Mengapa Aceh Bangkit Lagi? Lebih dari Pulau, Ini tentang Identitas dan Kedaulatan
- Penulis : Dewi Arum Nawang Wungu
- Selasa, 17 Juni 2025 13:54 WIB

Dalam perspektif masyarakat adat, batas wilayah bukan hanya garis di peta, tetapi juga relasi sosial dan spiritual.
Lalu bagaimana keputusan administratif bisa mengubah semua itu?
Bagaimana logika negara bisa dengan mudah memindahkan pulau tanpa mendengarkan suara dari akar?
Baca Juga: Mengurai Sengketa Kepemilikan Empat Pulau Antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menggugat legalitas SK Mendagri, tetapi juga mengguncang ulang struktur relasi antara pusat dan daerah yang selama ini dibangun dalam bahasa harmoni yang rapuh.
Ketika AGAMM menyatakan siap menginjakkan kaki dan tinggal di pulau-pulau itu sebagai bentuk penolakan sipil, mereka sedang menawarkan bahasa baru dalam bernegara: bahwa tubuh rakyat bisa menjadi argumen politik yang lebih kuat dari pasal-pasal.
Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang lahir dari proses transisi pasca-konflik, bahkan menyatakan kesiapannya untuk “mengawal” aksi itu secara langsung.
Baca Juga: Pemerintah dan DPR Aceh Tempuh Jalur Non-Litigasi untuk Polemik Empat Pulau
Ini bukan ancaman kekerasan. Ini pengingat: bahwa tubuh, ruang, dan tanah adalah tiga unsur yang tidak boleh dipisahkan dari demokrasi. Ketika negara hanya melihat peta, rakyat melihat makam leluhur. Ketika negara bicara efisiensi administratif, rakyat bicara sejarah dan harga diri.
Dan di antara keduanya, terbuka jurang komunikasi yang tak bisa dijembatani dengan siaran pers.
Dalam kerangka teori politik kontemporer, Giorgio Agamben menyebut situasi seperti ini sebagai “state of exception”—keadaan luar biasa yang dijadikan alasan permanen untuk mengecualikan rakyat dari proses pengambilan keputusan.
Dalam situasi seperti ini, warga sipil menjadi objek, bukan subjek. Keputusan dikeluarkan tanpa dialog, tanpa dengar pendapat, tanpa uji sahih dengan warga terdampak.