Bambang Dwi Suseno: Fenomena Tangping di China dan Waspadai Migrasi Ke Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 18 Agustus 2023 14:01 WIB
Oleh: Bambang Dwi Suseno
Peneliti pada Pusat Studi Demografi, Ketenagakerjaan dan Daya Saing Kawasan dan Dosen pada Program Pasca Sarjana, Universitas Bina Bangsa di Kota Serang
ORBITINDONESIA.COM - Fenomena Tangping atau "lying flat" telah menjadi perhatian di Tiongkok sebagai tanggapan terhadap tekanan sosial dan ekonomi yang dialami oleh sebagian anak muda di negara tersebut.
Gerakan ini muncul sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap budaya bekerja keras dan tuntutan hidup yang tinggi di tengah lingkungan yang kompetitif. Lying flat melambangkan sikap menolak untuk terus berjuang dan bersaing dalam perburuan kekayaan atau status sosial yang seringkali menjadi sangat menekan.
Orang-orang yang mengikuti gerakan ini cenderung mencari cara untuk menjalani hidup yang lebih sederhana, mengurangi harapan akan kesuksesan materi, dan fokus pada kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup.
Keadaan ini mengkhawatirkan. Pemerintah China menganggap fenomena ini sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas sosial dan pengaruh negatif bagi generasi muda.
Namun dengan kapitalisasi kekuatan ekonomi yang besar dengan kekuatan mata uang Yuan, yang membiayai kredit di berbagai negara termasuk di Indonesia melalui berbagai proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung, smelter dari ekstraksi pertambangan.
Selebihnya terdapat nota kesepahaman dalam pertemuan Jokowi-Xi Jinping, kedua negara berhasil mencapai delapan kesepakatan yang menjanjikan, membawa kedua bangsa lebih erat dalam bekerjasama, ini harus diwaspadai jangan sampai kesempatan kerja di dalam negeri direbut para pekerja mereka, karena terlindungi oleh skema kredit/pembiayaan.
Sulitnya mencari pekerjaan dan tingginya biaya hidup
Lying flat melambangkan sikap menolak untuk terus berjuang dan bersaing dalam perburuan kekayaan atau status sosial yang seringkali menjadi sangat menekan.
Baca Juga: Kombes Hengki Haryadi: Aparat Tangkap Tiga Polisi karena Diduga Berkait Terorisme
Orang-orang yang mengikuti gerakan ini cenderung mencari cara untuk menjalani hidup yang lebih sederhana, mengurangi harapan akan kesuksesan materi, dan fokus pada kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup.
Kondisi sulitnya lulusan perguruan tinggi di China memperoleh pekerjaan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh banyak negara, terutama di tengah perkembangan ekonomi dan persaingan yang ketat.
Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi situasi ini adalah sebagai berikut: 1) Jumlah lulusan yang tinggi: China memiliki jumlah perguruan tinggi yang besar dan lulusan yang lebih banyak setiap tahun. Hal ini menyebabkan tingginya persaingan dalam pasar tenaga kerja.
2) Pertumbuhan ekonomi yang melambat.Meskipun ekonomi China masih tumbuh, ada indikasi pertumbuhan yang melambat dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dapat menyebabkan permintaan tenaga kerja menurun, yang mengakibatkan kesulitan bagi lulusan baru untuk menemukan pekerjaan yang sesuai.
Baca Juga: Kasus Kebakaran Hotel F2 di Jakarta Selatan, 3 Korban Tewas Tak Alami Luka Bakar, Begini Kondisinya
3) Ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan pasar. Ada kasus di mana lulusan universitas memiliki keterampilan yang tidak sesuai dengan permintaan pasar. Bisa jadi karena kurangnya keterampilan praktis atau latar belakang pendidikan yang tidak sejalan dengan kebutuhan industri.
4) Pilih-pilih perusahaan. Di pasar kerja yang kompetitif, perusahaan mungkin lebih selektif dalam merekrut karyawan baru dan lebih cenderung mencari lulusan yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya atau keterampilan khusus yang relevan.
5) Struktur ekonomi yang berubah. China mengalami perubahan dalam struktur ekonominya, dengan berkurangnya permintaan pada sektor tradisional dan pertumbuhan di sektor jasa dan teknologi. Perubahan ini dapat mempengaruhi ketersediaan pekerjaan dan kebutuhan tenaga kerja.
6) Lokasi geografis. Terdapat ketimpangan antara ketersediaan pekerjaan di kota-kota besar dan wilayah perkotaan yang berkembang pesat, dibandingkan dengan wilayah pedesaan atau terpencil.
