DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Minyak, Bisnis, dan Politik (8)

ORBITINDONESIA.COM - Pada suatu sore yang panas di bulan Juli 2022, bayangkan seorang ibu muda di Kolombo, Sri Lanka, menggendong anaknya sejauh 6 kilometer.

Tujuannya satu: mencari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang masih buka. Ia berjalan dari distrik Narahenpita hingga pinggiran Borella. Tapi semua pompa kosong. Tak ada solar. Tak ada bensin. Tak ada harapan.

Baca Juga: Riset LSI Denny JA: Gebrakan Prabowo Subianto, Antara Gagasan Besar dan Kesiapan Tata Kelola Pemerintahan

Negara itu, dulunya dikenal sebagai mutiara Samudera Hindia. Ia runtuh bukan karena invasi asing, bukan karena perang saudara, tapi karena ketiadaan energi.

Seluruh sistem kolaps. Rumah sakit kehabisan daya. Sekolah ditutup. Transportasi publik lumpuh. Dan rakyat dibiarkan bertanya: “Bagaimana bisa sebuah negara tak punya energi untuk hidup?”

Kisah nyata ini menyentak nurani kita. Ia bukan sekadar tragedi ekonomi, tapi tragedi kedaulatan.

Baca Juga: Riset LSI Denny JA: Publik Berharap Prabowo Subianto Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Dari kisah ini, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: Apa makna kemandirian dan ketahanan energi bagi sebuah bangsa?

Dan, lebih penting lagi: apa yang bisa Indonesia pelajari dari kehancuran itu?

-000-

Baca Juga: ANALISIS: Mengapa IHSG Bisa Anjlok yang Memicu Halt Trading

Apa Itu Kemandirian dan Ketahanan Energi?

Kemandirian energi berarti sebuah bangsa mampu memenuhi kebutuhan energinya dari sumber daya sendiri. Ini soal produksi dalam negeri.

Ia adalah keberanian berdiri di atas kaki sendiri, di tengah gelombang pasar global yang tak kenal belas kasihan.

Baca Juga: Tahlilan, Merajut Doa Bersama Anak Yatim di Markas LSI Denny JA

Sedangkan ketahanan energi adalah kemampuan sistem energi nasional untuk bertahan dalam krisis: perang, bencana, embargo, atau gangguan pasokan.

Istilah ini menguat sejak krisis minyak tahun 1973, ketika embargo yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) membuat dunia sadar bahwa energi bukan sekadar komoditas, tapi senjata geopolitik.

Di Indonesia, istilah ini menjadi relevan sejak tahun 2004, ketika kita resmi berubah dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor minyak bersih (net importir).

Baca Juga: Inilah Pengantar Buku Imam Qalyubi “Analisis Semiotik, Linguistik dan Intertekstualitas Terhadap 15 Puisi Esai Denny JA”

-000-

Indonesia: Dari Eksportir Menjadi Importir

Pada era 1970-an hingga 1990-an, Indonesia adalah salah satu pengekspor minyak terbesar di Asia dan anggota OPEC. Ladang-ladang di Riau, Kalimantan, dan Jawa menjadi napas bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca Juga: Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA: Menentukan Kemajuan Negara Melalui Indeks Tata Kelola Pemerintahan

Namun sejak 2004, produksi menurun drastis. Sumur tua melemah. Konsumsi melonjak. Investasi eksplorasi stagnan. Kilang-kilang tertinggal.

Kini, lebih dari 40% Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional berasal dari impor. Ketergantungan ini rapuh. Setiap fluktuasi harga global langsung mengguncang APBN.

Dan ketika konflik terjadi di Timur Tengah atau Laut Merah, kita hanya bisa berharap: jangan sampai kapal tanker tak tiba.

Baca Juga: ANALISIS: Putin Telah Mengalahkan Banyak Presiden AS, Trump Hanyalah yang Terbaru

-000-

Dunia yang Berubah: Siapa yang Bangkit, Siapa yang Runtuh?

Brasil, dulunya pengimpor BBM berat, kini menjadi pengekspor minyak mentah (crude oil) dan etanol, berkat kebijakan energi yang progresif.

Baca Juga: Analisis Ekonomi: Penurunan Peringkat Kredit AS Tambah Tekanan pada Ekonomi

Norwegia, negara kecil, justru membangun dana abadi negara (sovereign wealth fund) terbesar di dunia dari tata kelola minyak yang bersih.

Sebaliknya, Yaman yang dulu swasembada minyak kini terjerumus dalam perang dan krisis. Bangladesh kembali mengimpor gas karena salah urus.

Tiga pembeda utama antara yang bangkit dan yang runtuh:

Baca Juga: LSI Denny JA: Ada Lima Rapor Biru dan Dua Rapor Merah Selama Tujuh Bulan Prabowo–Gibran Memimpin

1. Investasi Eksplorasi dan Teknologi

Negara yang mandiri energi menempatkan eksplorasi dan teknologi sebagai prioritas strategis. Mereka aktif mencari cadangan baru, bahkan saat harga rendah.

Norwegia menanam miliaran dolar di wilayah lepas pantai (offshore) Laut Utara. 

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Teknologi seperti survei seismik empat dimensi (seismic 4D), pengeboran horizontal (horizontal drilling), dan teknologi peningkatan perolehan minyak (enhanced oil recovery / EOR) menjadi standar.

Negara yang gagal stagnan, bergantung pada ladang tua tanpa inovasi. Tanpa eksplorasi baru, energi nasional ibarat napas yang makin pendek.

