Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 02 Juli 2025 12:55 WIB

Lahirnya Genre Imajinasi Nusantara di Era Handphone
ORBITINDONESIA.COM - Justru di Wina, Austria, kota yang dinginnya penuh bisikan sejarah, saya menemukan arah.
Di sanalah, di tengah sunyi museum dan jiwa-jiwa abadi yang terpajang di dinding, lahir gagasan genre lukisan Imajinasi Nusantara.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?
Musim gugur 2024. Langit Eropa redup dan lambat. Saya melangkah masuk ke tiga museum yang menggetarkan batin: Albertina, Upper dan Lower Belvedere.
Di dinding Albertina, saya terdiam di hadapan sapuan Picasso. Itu kubisme yang mengubah realitas menjadi geometri emosi.
Di Belvedere, lukisan The Plain of Auvers karya Van Gogh menghantam batin saya: langitnya tak lagi biru, melainkan jeritan jiwa yang melayang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Perbanyak Sastra di Ruang Publik
Namun langkah saya terhenti paling lama di depan lukisan Salvador Dalí. Di sana, jam-jam meleleh seperti waktu yang lelah.
Dan wajah Sigmun Freud, dalam lukisa Dali, menatap saya tanpa bergerak. Namun lukisan itu penuh suara: suara mimpi, hasrat, dan kecemasan yang tak pernah sepenuhnya padam.
Bagi Salvador Dalí, Sigmund Freud bukan hanya seorang ilmuwan, melainkan nabi bawah sadar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Prabowo Subianto Sangat Populer, Tapi Publik Mulai Cemas Tentang Ekonomi
Ia sumber utama yang mengilhami seluruh semesta surealismenya. Freud membuka pintu ke dunia mimpi, hasrat tersembunyi, dan simbol-simbol yang tak disadari manusia biasa.
Bagi Dalí, gagasan tentang mimpi bukan teori belaka, melainkan peta menuju jiwa terdalam. Setiap lukisan Dalí—jam meleleh, semut, mata, bayangan ganda—adalah interpretasi visual atas konsep Freudian seperti represi, id, dan obsesi seksual.
Pertemuan mereka di London pada 1938 adalah peristiwa spiritual bagi Dalí: ia bertemu sumber sungai inspirasinya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya
Tanpa Freud, lukisan-lukisan Dalí hanyalah absurditas. Bersama Freud, mereka menjadi cermin batin umat manusia.
-000-
Saat itu, saya sudah melukis lebih dari 600 lukisan. Semua terpajang di delapan galeri hotel di Jakarta dan Jawa Barat.
Hari itu, saya merasa kecil. Lukisan-lukisan saya belum punya bahasa. Belum punya jiwa yang utuh. Belum seperti genre yang cukup disebut dalam satu nama: Van Gogh. Dalí. Picasso.
Saya pun membaca ulang sejarah mereka. Tak satu pun para maestro ini langsung menemukan jati dirinya. Semua gelisah di awal, dan baru menemukan ciri khas pada tahun ke-6 hingga ke-10, di lukisan ke-100 hingga ke-400.
Hati saya tenang. Mungkin saya sedang menuju ke sana.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
Dari perenungan itu, lahirlah satu nama dalam keheningan:
Imajinasi Nusantara.
Bukan genre turunan. Bukan eksperimen Barat. Tapi panggilan batin untuk melukis batin manusia, dengan elemen lokalitas Indonesia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak dan Takhta Zaman, Ketika Dunia Digerakkan Oleh Hitamnya Energi
Tak pernah sebelumnya ada genre yang menyatukan tiga hal ini. Tiga hal ini pula yang menjadi karakter genre lukisan Imajinasi Nusantara.
• Batik, sebagai lokalitas Indonesia, menjadi pusat narasi visual, bukan sekadar ornamen.
• Manusia yang realistis, karena tubuh adalah rumah jiwa—tidak terdistorsi.
• Latar yang surealis, sebagai metafor batin zaman yang retak, yang penuh imajinasi.
Jika Van Gogh menciptakan dunia dari emosi, Dalí dari mimpi, dan Picasso dari distorsi, maka saya menciptakan dunia dari batin Nusantara yang sedang diguncang oleh algoritma.
Genre ini adalah tangisan pelan, tetapi juga perlawanan estetika.
