DECEMBER 9, 2022
Buku

Merasakan Jejak Tuhan dalam Agama, Filsafat, Seni, dan Gerakan Sosial

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Filsafat Barat menempatkan cinta kepada Tuhan sebagai sebuah tanya yang tak selesai. Plato melihat cinta sebagai pendakian jiwa menuju dunia ide, menuju Kebaikan yang murni. Aristoteles menyebut Tuhan sebagai bentuk sempurna, yang dicintai karena kesempurnaannya.

Di era modern, Kierkegaard menyebut iman sebagai leap of faith—lompatan buta ke dalam paradoks. Derrida menambahkan: Tuhan adalah yang selalu menunda hadir. Cinta kepada-Nya adalah luka yang tak kunjung sembuh, rindu yang tak kunjung padam.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara

4. Seni dan Sastra: Ketika Cinta Tak Perlu Kata

Seni adalah doa yang tak memerlukan dogma. Dalam tarian Rumi, dalam puisi Hamzah Fansuri, dalam gamelan Bali dan kaligrafi Persia—Tuhan hadir sebagai getaran.

Seni tidak menjelaskan. Ia menggetarkan. Dalam lukisan yang diam, dalam nada yang mengalun, cinta Tuhan terasa—bahkan sebelum disebut.

-000-

5. Kaum Sekuler: Cinta Tanpa Nama

Budhy dengan berani memasukkan kaum yang tak menyebut nama Tuhan dalam peta cinta spiritual ini. Dalam dunia sekuler, cinta Tuhan hadir sebagai etika, sebagai komitmen terhadap kebaikan.

Albert Camus, meski tak percaya Tuhan personal, memperjuangkan nilai-nilai transenden. Di sana, cinta tetap hadir—sebagai cahaya yang tak perlu nama.

Halaman:

Berita Terkait