Baca Juga: Spoiler Manga Jujutsu Kaisen Chapter 232, Sukuna Sekarat Sampai Satoru Gojo Tewas karena Mahoraga
Pada tahun-tahun sebelumnya, memang telah ada laporan dan penelitian yang menunjukkan bahwa penghasilan pekerja muda di China seringkali tidak memadai untuk membiayai kebutuhan hidup mereka.
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap masalah lying flat adalah pertama tingkat upah yang rendah. Di beberapa sektor pekerjaan, upah untuk pekerja muda cenderung rendah, terutama bagi mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi atau belum memiliki banyak pengalaman kerja.
Kedua, biaya hidup yang tinggi: Terutama di kota-kota besar dan wilayah perkotaan yang berkembang pesat, biaya hidup bisa sangat tinggi, termasuk biaya perumahan, makanan, transportasi, dan layanan lainnya.
Ketiga persaingan ketat di pasar kerja. Tingginya jumlah lulusan perguruan tinggi dan peminat pekerjaan di kota-kota besar dapat meningkatkan persaingan untuk pekerjaan yang lebih baik, yang mungkin mengakibatkan penawaran upah yang rendah.
Keempat , pekerjaan tidak tetap atau kontrak. Banyak pekerja muda di China berakhir dengan pekerjaan kontrak atau pekerjaan tidak tetap, yang sering kali memiliki penghasilan yang lebih rendah dan keamanan pekerjaan yang kurang.
Kelima, tuntutan ekonomi dan sosial: Beberapa pekerja muda mungkin merasa tertekan untuk memenuhi harapan ekonomi dan sosial yang tinggi, seperti membayar biaya hidup sendiri atau membantu keluarga mereka.
Anak muda “purna waktu” di rumah
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China telah berusaha mengatasi masalah ini dengan berbagai langkah kebijakan, seperti meningkatkan upah minimum, mengurangi beban pajak bagi pekerja muda, dan mendukung sektor-sektor ekonomi yang berpotensi mencipt
Pekerja muda di China yang menjadi anak purnawaktu untuk membantu orang tua mereka merupakan fenomena yang terjadi di beberapa keluarga. Ini dapat menjadi respons terhadap berbagai faktor, termasuk nilai-nilai tradisional, peran keluarga, dan kondisi ekonomi.
Dalam budaya Tiongkok, nilai-nilai seperti penghormatan terhadap orang tua dan tanggung jawab terhadap keluarga sangat dihargai. Dalam banyak keluarga, anak-anak merasa memiliki kewajiban moral dan sosial untuk membantu orang tua mereka ketika mereka sudah tua atau membutuhkan dukungan.
Ini sering kali diterjemahkan menjadi menjadi anak purnawaktu yang tinggal bersama orang tua dan mengurus mereka secara fisik dan finansial.
Selain nilai-nilai tradisional, kondisi ekonomi juga dapat mempengaruhi keputusan untuk menjadi anak purnawaktu. Beberapa orang tua mungkin menghadapi kesulitan finansial atau kesehatan yang memerlukan bantuan dari anak-anak mereka.
Selain itu, biaya perawatan kesehatan yang tinggi atau kurangnya sistem dukungan sosial di beberapa wilayah bisa membuat keluarga lebih mengandalkan bantuan dari anggota keluarga mereka.
Tidak semua pekerja muda di China menjadi anak purnawaktu. Beberapa di antaranya mungkin memilih jalur karier atau hidup yang berbeda, terlepas dari nilai-nilai tradisional tersebut.
One Belt, One Road
Di tengah ekspansi kuat China sebagai pemberi pinjaman global melalui inisiatif seperti "One Belt, One Road" dan proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan negara-negara berkembang, memang ada beberapa negara yang menghadapi kesulitan dalam mengembalikan pinjaman kredit dari China.
Beberapa alasan yang menyebabkan kesulitan ini antara lain: 1) Ketidakmampuan membayar. Beberapa negara peminjam menghadapi kesulitan membayar pinjaman karena tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasi hutang mereka.
Proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh pinjaman dari China mungkin tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan, membuat negara-negara peminjam kesulitan membayar kembali pinjaman tersebut.
2) Beban hutang yang berat.Pinjaman dari China sering kali datang dengan syarat-syarat yang tidak menguntungkan, seperti suku bunga yang tinggi atau jaminan atas aset strategis. Hal ini dapat menyebabkan beban hutang yang berat bagi negara-negara peminjam, terutama jika perekonomian mereka mengalami kesulitan.
