Di Era Artificial Intelligence, Angkatan Puisi Esai Justru Menguat
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 21 Juni 2025 06:37 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah gempuran teknologi dan kecerdasan buatan artificial intelligence (AI), banyak jenis sastra terpinggirkan. Namun yang mengejutkan, angkatan puisi esai justru tumbuh subur.
Ini bukan hanya tentang bertahan, melainkan puisi esai berkembang menjadi gerakan sastra yang menguat dan potensial berefek lintas zaman.
Demikian disampaikan oleh Agus Sarjono dan Ahmad Gaus dalam diskusi di Nomu Kafe, Jalan Mahakam, Jakarta, 20 Juni 2025.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Mereka yang Dikubur di Hati Manusia
Sebelum diskusi, Denny JA menyampaikan pandangannya tentang Denny JA Foundation menghibahkan dana abadi setidaknya untuk 50 tahun untuk keberlangsungan Festival Puisi Esai tahunan, penghargaan kepada penulis, publikasi, dan sosialisasi puisi esai.
Era AI mengubah wajah sastra dunia. Menurut National Endowment for the Arts (NEA) di Amerika Serikat, pembaca novel dan cerpen menurun dari 45,2% pada 2012 menjadi 37,6% pada 2022.
Pembaca puisi menyusut dari 11,7% (2017) ke 9,2% (2022). Di Indonesia, data LSI Denny JA (2024) mencatat hanya 16% masyarakat membaca satu buku sastra per tahun.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual
Minat baca makin pendek. Narasi teks panjang tergantikan oleh format cepat dan visual.
TikTok, YouTube Shorts, serta klip-klip AI menggeser cerita sastra menjadi potongan yang cepat, ringan, dan instan.
Namun di tengah tsunami digital, puisi esai justru tumbuh.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai
-000-
Puisi Esai: Tumbuh Bersama Zaman
Setiap tahun sejak 2021, terbit 20–25 buku puisi esai. Festival digelar rutin berskala nasional dan ASEAN.
Baca Juga: Lukisan Denny JA dengan Bantuan Artificial Intelligence: Dari Tsunami Sampai Covid 19
Dana abadi telah disiapkan untuk menopang kesinambungan gerakan ini sampai 50 tahun ke depan.
Yang lebih penting: tumbuh penulis-penulis Gen Z, bahkan kolaborasi antara penyair dan AI telah dimulai.
Format puisi esai menjawab tantangan zaman. Ia menggabungkan puitika, fakta, dan refleksi sosial.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Dari Gedung Bersejarah Menjadi Diplomasi Kuliner
Bukan puisi konvensional yang murni lirikal. Bukan esai kering yang hanya berbasis logika. Tapi gabungan keduanya yang mampu menyentuh, mencerdaskan, dan menggerakkan.
Ia tidak bersembunyi di menara gading. Ia hadir di tengah peristiwa sosial: konflik, bencana, tragedi, perjuangan, cinta, ketidakadilan.
Dengan gaya yang segar dan format yang fleksibel, puisi esai menjawab krisis perhatian dengan kisah nyata.
Baca Juga: Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global
-000-
Angkatan Sastra Baru
Apa itu angkatan sastra? H.B. Jassin, Paus Sastra Indonesia, merumuskannya sebagai gelombang yang muncul karena kesamaan visi estetik, momen kolektif dalam karya, dan kesadaran generasional.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya
Kita mengenal Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, hingga Angkatan 2000.
Kini, seluruh indikator itu ada pada puisi esai. Ia bukan hanya genre, tapi sudah menjadi angkatan.
* Ia memiliki rumusan estetika sendiri.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?
* Diikuti oleh ratusan penulis lintas generasi.
* Membangun ekosistem sastra modern: festival, dana abadi, dan jejaring akademik.
* Dan yang paling unik: ia dirumuskan oleh satu tokoh, Denny JA, yang menginisiasi, merumuskan, dan mendorong gerakan ini sejak awal.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Berapa Banyak Lagi Kematian yang Kau Tunggu?
Lima Ciri Khas Angkatan Puisi Esai
1. Dirumuskan sebagai genre – dengan struktur estetika dan partitur yang khas.
2. Lahir dari satu tokoh tunggal – Denny JA sebagai pencetus dan penggerak utama.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Puisi Dari Papua yang Luka
3. Didukung ekosistem sastrawi – buku, festival tahunan, komunitas, dana abadi.
4. Kolaboratif dengan AI – menjawab tantangan dan peluang di era digital.
5. Dampaknya nasional dan lintas negara – paling heboh dalam dua dekade terakhir.
Namun, seperti api yang butuh angin untuk membesar, puisi esai pun harus terus dijaga agar tak terjebak dalam satu menara.
Gerakan ini akan mencapai keabadian justru ketika ia membuka diri: merangkul lebih banyak suara, mengkritik dirinya sendiri, dan berani berevolusi bersama denyut zaman.
Di sini, puisi esai bukan lagi sekadar genre, melainkan pertemuan antara keberanian dan kerendahan hati-seperti sungai yang tak pernah menolak anak-anak sungai baru, namun tetap mengalir menuju samudera kemanusiaan yang sama.
-000-
Menuju Panggung Internasional
September 2025, puisi esai akan diperkenalkan secara resmi di hadapan akademisi global pada 5th Conference for Asian Studies di Bonn, Jerman.
Agus R. Sarjono menjadi pembicara. Makalah akan disebar melalui jurnal Orientierungen, dan kolaborasi internasional tengah dibangun, termasuk ke Tiongkok dan komunitas sastra global lainnya.
Puisi esai membuka peluang baru bagi sastra Indonesia untuk memberi warna dalam khazanah sastra dunia.
Ketika kata-kata dapat diproduksi oleh mesin, justru puisi yang paling manusiawi akan bertahan. Dan puisi esai adalah bentuk paling jujur dari kemanusiaan yang terhubung dengan dunia nyata: penuh luka, cinta, ironi, dan harapan.
Di tengah kebisingan data, puisi esai hadir sebagai suara yang menenangkan. Ia bukan sekadar baris kata, tapi jembatan antara logika dan nurani. Itulah sebabnya, di era AI ini, angkatan puisi esai justru menguat.***