Mengapa Aceh Bangkit Lagi? Lebih dari Pulau, Ini tentang Identitas dan Kedaulatan
- Penulis : Dewi Arum Nawang Wungu
- Selasa, 17 Juni 2025 13:54 WIB

ORBITINDONESIA.COM – Ketika ratusan warga Aceh Singkil dan mahasiswa membentuk Aliansi Gerakan Aceh Menggugat (AGAMM), serta Komite Peralihan Aceh (KPA) menyatakan siap “duduk di pulau” untuk menolak pelimpahan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—ke Sumatra Utara via SK Mendagri Nomor 100.2.2-2138 Tahun 2025, yang mereka perlihatkan bukan hasrat berkonflik.
Mereka menolak karena dasar historis, harga diri, dan kedaulatan rakyat yang dinodai oleh peralihan administratif sepihak.
Keputusan administratif dari Kementerian Dalam Negeri itu dikeluarkan pada 25 April 2025 tanpa konsultasi publik dan mengabaikan narasi sejarah yang hidup di tubuh masyarakat Aceh.
Baca Juga: Mengurai Sengketa Kepemilikan Empat Pulau Antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara
Empat pulau itu secara administratif dialihkan menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, meski secara sosial dan kultural telah lama menjadi wilayah tangkapan nelayan Aceh dan masuk ke dalam peta sejarah Aceh Singkil sejak era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Alhaytar, dalam pernyataan resminya (28 Mei 2025), menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat ini mencederai prinsip otonomi khusus.
Ia mengingatkan bahwa wilayah Aceh telah diakui memiliki sejarah dan sistem pemerintahan sendiri jauh sebelum Indonesia merdeka.
Baca Juga: Pemerintah dan DPR Aceh Tempuh Jalur Non-Litigasi untuk Polemik Empat Pulau
“Ini bukan hanya soal tapal batas, tetapi soal narasi identitas yang selama ini dilindungi melalui proses panjang rekonsiliasi dan perjanjian damai Helsinki,” ujarnya.
Di bawah permukaan protes, menggelegaklah trauma kolektif: bahwa perjanjian-perjanjian damai seringkali dimaknai sepihak oleh pemerintah pusat, dan bahwa hak untuk mengelola wilayah sering ditarik mundur oleh klaim administratif yang miskin keterlibatan masyarakat lokal.
Perjuangan simbolik atas empat pulau itu membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh: tentang bagaimana Aceh berkali-kali harus tunduk atas nama kesatuan nasional, meski telah diberi status "istimewa".
Secara historis, empat pulau itu tidak pernah terpisah dari Aceh. Tapal batas wilayah laut Aceh pernah ditetapkan melalui keputusan pada 1 Juli 1956, dan masyarakat lokal sejak generasi ke generasi mengenali wilayah itu sebagai bagian dari ekosistem hidup mereka—tempat mencari ikan, tempat berziarah, bahkan tempat memakamkan keluarga.
Dalam perspektif masyarakat adat, batas wilayah bukan hanya garis di peta, tetapi juga relasi sosial dan spiritual.
Lalu bagaimana keputusan administratif bisa mengubah semua itu?
Baca Juga: Mantan Wapres Jusuf Kalla Sebut Empat Pulau yang Disengketakan Adalah Milik Aceh
Bagaimana logika negara bisa dengan mudah memindahkan pulau tanpa mendengarkan suara dari akar?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menggugat legalitas SK Mendagri, tetapi juga mengguncang ulang struktur relasi antara pusat dan daerah yang selama ini dibangun dalam bahasa harmoni yang rapuh.
Ketika AGAMM menyatakan siap menginjakkan kaki dan tinggal di pulau-pulau itu sebagai bentuk penolakan sipil, mereka sedang menawarkan bahasa baru dalam bernegara: bahwa tubuh rakyat bisa menjadi argumen politik yang lebih kuat dari pasal-pasal.
