DECEMBER 9, 2022
Kolom

Ketika Kopi Bicara dan Kematian Menyusul

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Kata Pengantar dari Denny JA untuk Buku Puisi Esai Monica JR: Kowe Kok Yo Ora Isin

ORBITINDONESIA.COM - Jakarta, Januari 2016. Sebuah kafe bernama Olivier, tempat anak-anak muda menikmati suasana urban yang estetik. 

Hari itu, dua sahabat bertemu. Salah satunya, Mirna, tak pernah tahu bahwa secangkir kopi susu Vietnam yang dipesankan untuknya adalah salam perpisahan terakhir. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tiga Dekade yang Mengubah Segalanya

Ia menyeruput. Lalu tubuhnya mengejang. Dan esoknya, namanya menjadi berita nasional.

Kasus kopi sianida Jessica Wongso mengguncang publik Indonesia. Namun dalam buku Kowe Kok Yo Ora Isin, Monica JR tidak tertarik untuk mengadili siapa bersalah. 

Ia melompat ke ruang lain: ruang sastra, ruang batin, ruang filosofi. Di sanalah kita bertemu dengan puisi esai yang tak biasa: Segelas Kopi Bernama Iri.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengejar Mission Impossible Kemandirian Energi Indonesia

“Aku bukan senjata. Aku bukan racun. Aku hanya secangkir kepercayaan yang dipilih oleh seseorang yang tidak bisa menerima kebahagiaan orang lain tanpa menghancurkannya.”

Dalam larik ini, kopi bukan lagi benda mati. Ia menjadi saksi, menjadi korban, menjadi simbol. 

Ia bicara. Ia menatap kita semua—dan diam-diam bertanya: kenapa dia yang bahagia, bukan aku?

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: 74,6 Persen Publik Tidak Percaya Isu Ijazah Palsu Jokowi

-000-

Gaya bercerita puisi esai Monica untuk kasus kopi itu disebut prosopopeia. Ini gaya bertutur ketika objek mati diberi suara dan kesadaran. 

Dalam dunia sastra, teknik ini bukan sekadar ornamen estetik. Ia adalah jembatan menuju kedalaman moral dan psikologis. 

Baca Juga: Inilah Kelompok yang Percaya Ijazah Jokowi Asli atau Palsu Menurut Survei LSI Denny JA

Ketika manusia terlalu bising untuk jujur, justru benda-benda di sekitarnya yang bicara dengan lirih, apa adanya.

Dalam sastra dunia, Margaret Atwood menggunakan teknik ini secara eksplisit dalam The Tent (2006). 

Dalam bagian Let Us Now Praise Stupid Women dan The Animals Reject Their Names, Atwood membiarkan tanah, binatang, bahkan bangsa bicara. Suara-suara itu tidak keras, tapi mengendap dalam hati pembaca.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kearifan di Balik Abolisi Tom Lembong dan Amesti Hasto Kristiyanto

Misalnya, dalam bagian ketika negara bisa berbicara:

“Aku adalah negaramu.

Kau telah memberiku makan dari bangkai dan dusta.

Baca Juga: Anjuran Menulis di Era Artificial Intelligence Dari Denny JA

Jangan sekali-kali kau berani berkata bahwa kau mencintaiku.”

Dalam kutipan ini, Atwood membuat tanah air tampil sebagai entitas yang terluka oleh warganya sendiri. 

Ia tidak bisa lagi dibungkus oleh nasionalisme palsu. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara

Begitu pula Monica, yang menjadikan kopi sebagai simbol kepercayaan yang diracuni oleh rasa iri yang tak terobati. 

Prosopopeia, dalam kedua karya ini, bukan sekadar alat. Ia adalah wahyu kecil dari dunia yang diam.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengawal Pesan Presiden, Membenahi BUMN, Tak Memburu Tantiiem, dan Filosofi Power of Giving

Buku puisi esai Monica JR bukan sekadar antologi puisi. Ia adalah heptalogi refleksi jiwa. 

Monica JR, melalui puisi-puisi esainya, menelusuri tujuh emosi utama manusia yang berakar dari tujuh dosa mematikan: Pride, Greed, Wrath, Envy, Lust, Gluttony, dan Sloth.

Kesombongan, keserakahan, amarah, iri hati, nafsu, kerakusan, dan kemalasan. Ini  tujuh emosi penting karena merekalah akar dari banyak kehancuran moral manusia. 

Baca Juga: Denny JA Berpotensi Masuk Bursa Bakal Capres dan Cawapres Dalam Konvensi Partai Murba

Dengan memahami dan mengakui keberadaannya dalam diri, kita bisa menumbuhkan kesadaran, mengendalikan hasrat. Lalu memilih jalan pertobatan yang lebih utuh dan manusiawi.

