapan Joko Anwar
Dalam hal ini, Jawa Tengah (0,366), Jawa Timur (0,365), dan Banten (0,377) merupakan Provinsi yang nilai koefisien gininya di bawah rata-rata nasional. Sementara itu, DKI Jakarta (0,412), Jawa Barat (0,412), dan DI Yogyakarta (0,459). Indikator ini sepertinya sangat relevan untuk melengkapi data kemiskinan yang dibahas oleh Denny JA.
Selanjutnya, data BPS per Februari 2023 terkait tingkat pengangguran terbuka, jika dilihat secara rata-rata nasional, angkanya adalah sebesar 5,45 persen. Pengangguran terbuka sendiri secara definisi adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
Dalam hal ini DI Yogyakarta (3,58 persen), Jawa Timur (4,33 persen), dan Jawa Tengah (5,24 persen) menjadi Provinsi di Pulau Jawa yang persentase tingkat pengangguran terbukanya di bawah rata-rata nasional. Sedangkan, DKI Jakarta (7,57 persen), Jawa Barat (7,89 persen), dan Banten (7,97 persen), persentase tingkat pengangguran terbukanya berada di atas rata-rata nasional.
Sementara itu, dari perspektif kerawanan pangan, indikator prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau berat menunjukkan rata-rata nasional sebesar 4,85 persen di tahun 2022.
Dalam hal ini, Jawa Tengah (3,00 persen), DI Yogyakarta (2,69 persen), Jawa Timur (3,16 persen), dan DKI Jakarta (3,77 persen), memiliki persentase kerawanan pangan di bawah rata-rata nasional. Sementara itu, yang cukup mengejutkan adalah Jawa Barat ( 5,18 persen) dan Banten (5,62 persen) yang justru memiliki persentase kerawanan pangan di atas rata-rata nasional.
Dan yang terakhir adalah indikator terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan data BPS, di tahun 2022, rata-rata nasional IPM berada di angka 72,91. Angka ini tidak banyak berubah sejak tahun 2020 yang berada di kisaran 71,94 - 72,29.
DKI Jakarta (81,65), DI Yogyakarta (80,64), Banten (73,32), dan Jawa Barat (73,12) merupakan provinsi yang memiliki IPM di atas rata-rata nasional di tahun 2022. Sementara itu, Jawa Timur (72,75) dan Jawa Tengah (72,79) memiliki IPM di bawah rata-rata nasional.
Penilaian secara parsial terkait capaian ekonomi, sosial dan kependudukan di suatu wilayah tertentu memang merupakan hal yang wajar untuk membangun persepsi dan opini publik yang bertujuan untuk membangun narasi politik.
Namun, dalam konteks Provinsi Jawa Tengah, yang ingin saya garisbawahi dalam tulisan ini adalah adanya kecenderungan anomali antara potensi ekonomi provinsi tersebut yang ada dengan capaian sosial dan kependudukan yang seharusnya dapat diperoleh.
Capaian Provinsi Jawa Tengah dalam konteks kemiskinan dan IPM memang cenderung tidak lebih baik dibandingkan rata-rata nasional.
Namun, setidaknya ada beberapa indikator sosial dan kependudukan lainnya yang cenderung menunjukkan Jawa Tengah sebagai provinsi di Pulau Jawa yang memiliki capaian lumayan baik dari segi ketimpangan, persentase pengangguran, dan kerawanan pangan.
Meskipun begitu, capaian tersebut seharusnya dapat lebih baik lagi, jika Jawa Tengah mampu mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada melalui sektor-sektor unggulannya.
Kapitalisasi Isu Ekonomi dan Kesejahteraan
Pada akhirnya, secara prinsip, tulisan Denny JA sepertinya masih cukup relevan dan saya sepakat bahwa isu ekonomi dan kesejahteraan merupakan isu yang sangat penting bagi pemilih dalam kontestasi politik, khususnya menjelang Pemilu. Maka, siapapun yang akan bertarung dalam Pemilu harus paham betul bagaimana mengkapitalisasi isu ekonomi dan kesejahteraan.
Temuan menarik dari survei yang dilakukan CSIS di tahun 2022, yang melibatkan anak muda berusia 15-39 tahun sebagai respondennya, bahwa mahalnya harga sembako dan terbatasnya peluang kerja merupakan dua isu penting saat ini.
Dari 1.192 sampel yang dijadikan responden dan mencakup 34 provinsi di Indonesia, 32 persen menjawab isu mahalnya harga sembako menjadi isu penting, dan 28 persen dari mereka menjawab keterbatasan peluang kerja sebagai isu yang mendesak untuk segera dicari jalan keluarnya.
Sementara itu, jika ditanya terkait isu penting di masa yang akan datang, 44 persen dari responden menjawab isu kesejahteraan sosial dan 21 persen lainnya menjawab lapangan pekerjaan, sebagai isu penting yang perlu menjadi fokus pemerintah di masa depan.
Jika dilihat dari fenomena tersebut, saya rasa temuan survei terhadap anak muda di Indonesia menjadi gambaran penting, sekaligus menjadi bukti bahwa isu ekonomi dan kesejahteraan masih menjadi isu yang mendesak untuk segera diselesaikan.
Dalam konteks Pemilu, suara pemilih anak muda juga sangat strategis dan menjadi catatan penting bagi siapapun yang ingin mencoba peruntungannya dalam pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia.
Jika kembali dikaitkan dengan kinerja ekonomi, sosial dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah, saya rasa siapapun pemimpinnya dan jika beliau diberikan kepercayaan penuh oleh masyarakatnya selama dua periode kepemimpinan, saya kira sepatutnya anomali potensi ekonomi dan capaian sosial kependudukan tidak terjadi.
Keistimewaan yang diperoleh oleh seseorang untuk memimpin suatu provinsi selama dua periode (10 tahun) kepemimpinan, idealnya patut direspons dengan capaian-capaian yang istimewa secara holistik, bukan hanya secara parsial dan terfragmentasi. ***