Baca Juga: Kemendagri Undang Gubernur Aceh Muzakir Manaf untuk Rapat Bahas tentang Empat Pulau Sengketa
Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang lahir dari proses transisi pasca-konflik, bahkan menyatakan kesiapannya untuk “mengawal” aksi itu secara langsung.
Ini bukan ancaman kekerasan. Ini pengingat: bahwa tubuh, ruang, dan tanah adalah tiga unsur yang tidak boleh dipisahkan dari demokrasi. Ketika negara hanya melihat peta, rakyat melihat makam leluhur. Ketika negara bicara efisiensi administratif, rakyat bicara sejarah dan harga diri.
Dan di antara keduanya, terbuka jurang komunikasi yang tak bisa dijembatani dengan siaran pers.
Dalam kerangka teori politik kontemporer, Giorgio Agamben menyebut situasi seperti ini sebagai “state of exception”—keadaan luar biasa yang dijadikan alasan permanen untuk mengecualikan rakyat dari proses pengambilan keputusan.
Dalam situasi seperti ini, warga sipil menjadi objek, bukan subjek. Keputusan dikeluarkan tanpa dialog, tanpa dengar pendapat, tanpa uji sahih dengan warga terdampak.
Dan karena itu, jalanan—atau dalam kasus Aceh: lautan dan pulau—menjadi forum politik yang paling otentik. Dalam Why Civil Resistance Works, Erica Chenoweth menunjukkan bahwa protes sipil yang terorganisir secara damai memiliki efektivitas dua kali lipat lebih tinggi dibanding protes bersenjata.
Bahkan keterlibatan 3,5% populasi secara aktif sudah cukup untuk mengubah arah kebijakan nasional.
Aceh sedang mendekonstruksi cara kita memahami demokrasi. Mereka mengingatkan bahwa parlemen bukan satu-satunya tempat rakyat bisa bicara. Bahwa di luar ruang-ruang formal, masih ada medan politik yang sah: yaitu tubuh yang rela hadir, suara yang berani berseru, dan tanah yang dijaga secara fisik.
Dalam hal ini, masyarakat Aceh tidak menolak negara—mereka sedang mengajari negara bagaimana cara mendengarkan.
Kemarahan mereka bukan kebencian. Itu adalah cinta yang terluka. Cinta pada tanah, pada sejarah, dan pada hak untuk diakui sebagai warga negara yang setara. Maka aksi mereka adalah bentuk kesetiaan yang diuji: kesetiaan pada demokrasi yang dijanjikan tapi belum ditepati.
Aceh juga sedang memberi pelajaran besar tentang bagaimana politik bisa dijalankan tanpa kekerasan, tapi tetap keras. Tanpa peluru, tapi tetap berdampak. Tanpa ancaman, tapi tetap menggetarkan.
Jika pemerintah pusat cukup bijak, ini adalah saat yang tepat untuk membuka ruang dialog. Bukan untuk membela SK yang keliru, tapi untuk mengakui bahwa mungkin kali ini, rakyat lebih tahu soal tanahnya sendiri.
Dan jika ini dibiarkan—jika negara bersikeras untuk memaksakan kehendak tanpa mendengar rakyatnya sendiri—maka kita sedang mengukir babak baru dari represi administratif. Kita sedang memperluas luka yang selama ini ditambal, bukan disembuhkan.
Aceh pernah berdarah demi pengakuan. Tapi kali ini mereka turun dengan damai. Mereka tidak memanggil perlawanan lama, tapi merawat luka baru.
Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa ingatan dan keberanian untuk berkata: “Tanah ini milik kami bukan karena peta, tapi karena sejarah dan kehidupan.”
Jadi jangan buru-buru menuduh mereka separatis. Jangan terlalu cepat menertawakan mereka sebagai emosional. Mereka sedang mempertahankan narasi yang lebih tua dari SK manapun: bahwa martabat tidak bisa dipindah lewat tinta birokrasi.
Dan pada akhirnya, mungkin kita harus bertanya: siapa yang lebih cinta pada republik ini? Mereka yang duduk di belakang meja, atau mereka yang berdiri di pulau-pulau yang terlupakan?***