Yudi Latif: Visi Aktualisasi Pancasila
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 01 Juni 2023 20:06 WIB
Kita harus bisa mempertahankan yang terang dan menyingkirkan yang gelap. Akan tetapi, dalam bayangan arus besar bangsa Indonesia, masa lalu itu senantiasa membersitkan ingatan pedih yang tak bisa dilampau, dengan risiko mengulanginya.
Sebuah bangsa yang tidak bisa melihat sisi-sisi terang dari masa lalu tidak memiliki jangkar untuk menambatkan visi masa depan.
Memang benar, tak ada seorang pun yang bisa mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Akan tetapi, memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa depan lebih baik daripada tidak mempersiapkannya sama sekali.
Untuk itu, pengetahuan tentang masa lalu dapat membantu memahami masa depan. Tanpa menyadari masa lalu, perjalanan ke depan ibarat memasuki lorong sunyi kekelaman. Amnesia merupakan kemalangan ketidaktahuan dalam kesunyian.
Baca Juga: Daftar Anggota Autobots Perempuan yang Muncul di Film Transformers Rise of the Beasts, Ada Arcee
Akan tetapi pengalaman masa lalu dan kemungkinan mengekstrapolasikannya ke masa depan adalah suatu penziarahan kompleksitas tak bertepi. Maka, kepemimpinan, sebagaimana diingatkan oleh Sun Tzu, harus mampu melihat simplisitas dalam kompleksitas.
Dari kompleksitas pengalaman masa lalu, pemimpin harus bisa menemukan prinsip-prinsip utamanya, yang dengan itu, perjalanan ke masa depan memilik tambatan; kompas untuk mengarungi kegelapan.
Dalam kaitan ini, Sun Tzu memberi contoh: dari sekian banyak kemungkinan melodi musik, secara prinsip bermula dari lima not (pentatonik); dari sekian banyak kemungkinan mosaik warna, secara prinsip bisa dikembalikan ke lima warna dasar; dari sekian banyak kemungkinan citarasa, secara prinsip bisa ditarik ke lima rasa dasar.
Lima adalah dasar simplisitas dari kompleksitas pengalaman. Lima prinsip itu bisa menjadi check list untuk mengantisipasi masa depan.