DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mereka yang Mati Tanpa Nama

image
Warga Gaza berkabung sesudah tewasnya anggota keluarga akibat serangan brutal Israel (Foto: Xinhua)

Levy menggambarkan dengan terang bagaimana perayaan kebencian merayap ke dalam kesadaran kolektif Israel. Ia menyaksikan bagaimana tak ada satu pun protes massal atas kehancuran Gaza. Tak ada lagi surat dari para tentara yang menolak bertugas, tak ada lagi pilot yang menolak mengebom.

Sebaliknya, ada kesepakatan diam-diam bahwa semua ini perlu, semua ini sah. Dan inilah yang paling mengerikan: bahwa sebuah masyarakat bisa merasa damai di tengah kejahatan massal hanya karena korban-korbannya tidak dibingkai sebagai manusia yang layak untuk diratapi.

Ketika dunia menyebut 7 Oktober sebagai hari paling kelam dalam sejarah Israel, Levy bertanya: apakah Gaza tidak berhak memiliki sejarah kelamnya sendiri? Jika 1.200 korban Israel bisa menggerakkan dunia, mengapa 25.000 korban Gaza hanya menjadi footnote?

Baca Juga: Serangan Udara Brutal Israel Tewaskan 92 Warga Palestina di Jalur Gaza

Dunia membungkam penderitaan Gaza dengan bahasa diplomatik: kompleksitas, keamanan, geopolitik. Tapi penderitaan anak-anak tidak pernah kompleks. Ketika seorang anak mati kelaparan atau hancur oleh misil, yang mati bukan hanya tubuhnya, tetapi harapan umat manusia untuk disebut bermoral.

Levy mengenang sopir-sopir Gaza yang dulu membantunya masuk ke wilayah itu. Ia tidak tahu nasib mereka kini. Tapi ia tahu bahwa jika mereka mati, mereka akan mati dalam diam. Tanpa headline. Tanpa duka dunia. Ini adalah genosida yang dijalankan dalam keheningan.

Dan dunia tidak hanya bersalah karena mendiamkannya, tetapi karena secara aktif membiarkan kerangka berpikir yang memproduksi diam itu tetap hidup. Media global yang sibuk memberitakan pagar-pagar rusak di Israel tetapi tidak lorong rumah sakit di Gaza adalah bagian dari mesin kekerasan itu.

Baca Juga: Mengerikan, Jumlah Korban Tewas Akibat Genosida Israel di Gaza Mencapai 56.600 Jiwa

Dalam Frames of War, Butler menegaskan bahwa yang paling berbahaya bukanlah kematian itu sendiri, tetapi sistem representasi yang membuat kematian itu bisa diterima. Dunia tidak menolak kekerasan; dunia hanya menolak melihat kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang dianggap sah.

Levy menyaksikan bagaimana Israel menjadikan pembantaian sebagai tindakan rutin, sebagai bagian dari keberlanjutan negara. Dan ini hanya bisa terjadi jika ada sistem global yang terus membenarkan atau membungkam. Maka ketika negara-negara Arab hanya mengutuk tanpa bertindak, ketika Uni Eropa hanya menyampaikan keprihatinan, semua itu bukan kegagalan diplomatik, tetapi kegagalan eksistensial.

Kisah Gaza bukan hanya soal konflik Israel-Palestina. Ini adalah refleksi tentang siapa yang kita anggap manusia. Levy menulis bukan hanya sebagai jurnalis, tetapi sebagai penebus. Ia menolak untuk hidup dalam masyarakat yang kehilangan rasa malu. Ia menulis bukan karena ia bisa menyelamatkan Gaza, tetapi karena Gaza telah menyelamatkan sisa nuraninya. Dalam dunia yang terus menormalisasi kekejaman, menulis adalah bentuk perlawanan.

Baca Juga: Donald Trump: Israel Menyetujui Syarat Gencatan Senjata 60 Hari di Gaza

Kita hidup di zaman di mana teknologi bisa menghitung berapa banyak roket yang diluncurkan, tapi gagal menghitung berapa banyak anak yang kehilangan masa depan. Kita punya satelit yang bisa memantau setiap gerakan militan, tapi tak bisa melacak mayat-mayat yang dibiarkan membusuk. Dan lebih tragis lagi, kita punya bahasa yang bisa membela setiap kekejaman, tetapi tak cukup kata untuk menyebut satu per satu nama mereka yang mati tanpa upacara.

Halaman:

Berita Terkait