Gaza Dibiarkan Kelaparan, Saat Barat Gagal Akhiri Tragedi Kemanusiaan Bangsa Palestina
- Penulis : Abriyanto
- Minggu, 27 Juli 2025 11:30 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Melalui layar media, entah itu di ponsel, laptop atau di televisi, setiap orang saat ini bisa mengetahui mengenai penderitaan kelaparan dan genosida di Gaza.
Krisis kemanusiaan di Gaza yang menyayat hati adalah bencana buatan manusia (baca: Zionis Israel) yang telah melakukan pengepungan, pemboman, dan penghentian pemberian bantuan dari badan internasional yang kredibel seperti UNRWA.
Telah diulas di sejumlah media bahwa para anggota keluarga di Gaza ada yang bertahan hidup dengan gulma, pakan ternak, atau tidak ada pangan sama sekali. Selain itu, diberitakan pula mengenai anak-anak yang kelaparan meninggal di tempat pengungsian atau fasilitas medis yang penuh sesak, para pekerja bantuan sendiri disebut ada yang pingsan karena kelaparan.
Baca Juga: Israel Makin Menggila, Kepala RS Lapangan Gaza Diculik Pasukan Khusus Zionis Israel
Secara keseluruhan terdapat lebih dari 2 juta orang penduduk di wilayah kantung Palestina tersebut, yang kini terputus dari akses terhadap bahan makanan, air bersih, dan pasokan medis yang memadai.
Ironisnya, tragedi ini tidak dilakukan oleh junta militer atau negara yang dipimpin diktator/otoritarian, tetapi dilakukan oleh sebuah negeri yang mengaku sebagai "kekuatan demokrasi" di Timur Tengah, yaitu Israel.
Tidak heran bila kata "mengerikan" merupakan satu kata yang disebut Sekjen PBB Antonio Guterres kepada awak media di kantor pusat PBB pada medio Juli ini, untuk menggambarkan situasi penderitaan kemanusiaan yang tengah terjadi di Gaza.
Baca Juga: Menlu Inggris David Lammy Isyaratkan Aksi Lanjutan Terhadap Israel Terkait Krisis Jalur Gaza
Sekjen PBB juga menyoroti bahwa banyak korban sipil, termasuk anak-anak, yang tewas di saat mereka sedang mencari bantuan.
Sebelumnya di tempat yang sama pada kesempatan berbeda, Guterres menegaskan bahwa mencari bantuan untuk makan "tidak boleh menjadi hukuman mati", seraya menegaskan bahwa Israel memiliki kewajiban untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan masyarakat Palestina di Gaza.
Dia juga mengingatkan bahwa kelaparan sudah sangat meluas bahkan hingga pekerja kemanusiaan yang bertugas membagikan pangan pun berada dalam kondisi lapar.
Baca Juga: PM Malaysia Anwar Ibrahim Ketuk Hati Nurani Pemimpin Dunia Perjuangkan Perdamaian Gaza
Untuk itu, Guterres menekankan perlunya solusi yang mendesak dan praktis melalui tindakan konkret untuk memastikan bantuan menjangkau mereka yang membutuhkan.
Pengaruh Barat atas Israel
Perlu diingat bahwa sejumlah negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman memiliki pengaruh yang tak tertandingi atas Israel melalui penjualan senjata, perlindungan diplomatik, dan hubungan ekonomi.
Negara-negara tersebut dapat menuntut dengan keras dan efektif koridor kemanusiaan yang terbuka, persyaratan bantuan militer, dan penegakan hukum internasional. Namun, tindakan mereka masih terkesan ragu-ragu, membiarkan kelaparan semakin parah meskipun mereka sebenarnya mampu menghentikannya.
Kelaparan di Gaza bukan hanya bencana moral; ini merupakan ujian politik yang mendalam bagi hukum internasional dan kredibilitas demokrasi Barat, yang semakin lama semakin terkikis reputasinya secara global.