Ia bukan anak batin Eropa. Ia lahir dari langit tropis, dari aroma tanah basah, dari senyap pura, dan dari air mata digital yang tak terlihat.
Di setiap helai batik, tersimpan kisah luka dan harapan. Itu jejak nenek moyang yang menari di antara algoritma.
Itu juga doa sunyi yang mengalir dari tangan perajin ke layar-layar digital.
Dan di persimpangan zaman, kita melukis ulang identitas,
menyulam masa depan dari benang tradisi dan cahaya piksel.
-000-
Tema pertama yang saya tangkap dalam genre Imajinasi Nusantara adalah tema zaman: handphone.
Sebuah benda kecil yang mengubah hidup manusia lebih dalam dari bom, dan lebih sunyi dari revolusi mana pun.
1. Dari Komunitas ke Notifikasi
Kita kini duduk bersama, tapi tak saling menatap. Kita tersambung ke seluruh dunia, tapi tercerabut dari ruang sendiri.
2. Informasi Tak Lagi Milik Guru
Seorang anak sepuluh tahun kini bisa menjadikan TikTok sebagai gurunya, dan hoaks sebagai kebenarannya.
3. Ruang dan Waktu Tak Lagi Tegak
Cinta melintasi benua tanpa tubuh. Perang disaksikan sambil menyeduh kopi.
Dunia masuk ke saku, tapi jiwa kita mulai kehilangan pijakan.
Dari dunia yang makin tak nyata ini, lahirlah sepuluh gagasan lukisan dengan tema Handphone.
Dalam Genre Imajinasi Nusantara, tubuh manusia Indonesia digambarkan secara nyata—dalam batik detil yang memesona.
Namun sekelilingnya adalah lanskap batin yang genting, surealis, retak.
Beberapa tema:
• Seorang ayah yang pulang, tapi jiwanya tak pernah tiba.
• Makan malam sunyi, hanya ditemani pantulan layar.
• Guru yang mengajar dinding, sementara murid menatap layar HP.
• Makam tanpa doa, hanya QR Code dan sinyal.
Batik menjadi roh penyambung jiwa.
Sementara latar surealis membuka dimensi spiritual dan ironi sosial.
-000-
Genre lukisan Imajinasi Nusantara ini tak hanya menatap teknologi. Ia juga menyapa luka-luka global:
• Perawat COVID-19 berdiri sendiri di lorong sunyi, dikelilingi roh-roh berbatik.
• Ibu dan anak di tengah pasar saat krisis 1998, batik mereka menghangatkan kelaparan.
• Anak-anak Gaza, memegang mainan terakhir di bawah langit bom.
• Aceh, tenggelam oleh tsunami, tapi batiknya tetap terbang.
Bahkan tokoh-tokoh global pun muncul:
Elvis, Mick Jagger, Marilyn Monroe—semua hadir dalam batik. Mereka bukan lagi ikon. Mereka adalah manusia biasa yang tertawa, bermain padel dan biliar, mencari pelarian dari dunia yang terlalu keras.
-000-
Buku ini memuat 72 lukisan dalam genre tersebut.
Setiap lukisan adalah kesaksian spiritual atas zaman.
Dan semuanya dibantu oleh satu asisten abadi:
Artificial Intelligence.
Di salah satu lukisan, Einstein tersenyum memegang raket padel,
Lady Di tertawa dengan stik biliar di tangan.
Mereka mengenakan batik, berdiri di bawah langit yang dihiasi awan berbentuk formula dan mahkota.
Saya tak tahu selama hidupnya apakah Einstein pernah memakai batik Indonesia? Tapi dalam genre lukisan Imajinasi Nusantara, dipastikan Einstein memakai batik, memegang raket padel, tak ingin pusing dengan perang Israel versus Iran, ketika lukisan ini dibuat.
Mereka bukan lagi milik sejarah.
Mereka milik kita—manusia biasa yang mencari cinta dalam dunia yang makin asing.
Genre Imajinasi Nusantara adalah pelukan spiritual kita kepada dunia.
Sebuah pelukan yang terbuat dari warna, cinta, dan sehelai batik.***
Juli 2025
Buku kumpulan 72 lukisan Imajinasi Nusantara dan Penjelasan Genrenya dapat diakses, diundah, dan bebas disebarkan, melalui link:
https://drive.google.com/file/d/1dtYrlczlw4OYlYbFBgU4ISPhz7pgxEJu/view?usp=sharing