DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mereka yang Mati Tanpa Nama

image
Warga Gaza berkabung sesudah tewasnya anggota keluarga akibat serangan brutal Israel (Foto: Xinhua)

Oleh Abdul Karim*

"Setiap orang yang terbunuh di Gaza memiliki nama." — Gideon Levy

ORBITINDONESIA.COM - Setiap ledakan yang terdengar di Gaza bukan hanya dentuman bom, tetapi juga dentuman kemanusiaan yang hancur. Di balik angka-angka yang terus diperbarui oleh lembaga-lembaga internasional, ada tubuh-tubuh kecil yang tidak sempat tumbuh dewasa, ada orang tua yang tak sempat mengucap selamat tinggal pada anak-anak mereka, ada janin yang hancur sebelum bisa melihat dunia.

Baca Juga: Serangan Udara Brutal Israel Tewaskan 92 Warga Palestina di Jalur Gaza

Di tengah kegemparan angka yang melonjak dari 1.000 menjadi 25.000 korban, yang hilang bukan hanya nyawa, tetapi nama, cerita, dan martabat. Angka mengaburkan wajah. Dan dunia yang malas untuk mengenali mereka satu per satu memilih jalan pintas: statistik.

Gideon Levy, seorang jurnalis dari Tel Aviv yang memilih menjadi duri dalam daging bangsanya sendiri, berdiri sebagai saksi yang tidak mengizinkan angka menjadi satu-satunya narasi. Dalam reportasenya yang getir dan gamblang, Levy menolak ikut dalam paduan suara nasional yang menjustifikasi setiap serangan sebagai pertahanan diri.

Ia menulis untuk memulihkan nama yang hilang. Ia menyebut satu per satu mereka yang terbunuh, bukan karena ia tahu semuanya, tetapi karena ia tahu bahwa yang tak disebut akan dilupakan. Dan di dunia yang ditopang oleh ingatan selektif, lupa adalah bentuk paling halus dari kekerasan.

Baca Juga: Mengerikan, Jumlah Korban Tewas Akibat Genosida Israel di Gaza Mencapai 56.600 Jiwa

Judith Butler dalam Frames of War menyebutkan bahwa tidak semua kehidupan dianggap layak untuk ditangisi. Inilah logika utama perang modern: membingkai siapa yang disebut korban dan siapa yang disebut ancaman. Dalam perang narasi, Gaza telah diposisikan sebagai ruang di mana hidup tidak sepenuhnya manusiawi.

Maka ketika anak-anak terbunuh, tidak disebut tragedi, tetapi konsekuensi. Ketika rumah sakit dihancurkan, tidak disebut pelanggaran, tetapi target strategis. Ini bukan hanya propaganda; ini adalah pembingkaian eksistensial yang memutus Gaza dari hak dasarnya untuk disebut bagian dari kemanusiaan universal.

Didier Fassin dan Richard Rechtman dalam The Empire of Trauma mengupas bagaimana dunia modern menciptakan struktur trauma yang terpilih. Ada korban yang pantas untuk mendapatkan belas kasih, dan ada yang tidak. Dalam struktur ini, trauma warga Gaza menjadi tidak sah karena mereka tidak dianggap sebagai korban murni.

Baca Juga: Donald Trump: Israel Menyetujui Syarat Gencatan Senjata 60 Hari di Gaza

Mereka selalu dikaitkan dengan Hamas, dengan perlawanan, dengan ancaman. Trauma mereka dilihat sebagai sesuatu yang diciptakan sendiri. Dengan begitu, dunia bisa berdiam diri tanpa merasa bersalah. Dan dalam keheningan itu, kekerasan beranak-pinak.

Levy menggambarkan dengan terang bagaimana perayaan kebencian merayap ke dalam kesadaran kolektif Israel. Ia menyaksikan bagaimana tak ada satu pun protes massal atas kehancuran Gaza. Tak ada lagi surat dari para tentara yang menolak bertugas, tak ada lagi pilot yang menolak mengebom.

Sebaliknya, ada kesepakatan diam-diam bahwa semua ini perlu, semua ini sah. Dan inilah yang paling mengerikan: bahwa sebuah masyarakat bisa merasa damai di tengah kejahatan massal hanya karena korban-korbannya tidak dibingkai sebagai manusia yang layak untuk diratapi.

Baca Juga: Juru Bicara OCHA, Jens Laerke: Warga Gaza Dibiarkan Mati Kelaparan

Ketika dunia menyebut 7 Oktober sebagai hari paling kelam dalam sejarah Israel, Levy bertanya: apakah Gaza tidak berhak memiliki sejarah kelamnya sendiri? Jika 1.200 korban Israel bisa menggerakkan dunia, mengapa 25.000 korban Gaza hanya menjadi footnote?