Setiap dosa dihidupkan melalui kisah nyata, bukan dongeng. Di sinilah letak keunikannya: pembaca tidak diajak menjauh dari realitas, tetapi justru diajak menatap wajah realitas.

Itu kenyataan yang sudah terlalu sering kita lupakan—atau justru, kita tonton dengan tertawa sinis.

Baca Juga: Orasi Denny JA: Mengejar Mission Impossible Kemandirian Energi di Indonesia

• Pride hadir dalam Golden Talk, DNA Walk—

Ini kisah gadis 14 tahun yang merasa dikhianati oleh idolanya, Mario Teguh. Tokoh tersebut menolak anak kandungnya sendiri. 

Puisi ini menjadi jeritan sunyi dari generasi yang kehilangan figur ayah—baik secara biologis maupun spiritual .

• Greed tercermin dalam Energi untuk Semua?—

Kisah seorang pegawai Pertamina menyaksikan korupsi minyak mentah dan distribusi oplosan. 

Ia memilih mundur dan menjadi penjaga SPBU yang jujur—ditemani tiga kucing dan ketenangan .

• Wrath menjelma dalam Wrath: A Love Story—

Kisah ini diceritakan dari sudut pandang “Amarah” itu sendiri, yang merasuki Mario Dandy. 

Itu bukan puisi tentang kriminalitas, tetapi tentang ego yang kehilangan kontrol dan mencari panggung .

• Lust mengejutkan kita lewat Istrinya Lelaki yang Bicara atas Nama Tuhan. 

Disampaikan oleh istri Herry Wirawan, yang lima tahun hidup bersama predator tanpa mengetahuinya. 

Ini adalah puisi tentang luka batin yang tak mendapat ruang pembelaan .

• Gluttony menghantui dalam Tampilan Gemilau Bukan Silau Tapi Kacau—

Itu kisah nyata para pekerja SCBD yang terperangkap dalam utang BNPL demi konten Instagram. 

Ketika pekerjaan hilang, yang tersisa hanya skrinshot utang dan pencarian “cara bunuh diri yang tenang” .

• Sloth ditampilkan dengan jenaka tapi getir dalam You Only Live Once, Tapi Kamu WNI.

Ini tentang anak-anak muda yang lelah menghadapi korupsi sistemik. 

Alih-alih turun ke jalan, mereka memilih mengikuti kursus IELTS dan memburu visa .

Buku ini adalah kombinasi langka antara refleksi spiritual, sastra eksperimental, dan komentar sosial yang tajam tapi penuh kasih.

-000-

Judul buku ini provokatif: Kowe Kok Yo Ora Isin.  Judul bahasa Jawa, dan secara harfiah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai:

“Kamu kok ya nggak malu?”

Ini adalah ungkapan bernada sindiran tajam. Ia  biasa digunakan ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak pantas, tidak tahu diri, atau tidak punya rasa malu. 

Padahal seharusnya ia sadar akan kesalahan atau aibnya.

Bukan sekadar teguran, tapi ini pertanyaan eksistensial.

Di mana rasa malu kita hari ini? Di era yang memuja performa dan menepikan nurani, malu dianggap kelemahan. Monica justru mengajak kita menjadikan “isin” sebagai modal awal pemulihan jiwa.

Buku ini bukan sekadar dibaca, tapi direnungkan. Karena bisa jadi, di antara kata-kata satire dan ilustrasi jenaka itu, tersembunyi suara hati kita yang selama ini bungkam.

Buku ini juga digoreskan oleh sang penulis sebagai bentuk refleksi hidupnya. Ini sebuah panggilan untuk memberi, melayani, dan berbagi dalam semangat fellowship.

Puisi pertama, seperti tertulis dalam biografinya, berangkat dari pengalaman pribadinya. Tentu saja, kisah itu didramatisasi sedikit demi kebutuhan sastra. 

Namun semangatnya sangat terasa: bahwa ia menulis bukan lagi sebagai korban, melainkan sebagai advokat.

Sebuah suara yang lahir bukan dari luka semata, tetapi dari keberanian untuk mengubah luka itu menjadi cahaya bagi orang lain.

Dan kalau suatu hari, segelas kopi kembali disuguhkan kepada kita…semoga tak ada lagi rasa iri di dasarnya.***

Jakarta, 9 Agustus 2025

REFERENSI

Margaret Atwood, The Tent, Nan A. Talese, Random House, 2006

Link ke buku Monica JR: Kowe Kok Yo Ora Isin

https://drive.google.com/file/d/1fBEKhbDsMVO8A8A9ZXI6SO7qFR05nIJZ/view?usp=drivesdk

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1FaByeevUW/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait