Puisi Esai Denny JA: Cintaku Tak Menentu di Pengungsian
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 26 Agustus 2022 18:46 WIB
ORBITINDONESIA – Penulis dan pegiat hak azasi manusia, Denny JA menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap konfik etnis antara Lampung dan Bali di Provinsi Lampung pada tahun 2012.
Keprihatinan Denny JA ini ia tuangkan dalam bentuk puisi esai mini yang menggugah empati kita semua. Inilah salah satu judul puisi esai mini dari Denny JA:
Cintaku Tak Menentu di Pengungsian
Malam yang mendung di Bandar Lampung.
Apakah bulan akan purnama di langit?
Tak pasti.
Udara larut malam yang dingin.
Akankah alam menangis, hujan turun?
Tak pasti.
Rasa tak pasti yang sama bergema di hati Faras.
Dilihat jam di dinding: pukul 2 dini hari.
Empat hari sudah ia tinggal di pengungsian.
Dilihatnya sekeliling.
Di SPN Kemiling, Sekolah Pendidikan Negara, di Bandar Lampung, sekitar 1200 orang Bali terdampar.
Dilihatnya handphone sekali lagi.
Hampir setiap jam, handpone itu Faras buka.
Tak ada lagi teks dari Asif, calon suami.
Faras menangis.
Di manakah engkau Asif?
Mengapa pesan dariku, berkali-kali, tak kau balas?
Hanya ada teks tiga hari lalu dari Asif:
“Faras sayang, pernikahan kita tunda. Kita tunggu segala reda.”
Setelah itu, Asif menghilang.
Seolah ditelan bumi.
Faras juga mencoba kirim pesan lewat BBM ke adik Asif.
Juga ke Ibu Asif.
Tapi pesan Faras hanya dibaca.
Tidak direspon.
Faras teringat kemesraan itu.
Sore hari, di tepi sawah, di pondok, mereka berencana.
Itu tiga bulan lalu.
“Faras sayangku, 28 Oktober 2012 itu hari baik. Hari Sumpah Pemuda. Perbedaan etnik dan agama dikalahkan oleh persatuan Indonesia.”
“Itu hari baik kita menikah. Kau orang Bali. Aku orang Lampung. Kita menikah di hari Sumpah Pemuda. Kita menjadi Indonesia yang mengalahkan perbedaan agama dan etnik.”
“Ah, Asif,” Gumam Faras dalam hati. “Kau selalu pandai membuatku bahagia.”
Tapi tanggal 27 Oktober 2012, sehari sebelum pernikahan, dari desa Agom, tempat asal Asif, menyerang desa Balinuraga, tempat asal Faras. Terjadi huru-hara. Perang. Konflik.
Puluhan rumah dirusak. Dibakar. Rumah Faras juga hancur.
Ratusan orang menyerang.
Empat belas orang mati.
Hampir seluruh penduduk Bali di Balinuraga mengungsi. Pernikahan pun ditunda.
Faras mengeluarkan kain dari tas. Itu kain Tapis Lampung. Hadiah khusus dari Asif.
“Nanti ini menjadi mahar pernikahan kita,” ujar Asif.
Asif bercerita soal kain Tapis itu. “Lihatlah corak kain ini. Ini tenun khas Lampung. Benangnya kapas. Benang warna perak.”
“Ini jenis kain tapis cucuk andak. Motifnya bertema rumah tangga.”
“Setahun aku berburu mencari kain motif ini. Aku ingin memberi mahar dengan nilai seni tinggi. Dari tradisi daerahku sendiri. Hanya untukmu, cintaku. Untuk penanda pernikahan kita.”
Tiga tahun sudah Faras mengenal Asif. “Oh pujaan hati ini sangat pandai merangkai kata. Banyak membaca. Tapi memang sentimen kedaerahannya kental juga.”
Hati Faras acapkali dibuat berbunga-bunga.
“Tapi Asif, di manakah engkau kini? Aku calon istrimu. Empat hari aku sudah terdampar di pengungsian.”
Farah terus bercakap di hati.
“Aku tahu Asif. Mustahil kau menengokku di sini. Jaraknya 80 km dari desamu. Juga kau dari desa Agom. Komunitasku masih sensitif atas perlakuan orang-orang dari desamu.”
“Tapi kau kan bisa membalas pesanku di BBM. Kita tetap bisa berkomunikasi.”
“Mengapa kau menghilang? Aku sedang sedih Asif. Di mana dirimu, belahan jiwaku, calon suamiku, calan bapak anak-anakku? Aku membutuhkanmu.”
Malam makin larut.
Tapi lebih larut hati Faras dalam kesedihan. Ketidakpastian.
Malam itu Faras tak bisa tidur.
Ia sangat tak nyaman di tempat pengungsian.
Faras kembali terkenang ketika desanya diserang.
“Hei, orang kafir,
pergi kalian dari sini.
Ini tanah kami.
Kalian pendatang. Tapi kalian sok berkuasa .”
Penduduk Bali melawan.
Tapi memang orang desa Agom ini lebih siap.
Muncul tiba-tiba.
Sekitar 500 orang.
Mereka membawa peralatan lengkap.
Ada parang. Golok. Senapan angin.
Mereka punya cara cepat membakar rumah.
Penduduk Bali terkocar-kacir.
Serangan terjadi berkali- kali.
Setiap hari.
Oh, inilah akibatnya.
Sebanyak 1.200 warga Desa Bali Nuraga, Way Panji, Lampung Selatan, diungsikan.
Mengungsi ke Sekolah Pendidikan Polisi (SPN) Kemiling, Bandar Lampung. (1)
Kata polisi: “ini tempat paling aman. Untuk penampungan sementara.”
Yang dituakan di tempat pengungsian memberi penjelasan.
“Kita tinggal di sini dulu.
Nanti kita kembali ke kampung kita sendiri, di Balinuraga.”
Sesepuh itu membaca secarik kertas.
“Di tempat pengungsian ini, ada 279 kepala keluarga.
364 pria.
497 perempuan.
247 anak-anak. “
“Pukul 10 malam kita diungsikan.
Itu hari Senin, 28 Oktober.
Ada yang naik bus besar.
Lima bus.
Ada yang naik lima truk.
Itu truk Dalmas Polda Lampung dan Marinir.”
"Akan datang lagi dua bus.
Sesepuh itu terus memberi info.
“Dinas Sosial Lampung membantu kita.
Ada dapur umum untuk makanan bagi pengungsi.”
Di tempat pengungsi ini,
banyak anak-anak menangis.
Juga orang tua banyak yang pucat, takut.
Ada yang bertanya: “Mengapa kita diserang? Mengapa rumah kita dibakar?”
Sesepuh menenangkan para pengungsi.
“Itu salah paham saja.”
“Ada kabar orang 2 orang Lampung dibunuh oleh orang Bali. Padahal tak benar."
“Juga ada kabar. Dua gadis Lampung akan diperkosa pemuda Bali. Itu tak benar.”
“Yang benar itu ada dua gadis Lampung terjatuh ketika naik motor. Mereka warga Desa Agom. Ketika itu mereka melintas Balinuraga, Sabtu sore.”
“Banyak pemuda Bali datang ingin menolong. Dikira orang Bali ingin memperkosa.”
Pengungsi mendengar saja. Tapi banyak yang tak percaya.
Apa iya hanya gara gara itu puluhan rumah mereka dibakar?
Di aula besar pengungsian itu,
Faras mencoba tidur.
“Aku harus sehat. Harus cukup istirahat. Badanku harus kuat nanti di pernikahan.”
Dipejam-pejamkannya mata.
Tapi hanya wajah Asif yang terbayang.
Faras bertanya-tanya. Menganalisa. Mereka-reka.
Wahai gerangan, mengapa Asif tak lagi bisa dikontak?
Faras teringat percakapan itu.
“Aku menghormati agamamu, Faras. Tapi di Indonesia, perkawinan itu harus dengan cara agama.”
“Ayahku ustad di mesjid. Ia setuju aku menikah denganmu. Tapi dirimu harus pindah agama Islam.”
Faras ingin menikah dengan Asif. Sangat- sangat ingin.
Tapi meninggalkan agama Hindu, agama pemberian orang tua, ini masalah besar.
Namun jika tak pindah agama, kata Asif mereka tak bisa menikah.
Faras terombang-ambing.
Seminggu Farah jatuh sakit.
Makan kurang. Tidur kurang.
Ayah-ibu Faras membaca gejala.
Orang tua Faras mengijinkan dengan syarat.
Tak apa Faras pindah agama.
Tak apa pernikahan dengan ritual Islam.
Tapi seremoninya dengan adat Bali.
Pernikahannya di rumah Faras, di desa Balinuraga.
Ayah Asif setuju.
Tapi paman Asif yang agamanya keras sekali tak setuju.
Kata paman: “Memang Faras masuk Islam. Tapi kan keluarga Faras tetap makan babi. Keluarga Faras tetap memuja dewa- dewa. Ini kan tradisi berhala.”