Dunia membungkam penderitaan Gaza dengan bahasa diplomatik: kompleksitas, keamanan, geopolitik. Tapi penderitaan anak-anak tidak pernah kompleks. Ketika seorang anak mati kelaparan atau hancur oleh misil, yang mati bukan hanya tubuhnya, tetapi harapan umat manusia untuk disebut bermoral.

Levy mengenang sopir-sopir Gaza yang dulu membantunya masuk ke wilayah itu. Ia tidak tahu nasib mereka kini. Tapi ia tahu bahwa jika mereka mati, mereka akan mati dalam diam. Tanpa headline. Tanpa duka dunia. Ini adalah genosida yang dijalankan dalam keheningan.

Baca Juga: Qatar Ajukan Usulan Baru Gencatan Senjata 60 Hari di Gaza dan Tukar Sandera

Dan dunia tidak hanya bersalah karena mendiamkannya, tetapi karena secara aktif membiarkan kerangka berpikir yang memproduksi diam itu tetap hidup. Media global yang sibuk memberitakan pagar-pagar rusak di Israel tetapi tidak lorong rumah sakit di Gaza adalah bagian dari mesin kekerasan itu.

Dalam Frames of War, Butler menegaskan bahwa yang paling berbahaya bukanlah kematian itu sendiri, tetapi sistem representasi yang membuat kematian itu bisa diterima. Dunia tidak menolak kekerasan; dunia hanya menolak melihat kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang dianggap sah.

Levy menyaksikan bagaimana Israel menjadikan pembantaian sebagai tindakan rutin, sebagai bagian dari keberlanjutan negara. Dan ini hanya bisa terjadi jika ada sistem global yang terus membenarkan atau membungkam. Maka ketika negara-negara Arab hanya mengutuk tanpa bertindak, ketika Uni Eropa hanya menyampaikan keprihatinan, semua itu bukan kegagalan diplomatik, tetapi kegagalan eksistensial.

Baca Juga: BREAKING NEWS: Serangan Israel Tewaskan Marwan Al-Sultan Direktur RS Indonesia dan Keluarga di Gaza

Kisah Gaza bukan hanya soal konflik Israel-Palestina. Ini adalah refleksi tentang siapa yang kita anggap manusia. Levy menulis bukan hanya sebagai jurnalis, tetapi sebagai penebus. Ia menolak untuk hidup dalam masyarakat yang kehilangan rasa malu. Ia menulis bukan karena ia bisa menyelamatkan Gaza, tetapi karena Gaza telah menyelamatkan sisa nuraninya. Dalam dunia yang terus menormalisasi kekejaman, menulis adalah bentuk perlawanan.

Kita hidup di zaman di mana teknologi bisa menghitung berapa banyak roket yang diluncurkan, tapi gagal menghitung berapa banyak anak yang kehilangan masa depan. Kita punya satelit yang bisa memantau setiap gerakan militan, tapi tak bisa melacak mayat-mayat yang dibiarkan membusuk. Dan lebih tragis lagi, kita punya bahasa yang bisa membela setiap kekejaman, tetapi tak cukup kata untuk menyebut satu per satu nama mereka yang mati tanpa upacara.

Levy, dalam kesaksiannya yang keras kepala, mengingatkan kita bahwa jika kita tidak menangis untuk Gaza, kita telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada empati. Kita telah kehilangan hak untuk menyebut diri kita manusia. Karena manusia bukan hanya soal rasionalitas atau budaya.

Baca Juga: Rudal dari Pesawat Tempur F-16 Israel Penyebab Gugurnya Marwan Al-Sultan, Direktur RS Indonesia di Gaza

Manusia adalah makhluk yang menggigil saat melihat bayi mati di pangkuan ibunya. Jika itu pun telah lenyap, maka yang tersisa dari kita hanyalah cangkang tanpa jiwa.

Dan karena itulah kita harus takut. Takut bahwa kita telah menjadi masyarakat yang tak lagi bisa berduka. Takut bahwa kita telah menjadi penonton yang bersorak ketika layar menampilkan kematian orang lain. Takut bahwa kita telah belajar hidup tanpa menoleh ke mayat yang tak dikenal namanya.

Daftar Pustaka:

Baca Juga: Menlu RI Sugiono Kecam Keras Serangan Israel yang Tewaskan Marwan Al-Sultan, Direktur RS Indonesia di Gaza

Butler, Judith. Frames of War: When Is Life Grievable? London: Verso, 2016.

Fassin, Didier, dan Richard Rechtman. The Empire of Trauma: An Inquiry into the Condition of Victimhood. Princeton: Princeton University Press, 2009.

Levy, Gideon. The Killing of Gaza: Reports on a Catastrophe. London: Verso, 2024. ***

Halaman:

Berita Terkait