2. Tata Kelola yang Bersih

Kemandirian energi tak lahir dari sistem yang korup. Brasil dan Norwegia mereformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi agar profesional dan transparan.

Sebaliknya, Nigeria dan Venezuela jatuh dalam kutukan sumber daya: minyak menjadi ladang rente dan konflik. Energi yang melimpah pun menguap lewat institusi yang bocor.

3. Konsistensi Kebijakan Lintas Rezim

Negara yang sukses memiliki kebijakan jangka panjang yang dijaga lintas pemerintahan. 

Brasil konsisten dalam eksplorasi lepas pantai. Norwegia menjaga arah strategisnya.

Negara yang gagal sebaliknya: gonta-ganti arah, tambal sulam kebijakan, penuh ketidakpastian. Padahal, energi membutuhkan waktu, modal, dan keberanian lintas generasi.

-000-

Energi, Politik, dan Bisnis: Simfoni atau Perebutan?

Energi adalah sumber daya paling politis. Harga BBM bisa menjadi harga politik. Subsidi energi menjadi alat popularitas. Eksplorasi terganggu oleh tarik-menarik kepentingan.

Contoh tragis: Nigeria. Minyak menjadi kutukan. Korupsi merajalela. Perusahaan asing dan elite lokal menjalin simbiosis predatoris.

Sebaliknya, Arab Saudi menggunakan perusahaan minyak nasionalnya, Saudi Aramco, sebagai alat reformasi fiskal dan modernisasi ekonomi.

Pertanyaannya: akan jadi seperti siapa Indonesia?

-000-

Masalah Indonesia, Hari Ini: Jalan Masih Terjal

Produksi minyak dan gas bumi (migas) menurun. Target pencapaian produksi harian (lifting) 1 juta barel per hari belum tercapai. Proyek kilang tersendat. Cadangan menipis. Transisi ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih lamban.

Target nasional: kemandirian energi pada tahun 2045. Tapi tanpa terobosan, itu hanya akan menjadi retorika.

Peta Jalan (Roadmap) yang Realistis:

• Percepatan Eksplorasi: Wilayah perbatasan (frontier) dan laut dalam harus dibuka. Teknologi peningkatan perolehan minyak (enhanced oil recovery / EOR) di blok-blok tua harus dipercepat. 

Ini adalah fondasi bagi peningkatan produksi jangka panjang.

• Digitalisasi Sistem Produksi: Teknologi pemantauan waktu nyata (real-time monitoring), perawatan prediktif (predictive maintenance), dan integrasi data lifting akan meningkatkan efisiensi serta mempercepat respons teknis.

• Reformasi Kilang dan Logistik: Program Pengembangan Kilang Eksisting (Refinery Development Master Plan / RDMP) meningkatkan kapasitas kilang lama seperti Kilang Balikpapan. 

Pembangunan Kilang Baru (Grass Root Refinery / GRR) dirancang dari nol di lokasi strategis. Keduanya menopang ketahanan energi nasional dari sisi hilir.

• Sinergi Antarsubholding: Pertamina Hulu Energi (PHE) tidak bisa berjalan sendiri. Patra Niaga, Pertamina International Shipping (PIS), dan Pertamina NRE (New & Renewable Energy) harus bersinergi dalam satu rantai energi yang terpadu dan efisien.

• Percepatan Teknologi Penangkapan Karbon dan EBT: Teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture and Storage / CCS) serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture, Utilization and Storage / CCUS) perlu dipercepat. 

Digabungkan dengan integrasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT), ini akan menjadi jembatan menuju sistem energi yang mandiri dan ramah lingkungan.

-000-

PHE dan Mantra Eksplorasi

Sebagai ujung tombak sektor hulu migas, Pertamina Hulu Energi (PHE) memegang kunci. Eksplorasi harus agresif. Wilayah frontier harus dibuka. Kolaborasi teknologi dan sistem pengadaan yang bersih menjadi keharusan.

Dalam dunia eksplorasi, ada satu mantra:

“Tanpa Penemuan, Tak Ada Kedaulatan.” (No Discovery, No Sovereignty.)

Tanpa penemuan baru, tak ada pijakan untuk berdiri tegak.

Dan bagi Indonesia, ini bukan sekadar semboyan, tapi semangat zaman.

Kemandirian energi bukan hadiah. Ia buah dari keringat, keberanian, dan kesabaran.

Ia bukan slogan, tapi disiplin teknokratis dan etika kepemimpinan. Jalan sunyi yang dibangun di bawah tanah, di balik layar, dan sering tanpa tepuk tangan.

Tapi justru di situlah nilai luhur bangsa diukur.

Jika Indonesia ingin berdiri tegak di abad ini, kita tak bisa menggantungkan nasib pada kapal tanker dari pelabuhan asing.

Kita harus kembali ke hakikat bangsa yang merdeka: menggali dari tanah sendiri, mengolah dengan akal sendiri, menjaga dengan jiwa yang tak bisa dibeli.

Sebab energi adalah detak nadi kemerdekaan.

Dan kedaulatan bukan komoditas yang diperdagangkan di bursa. Ia adalah sumpah, ia adalah warisan.

Ia diperjuangkan bukan hanya dengan teriakan, tapi dengan disiplin, keberanian, dan kesetiaan, hari demi hari, dalam kerja yang riuh, ataupun yang nyaris sunyi.***

Jakarta, 9 Juli 2025

Referensi:

1. Daniel Yergin, The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power (1991)

2. Vaclav Smil, Energy and Civilization: A History (2017)

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1CDZDRqHAQ/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait