Bendera LGBT di Masjid dan Menjadi Muslim dengan Nilai Eropa
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 07 Juli 2022 09:10 WIB
Oleh: Denny JA
ORBITINDONESIA - Awal Juli 2022, berbagai media online Indonesia seperti Detik.Com, Pikiran Rakyat, Tempo.co, Republika heboh dan viral memublikasikan berita itu.
Sebuah mesjid di Jerman, bernama Mesjid Ibn Rush- Goethe mengibarkan bendera LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di area mesjid.
Imam di mesjid itu, Mohamed El- Ketab menyatakan bahwa itu bentuk dukungan mesjid di sana bagi kaum LGBT. (1)
Baca Juga: Foto Anies Baswedan Kenakan Rompi Hitam Berlogo ACT Beredar Luas
“Cinta itu halal.” Dan cinta tak hanya dirasakan oleh kaum hetero seksual. Kaum homo seksual juga secara nyata dan faktual memang ada. Dan, mereka pun bisa merasakan cinta. Demikian keterangan yang diperoleh dari Imam mesjid sana.
Mesjid itu (Ibn Rush- Goethe) sudah mengambil sikap. “Kami tidak membiarkan kaum LGBT diasingkan dan kering secara spiritual. Mereka juga insan Tuhan. Mesjid memberi kehangatan kepada mereka. Kami mengisi sisi spiritual mereka.”
Bagaimana kita memahami gejala mesjid dengan bendera LGBT?
Di Eropa, mesjid yang mendukung kaum gay bukan gejala baru. Sejak tahun 2012, BBC juga sudah memberitakan berdirinya mesjid di Perancis yang mendukung LGBT. (2)
Baca Juga: Jaksa Agung ST Burhanuddin Minta SMSI Kawal Kinerja Jaksa
Di mesjid itu, sebagaimana juga di mesjid Ibn Rush- Goethe, mereka juga mempraktikkan shalat yang tak memisahkan pria dan wanita.
Dalam mesjid, tak ada batas tempat pria dan wanita. Mereka semua bercampur menjadi satu, sholat bersama.
Para perempuan di sana juga tak harus mengenakan mukena untuk shalat. Mereka bisa shalat hanya dengan menggunakan jeans dan baju biasa.
Jika sebuah keluarga datang ke masjid, atau sekumpulan para sahabat pria dan wanita shalat bersama di mesjid, mereka tak perlu dipisahkan areanya. Mereka semua mahluk Tuhan yang sama, dan bersama pula mereka dapat berbaur, bercampur shalat di mesjid.
Baca Juga: Piala AFF U19: Indonesia Ngeri-ngeri Sedap untuk Bisa Lolos ke Semifinal
Sejak tahun 1990-an, cendikiawan sudah mendeklarasikan itu. Yaitu hadirnya Muslim Eropa. Datangnya Muslim Eropa. Perlunya Muslim Eropa.
Muslim Eropa adalah istilah untuk orang Eropa, yang mayoritas kulit putih, yang memilih beragama Islam, dan tetap menjalankan western values.
Muslim Eropa ini tak ingin meneruskan gaya hidup, filosofi, dan kultur yang mereka sebut berasal dari Islam Timur Tengah.
Islam di Eropa boleh memilih beragama Islam tapi dengan nilai Eropa. Muslim dengan Western Values baik untuk soal ekonomi, politik, budaya dan gaya hidup.
Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Sumbangsih Penulis Untuk Kebudayaan Kalimantan Timur
Dua pemikir dan profesor paling kuat pengaruhnya menanamkan hadirnya Islam Eropa.
Pertama, Bassam Tibbi. Ia lahir di Damaskus, Suriah tahun 1944. Namun ia tumbuh dan tinggal di Jerman. Sejak tahun 1992, ia sudah menulis dan menerbitkan paper berjudul Euro Islam (terbit tahun 1995).
Kedua, Tariq Ramadhan. Ia seorang muslim kelahiran Swiss, tahun 1962. Tariq menulis buku berjudul To Be a European Muslim (1999).
Menurut dua pemikir itu, dalam Islam, juga dalam setiap agama, harus dibedakan antara yang esensial dan yang temporal. Sistem politik, ekonomi, dan budaya adalah temporal belaka.
Baca Juga: Cara Paling Ampuh untuk Mengubah Klik menjadi Pelanggan
Menurut mereka, kita tak perlu beragama dengan mengikuti semua sistem politik, ekonomi, budaya, dan gaya hidup ketika agama itu didirikan. Zaman berubah cepat.
Kita bisa beragama dengan sistem politik, ekonomi, budaya, dan gaya hidup masa kini yang berbeda sama sekali, bahkan bertentangan dengan kondisi ketika para nabi itu hidup.