Baca Juga: Erick Thohir Optimistis pada Integritas Komite Etik dan Komite Banding PSSI
3) Transparansi dan korupsi:. Beberapa proyek yang didanai oleh pinjaman dari China dapat menghadapi masalah transparansi dan korupsi.
Pemerintah yang kurang transparan atau korup dapat menggunakan dana pinjaman tersebut untuk kepentingan pribadi atau mengalihkannya dari tujuan proyek yang seharusnya, menyebabkan proyek-proyek tidak berjalan dengan efisien dan berkontribusi pada kesulitan dalam membayar kembali hutang.
4) Perubahan kebijakan dan kondisi ekonomi: Perubahan dalam kebijakan pemerintah atau fluktuasi kondisi ekonomi global dapat mempengaruhi kemampuan negara peminjam untuk membayar pinjaman. Krisis ekonomi atau perubahan prioritas pemerintah dapat menyebabkan anggaran terbatas untuk membayar hutang.
5) Isu lingkungan dan sosial. Beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai oleh pinjaman dari China dapat menghadapi penolakan atau perlawanan dari masyarakat lokal karena masalah lingkungan dan sosial. Protes dan penundaan proyek dapat menyebabkan keterlambatan pembayaran pinjaman.
Baca Juga: Kebakaran Hotel F2 di Jakarta Selatan, 3 Orang Tewas, Api Diduga Berasal dari Lobby
Belajar dari negara lain
Beberapa negara yang telah diketahui menghadapi tantangan dalam mengelola hutang mereka, termasuk pinjaman kredit dari China. Hal ini penting sebagai pembelajaran Indonesia.
Beberapa negara yang telah dilaporkan menghadapi masalah pembayaran hutang meliputi, Sri Lanka telah mengalami kesulitan dalam membayar kembali pinjaman yang digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pelabuhan Hambantota.
Pada tahun 2017, pemerintah Sri Lanka terpaksa menyerahkan pengelolaan pelabuhan tersebut ke China sebagai bagian dari restrukturisasi hutang.
Berikutnya adalah Pakistan juga menghadapi beban hutang yang berat, termasuk hutang yang datang dari China untuk proyek-proyek infrastruktur seperti Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC). Meskipun proyek-proyek tersebut dianggap penting untuk pembangunan negara, tantangan keuangan telah muncul dalam melunasi hutang tersebut.
Baca Juga: Terima Banyak Laporan Perundungan, Kemenkes Jatuhkan Sanksi untuk Pimpinan Tiga Rumah Sakit Ini
Lebih lanjut negara-negara di Afrika, termasuk Kenya, telah menerima pinjaman besar dari China untuk proyek-proyek infrastruktur. Namun, seiring dengan pertumbuhan hutang, pemerintah Kenya menghadapi kesulitan membayar kembali pinjaman tersebut.
Kasus Venezuela bukan penerima utama pinjaman dari China, negara ini telah menghadapi krisis keuangan dan hutang yang signifikan yang mencakup hutang dari berbagai sumber, termasuk China.
Dampak negatif harus diwaspadai bagi penerima kredit yang perlu berhati-hati untuk memastikan bahwa proyek-proyek yang didanai oleh China dapat diatasi dengan benar dan efisien. Ketidakmampuan membayar hutang dapat menyebabkan ketergantungan yang lebih besar pada China dan meningkatkan risiko krisis keuangan.
Penerima kredit dapat mengalami tekanan politik atau campur tangan dari China dalam keputusan-keputusan politik dan ekonomi mereka. Selain itu pembangunan infrastruktur yang besar-besaran dapat menyebabkan dampak lingkungan yang signifikan.
Tanah yang dikorbankan, perusakan ekosistem alami, dan emisi gas rumah kaca adalah masalah lingkungan yang harus dipertimbangkan.
Baca Juga: PAK PRESIDEN! Dompet Emak-emak Kian Kempes Setelah Harga Daging Ayam Sampai Sayuran Naik
Hal lain yang mengkhawatirkan bahwa proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh China mungkin lebih menguntungkan bagi negara-negara pemberi kredit daripada negara-negara penerima kredit, yang dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi di antara mereka.
Hal disebabkan bahwa proyek infrastruktur besar-besaran yang didanai oleh China yang menciptakan banyak lapangan kerja bagi warga negara di negara-negara penerima kredit.
Proyek-proyek seperti jalan raya, jalur kereta api, dan pelabuhan memerlukan banyak tenaga kerja untuk pembangunannya, namun dalam persyarakan kreditnya sudah dipentukan bahwa barang modal dan tenaga kerjanya dari China. Wallahualam bishawab.***