Harus diingat bahwa tindakan membuat kelaparan sebagai senjata secara eksplisit dilarang dalam Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, tetapi kejahatan ini ada di depan mata, di bawah pengawasan negara-negara yang mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga pengabaian itu justru merusak norma-norma kemanusiaan internasional yang telah ada.
Baca Juga: Menlu AS Marco Rubio: Amerika Serikat Tolak Niat Presiden Prancis Macron Akui Negara Palestina
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh empat negara besar di Barat, yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Prancis, dan Jerman?
Pertama, Amerika Serikat memiliki pengaruh yang tak tertandingi atas Israel melalui bantuan militer, perlindungan diplomatik, dan hubungan ekonomi. Untuk menghentikan kelaparan, Washington harus setidaknya mensyaratkan bantuan militer berdasarkan kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan, alih-alih menawarkan dukungan tanpa syarat.
Selain itu, Negeri Paman Sam itu juga harus mengakhiri hak vetonya di Dewan Keamanan PBB, yang menghalangi seruan untuk gencatan senjata kemanusiaan dan akuntabilitas.
Baca Juga: Mengerikan, Kelaparan Massal Melanda Gaza Seiring Meningkatnya Jumlah Kematian Akibat Kelaparan
AS juga dapat menekan Mesir dan Israel untuk membuka semua penyeberangan bagi pengiriman bantuan tanpa batas di bawah pengawasan internasional. Tanpa tindakan tegas AS, semua upaya lain berpotensi akan gagal.
Hentikan ekspor ke militer Israel
Kedua, Inggris yang kerap membingkai dirinya sebagai pembela prinsip-prinsip kemanusiaan, harus segera menghentikan ekspor senjata dan barang-barang untuk keperluan militer lainnya ke Israel, serta mengembalikan pendanaan penuh kepada UNRWA, lembaga yang layak menjadi penyalur utama kemanusiaan Gaza.
Baca Juga: Warga Sipil Gaza Kelaparan dan Kehabisan Cadangan Makanan di Bawah Aksi Genosida Israel
Inggris juga dapat menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mendorong resolusi PBB yang mengikat yang menuntut akses bantuan yang aman, alih-alih bersekutu dengan veto AS atau abstain, yang bila terus dilakukan maka akan meruntuhkan kredibilitas London sebagai advokat global untuk hak asasi manusia.
Ketiga, Prancis yang memposisikan dirinya sebagai pendukung penegakan hukum internasional, harus segera memberikan responsnya terhadap Gaza yang signifikan, meski rencana untuk mengakui kedaulatan Negara Palestina pada Sidang Umum PBB September 2025 mendatang layak untuk diapresiasi.
Paris, melalui perannya yang sentral di Eropa, dapat memimpin upaya embargo senjata di benua tersebut terhadap Israel, mengoordinasikan koridor udara dan laut kemanusiaan dengan sejumlah negara mitra di kawasan Mediterania, serta secara terbuka mendukung investigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas berbagai bentuk kejahatan yang telah dilakukan rezim Zionis Israel.
Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Prancis memiliki wewenang untuk mengajukan resolusi yang menegakkan kepatuhan terhadap hukum internasional, bahkan jika ada pihak lain yang memvetonya.
Keempat, Jerman yang "setia" menjadi salah satu pendukung terkuat Israel antara lain karena alasan tanggung jawab historis, juga harus mengondisikan bantuan militer dan ekspor senjata pada kepatuhan yang terverifikasi terhadap hukum internasional.
Sebagai kekuatan ekonomi terbesar Uni Eropa, Jerman dapat mendorong tekanan kolektif Eropa untuk koridor kemanusiaan yang tidak terbatas dan mendukung mekanisme akuntabilitas hukum, alih-alih mengabaikan kasus-kasus ICC.