Keluarga Faras sempat marah:
“Batalkan saja pernikahan.
Kau sudah pindah agama. Masih mereka minta lebih.
Itu ada Satya yang sejak lama melamarmu. Sesama orang Bali.”
Namun hati Faras hanya untuk Asif.
Alot juga. Akhirnya kompromi disepakati.
Faras pindah agama. Pernikahan dengan cara Islam. Tapi resepsinya dengan adat Bali, di rumah orang tua Faras di Balinuraga.
Tapi kini rumah Faras terbakar.
Faras menangis:
“Apakah terbakar pula rencana menikahku?”
Kabar gembira tiba.
Etnik Bali dan Lampung berdamai.
Ketua adat sudah berjumpa.
Mereka membuat maklumat bersama. (2)
Hadir pimpinan adat masyarakat Lampung.
Hadir raja Bali.
Hadir tokoh Lampung.
Hadir tokoh Bali.
Tak hanya dari desa Agom dan Balinuraga.
Hadir juga tokoh dari desa dan kabupaten lain.
Pertemuan dijaga polisi.
Maklumat ditandatangani Raja Bali I Gusti Ngurah Arya.
Juga ditanda tangani Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Kadarsyah Irsya.
Tokoh Bali dan Lampung lain ikut tanda tangan.
Ujar sesepuh yang hadir:
“Maklumat ini harus disampaikan kepada orang Bali di Balinuraga.
Terutama yang masih mengungsi di SPN.
Juga maklumat ini harus diketahui orang Lampung di desa Agom.
Jangan hanya tokoh adat saja yang tahu soal perdamaian ini. Masyarakat yang paling bawah juga harus tahu.”
Faras jingkrak-jingkrak.
“Wow, alangkah senang hatiku.”
Segera Faras teks pesan BBM:
“Asif, calon suamiku.
Pertikaian sudah reda.
Seperti pesanmu,
pernikahan kita rancang kembali.
Jangan lama-lama ya sayang.
Bagaimana jika bulan depan?”
“Semua tak berubah.
Hanya waktu saja berubah.
Dari 28 Oktober hari sumpah pemuda, ke tanggal 10 November hari pahlawan?”
Berbunga-bunga hati Faras.
Kini Faras juga sudah pindah agama, memeluk Islam, seperti yang diminta Asif.
Namun sehari, seminggu, sebulan, tetap tiada kabar dari Asif.
Faras sempat berkunjung ke rumah Asif di desa Agom.
Jaraknya 3 kilometer dari Balinuraga.
Tapi tak ada Asif.
Kata adiknya, Asif pindah ke Jakarta sejak bulan lalu.
“Apakah ada pesan untukku,” tanya Faras?
Adiknya menjawab: “Tak ada pesan.”
Faras menemui Ayah dan Ibu Asif. Bertanya bagaimana rencana menikah?
Jawab Ayah dan Ibu Asif, silahkan Faras diskusikan dengan Asif. “Kami orang tua akan mendukung pilihan Asif.”
Ayah Asif sempat bicara.
“Konflik etnik Lampung dan Bali itu kenyataan.
Pahit. Keras.
Itu harus disadari.
Beda etnik, apalagi beda agama,
itu tak mudah untuk dua keluarga,
yang desanya bertikai keras.”
Itu bahasa bersayap.
Halus.
Tapi Faras menangkap pesan sebenarnya.
Keluar dari rumah Asif,
Faras berlari,
berlari dengan kencang,
sekencangnya.
Ia buka mata, sebesar-besarnya,
melihat realita,
melihat jalan,
melihat pohon,
tapi yang terlihat hanya wajah Asif.
Berurai air mata,
Faras berteriak,
tapi teriak tanpa suara,
teriak yang bisu,
itulah teriakan yang paling pilu:
“Asiiiiiiiffffffffff, mengapa kau menyerah….” ***
Agustus 2022
CATATAN:
(1) Sebanyak 1200 warga Bali diungsikan ke SPN, Bandar Lampung, akibat konflik etnis Lampung vs Etnik Bali
https://news.okezone.com/amp/2012/10/30/340/711094/kerusuhan-lampung-warga-mengungsi-di-spn-kemiling
(2) Maklumat perdamaian ditanda tangani oleh tokoh adat lampung dan raja Bali
https://news.detik.com/berita/d-2081098/redakan-konflik-raja-bali--ketua-adat-lampung-buat-maklumat-bersama
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).