DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mengapa Aceh Bangkit Lagi? Lebih dari Pulau, Ini tentang Identitas dan Kedaulatan

image
Mahasiswa Aceh bergerak menuntut empa pulau disengketakan dengan Sumatra Utara. (Instagram @aceh viral)

ORBITINDONESIA.COM – Ketika ratusan warga Aceh Singkil dan mahasiswa membentuk Aliansi Gerakan Aceh Menggugat (AGAMM), serta Komite Peralihan Aceh (KPA) menyatakan siap “duduk di pulau” untuk menolak pelimpahan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—ke Sumatra Utara via SK Mendagri Nomor 100.2.2-2138 Tahun 2025, yang mereka perlihatkan bukan hasrat berkonflik.

Mereka menolak karena dasar historis, harga diri, dan kedaulatan rakyat yang dinodai oleh peralihan administratif sepihak.

Keputusan administratif dari Kementerian Dalam Negeri itu dikeluarkan pada 25 April 2025 tanpa konsultasi publik dan mengabaikan narasi sejarah yang hidup di tubuh masyarakat Aceh.

Baca Juga: Mengurai Sengketa Kepemilikan Empat Pulau Antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara

Empat pulau itu secara administratif dialihkan menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, meski secara sosial dan kultural telah lama menjadi wilayah tangkapan nelayan Aceh dan masuk ke dalam peta sejarah Aceh Singkil sejak era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Alhaytar, dalam pernyataan resminya (28 Mei 2025), menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat ini mencederai prinsip otonomi khusus.

Ia mengingatkan bahwa wilayah Aceh telah diakui memiliki sejarah dan sistem pemerintahan sendiri jauh sebelum Indonesia merdeka.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Aceh Tempuh Jalur Non-Litigasi untuk Polemik Empat Pulau

“Ini bukan hanya soal tapal batas, tetapi soal narasi identitas yang selama ini dilindungi melalui proses panjang rekonsiliasi dan perjanjian damai Helsinki,” ujarnya.

Di bawah permukaan protes, menggelegaklah trauma kolektif: bahwa perjanjian-perjanjian damai seringkali dimaknai sepihak oleh pemerintah pusat, dan bahwa hak untuk mengelola wilayah sering ditarik mundur oleh klaim administratif yang miskin keterlibatan masyarakat lokal.

Perjuangan simbolik atas empat pulau itu membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh: tentang bagaimana Aceh berkali-kali harus tunduk atas nama kesatuan nasional, meski telah diberi status "istimewa".

Baca Juga: Komisi II DPR RI Segera Panggil Mendagri serta Gubernur Aceh dan Sumatra Utara tentang Sengketa 4 Pulau

Secara historis, empat pulau itu tidak pernah terpisah dari Aceh. Tapal batas wilayah laut Aceh pernah ditetapkan melalui keputusan pada 1 Juli 1956, dan masyarakat lokal sejak generasi ke generasi mengenali wilayah itu sebagai bagian dari ekosistem hidup mereka—tempat mencari ikan, tempat berziarah, bahkan tempat memakamkan keluarga.

Halaman:

Berita Terkait