Merasakan Jejak Tuhan dalam Agama, Filsafat, Seni, dan Gerakan Sosial
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 04 Agustus 2025 06:31 WIB

Dalam Kekristenan, cinta Ilahi memuncak dalam salib. Yesus menjadi simbol cinta yang melampaui batas manusiawi—cinta yang menderita, mencintai bahkan mereka yang menyalibkan-Nya.
Dalam Islam, cinta menemukan bentuk paling puitis dalam tasawuf. Rabiah al-Adawiyah menyatakan, “Aku mencintai-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga, tapi karena Engkau layak dicintai.” Di sini, cinta bukan permintaan, melainkan pelepasan.
Tiga agama ini berbicara dengan aksen berbeda, namun bernyanyi dalam nada yang sama: cinta kepada Tuhan sebagai cahaya yang memanggil pulang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara
-000-
2. Cinta dalam Filsafat Timur: Sunyi sebagai Bahasa
Dalam Hinduisme, cinta kepada Tuhan diwujudkan dalam bhakti—sebuah relasi yang personal dan penuh kelembutan antara jiwa dan Dewa. Cinta ini menari dalam puja, bergema dalam mantra, dan hadir dalam ketulusan yang tak rumit.
Dalam Buddhisme, Tuhan personal mungkin tak ada. Tapi cinta tetap hidup—dalam bentuk karuna, welas asih universal yang muncul dari pemahaman akan penderitaan semua makhluk. Cinta sebagai pencerahan.
Dalam Taoisme, mencintai Tuhan berarti hidup selaras dengan Tao—mengalir tanpa ambisi, mencintai tanpa menggenggam. Cinta di sini adalah keheningan yang menyatu dengan semesta.
-000-
3. Filsafat Barat: Cinta sebagai Pertanyaan