Baca Juga: Serangan Keji Israel Tewaskan 20 Warga yang Tunggu Bantuan Kemanusiaan di Jalur Gaza Utara
Jika Jerman ingin menepati komitmennya untuk "tidak pernah terulang lagi", maka prinsip yang sama harus diterapkan secara universal, bahkan ketika pelakunya adalah merupakan salah satu sekutu mereka. Apa pun yang kurang dari itu akan mengkhianati pengalaman sejarah dan norma-norma internasional.
Kabar terbaru, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer, dan Kanselir Jerman Friedrich Merz memang telah mengeluarkan pernyataan bersama pada Jumat, 25 Juli 2025 yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, pembebasan tanpa syarat semua sandera, serta pencabutan pembatasan terhadap bantuan kemanusiaan.
Pernyataan itu menggambarkan bencana kemanusiaan di Gaza sebagai hal yang tidak dapat diterima dan menyerukan tindakan segera untuk memenuhi kebutuhan paling dasar penduduk, termasuk akses terhadap makanan dan air.
Baca Juga: Ratusan Ribu Anak dan Bayi di Gaza Palestina Hadapi Kematian Akibat Kelaparan
Untuk itu, para pemimpin tersebut mendesak Israel agar segera mencabut pembatasan terhadap aliran bantuan dan mengizinkan PBB serta LSM kemanusiaan untuk beroperasi tanpa hambatan. Selain itu, mereka memperingatkan Israel mengenai ancaman aneksasi, perluasan permukiman, dan aksi kekerasan oleh pemukim terhadap warga Palestina yang sangat merusak prospek solusi dua negara yang dinegosiasikan.
Berbagai bentuk peringatan itu memang layak untuk disampaikan, tetapi sudah kerap terjadi bahwa yang dilakukan negara-negara Barat hanya sebatas retorika sehingga berbagai bentuk kekejaman dan kekejian yang dilaksanakan Israel akan terus dapat dilakukan dengan impunitas.
Jika negara-negara Barat gagal bertindak, maka negara-negara Selatan Global harus menerapkan strategi terkoordinasi untuk mengubah perhitungan mereka. Isolasi diplomatik adalah alat pertama: melalui Majelis Umum PBB, BRICS, G77, dan Uni Afrika, Selatan Global dapat membingkai ketidakpedulian Barat sebagai pelanggaran sistemik hukum internasional, yang mengikis otoritas moral mereka.
Baca Juga: Badan PBB UNRWA: Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja
Selain itu, langkah-langkah ekonomi juga dapat dilakukan seperti negara-negara penghasil energi, terutama di Teluk, dapat memanfaatkan diplomasi minyak bumi untuk menuntut akses kemanusiaan.
Tidak boleh dilupakan pula bahwa bentuk tekanan hukum seperti yang telah berjalan saat ini yaitu mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional terhadap negara-negara yang terlibat dalam kejahatan perang hingga memperluas dukungan untuk investigasi oleh ICC meskipun ada perlawanan dari sejumlah negara Barat.
Secara kolektif, langkah-langkah ini lebih dari sekadar menghukum, tetapi melawan tatanan dunia di mana negara-negara yang kuat bertindak tanpa hukuman. Dengan menyatukan perangkat diplomatik, ekonomi, dan hukum, negara-negara Selatan Global dapat menunjukkan bahwa diam dalam menghadapi bencana kemanusiaan bukanlah suatu pilihan.
Baca Juga: Kapal Bantuan "Handala" Dicegat Israel Saat Berlayar ke Gaza, Penumpangnya Akan Dideportasi
Berdiam diri dalam menghadapi tragedi kelaparan yang disengaja dilakukan Israel bukanlah netralitas, melainkan keterlibatan. Negara-negara demokrasi yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia tidak bisa mengalihkan pandangan mereka sementara warga sipil kelaparan.
Kata-kata tanpa tindakan hanya akan membuat mereka yang menjadikan kelaparan sebagai senjata semakin berani. Perlu diingat bahwa dalam catatan lintasan sejarah ke depan, generasi mendatang akan mengingat siapa pihak yang bertindak, serta siapa yang memilih untuk tidak peduli.
(Oleh M Razi Rahman) ***