DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Dalam kepanikan global, harga emas melonjak. Mata uang menggigil. Tapi dari reruntuhan sistem lama, lahir sebuah logika baru: jika emas tak lagi menjamin dolar, maka biarlah minyak yang melakukannya.

Maka sejak 1973–1974, OPEC hanya menerima dolar untuk setiap tetes minyak. Dunia yang lapar energi pun tak punya pilihan: menyembah pada mata uang yang satu itu.

Minyak menjadi “emas cair.” Tapi berbeda dari emas yang disimpan, minyak dikonsumsi. Dolar pun bukan lagi cadangan pasif, ia menjadi sirkulasi aktif: berputar dari Riyadh ke Wall Street, dari Lagos ke Texas, dari Beijing ke Manhattan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Big Oil, Ketika Perusahaan Lebih Kuat Dibanding Negara

Bayangkan ini:

Nigeria ingin membeli mesin industri dari Jerman. Tapi untuk itu, ia butuh euro. Untuk euro, ia butuh dolar. Dan untuk dapat dolar, ia harus ekspor minyak.

Minyak dijual ke China, dibayar dalam dolar, yang kemudian disimpan dalam obligasi AS.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mesiu dan Perang dari Ladang Minyak

Obligasi itu membiayai utang AS yang terus menumpuk. Tapi karena semua orang butuh dolar untuk beli minyak, utang itu selalu dibeli.

Sistem ini disebut privilege seigniorage: hak istimewa Amerika mencetak utang yang dibeli oleh dunia.

Ketika krisis 2008 melanda, The Fed mencetak triliunan dolar. Tapi nilai dolar tidak runtuh—karena dunia masih butuh minyak, dan minyak masih dibeli dengan dolar.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina, dari Sumur Minyak Rakyat ke Rantai Global

Ini seperti kasino global di mana dealer mencetak chipnya sendiri, dan semua penjudi butuh chip itu untuk bermain.

Halaman:

Berita Terkait