Bahkan Tariq Ramadhan keras sekali menyatakan. Kaum muslim di Eropa yang sudah terbiasa dengan western values, dengan demokrasi, hak asasi, ilmu pengetahuan, justru harus menarik jarak dan meninggalkan Islam dengan kultur Timur Tengah, yang dianggap keterbelakang.
Konsekwensi dari pemikiran Bassam Tibbi dan Tariq Ramadhan bisa sangat jauh.
Baca Juga: Cara Paling Ampuh untuk Mengubah Klik menjadi Pelanggan
Di era ini, LGBT diakui sebagai bagian hak asasi manusia. Sudah 31 negara mengesahkan pernikahan sejenis, pernikahan LGBT.
Asosiasi dokter, psikolog dan psikiater di dunia barat, juga WHO, sudah jelas menyatakan LGBT bukan penyimpangan, bukan penyakit. Itu hanya varian yang normal dari perbedaan orientasi seksual belaka.
Jika kita bisa menerima perbedaan agama, bahkan bisa menerima perbedaan keyakinan tentang Tuhan, mengapa kita tak bisa menerima perbedaan paham tentang LBGT?
Kini tak hanya gereja yang juga memiliki gereja pro-LGBT. Mesjid juga mulai tumbuh yang pro-LGBT di dunia barat sana.
Baca Juga: 5 Zodiak Paling Pekerja Keras dan Berpotensi Jadi Orang Kaya
Inilah masalah pelik yang dihadapi dunia agama. Setelah Nabi wafat, tak ada lagi interpretasi tunggal mengenai agama. Beragama menjadi pertarungan tafsir.
Dua tafsir yang berbeda bahkan bertentangan dapat hidup. Tinggalah umatnya memilih ingin perang atau hidup damai berdampingan soal perbedaan tafsir.
Agama Islam meyakini yang akan dikurbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ismail. Tapi agama kristen meyakini yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak.
Kita tahu, mustahil dua keyakinan itu benar kedua- duanya. Pasti ada salah satu keyakinan yang salah.
Baca Juga: Piala AFF U19: Seri Lawan Thailand, Indonesia Harus Menang di Pertandingan Sisa
Tapi yang manapun yang benar dan salah, toh yang salah tetap bisa dan boleh diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia dan lebih dari seribu tahun.
Jika orang boleh meyakini fakta yang salah, mengapa orang tak boleh meyakini gaya hidup yang berbeda, termasuk mengenai LGBT?
Negara modern membedakan antara tindakan kriminal dan tindakan berdosa. Yang dilarang oleh negara modern hanyalah tindakan kriminal. Soal tindakan berdosa itu dibiarkan menjadi urusan komunitas dan individu masing masing.
Bagi orang Islam, itu berdosa jika makan babi. Tapi negara tak boleh menghukum warga negaranya yang makan babi.
Baca Juga: Menu Memasak Daging Kurban Lamb Curry yang Nikmat dan Lezat
Bagi orang Kristen, juga agama lain, itu berdosa jika menyembah berhala. Namun negara modern tak bisa menghukum orang yang menyembah uang atau menyembah kekuasaan.
Makan babi, menyembah berhala itu adalah dosa bagi agama tertentu. Tapi itu bukan tindakan kriminal.
Hal yang sama dengan LGBT. Itu adalah tindakan berdosa bagi tafsir agama tertentu, tapi itu bukan tindakan kriminal bagi negara modern.
Tidaklah kita heran jika ada masjid yang mengibarkan bendera LGBT di Jerman itu dibiarkan saja oleh pemerintah Jerman.
Baca Juga: Eropa Inginkan Jaringan Kereta Api Berkecepatan Tinggi untuk Gantikan Pesawat Terbang
Bahwa ada pro dan kontra, bukankah pro dan kontra hal yang biasa dalam tafsir agama? Misalnya antara Katolik versus Kristen, antara Sunni versus Shiah versus Ahmadiyah, bukankah terjadi pro dan kontra, yang banyak tafsirnya tetap berbeda, dari dulu sampai sekarang ini?
Dulu berbeda tafsir agama dapat berarti perang dan kematian. Di era ini, kita bisa berbeda tafsir dengan lebih rileks saja.
Hidup di dunia modern harus terbiasa dan lebih rileks dengan perbedaan paham, yang sudah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. ***
7 Juli 2022
CATATAN
1. Berita Mesjid di Jerman mengibarkan bendera LGBT
https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/amp/pr-014902488/dukung-lgbt-masjid-di-jerman-kibarkan-bendera-pelangi
2. Sejak 2012, mesjid di Perancis juga sudah pro LGBT
https://voi.id/en/amp/21454/ludovic-mohamed-zahed-establishes-europes-first-friendly-lgbt-mosque