DECEMBER 9, 2022
Kolom

Aksi Massa Mahasiswa Yogyakarta: Jalanan yang Tak Pernah Netral

image
Mahasiswa se-Yogyakarta berdemonstrasi menolak RUU TNI di Gejayan.

ORBITINDONESIA.COM – Di tengah teriknya aspal Malioboro, Yogyakarta dan riuh suara toa yang tak pernah tenang, sekelompok mahasiswa menulis ulang definisi politik.

Bukan sekadar menolak RUU atau menuntut menteri mundur.

Mereka sedang membentuk laku. Sebuah bentuk pembelajaran tentang keberanian, empati, dan identitas sebagai warga yang tak tinggal diam.

Baca Juga: Trump Minta Daftar "Nama dan Negara Asal" Mahasiswa Asing di Harvard

Aksi massa di Indonesia sering dicitrakan negatif: merusak, gaduh, dan tidak solutif. Tapi siapa sangka, dari teriakan jalanan itu lahir generasi baru yang menjadikan aksi sebagai medium kontemplasi—seperti kebaktian jalanan.

Bagi sebagian orang, aksi ini tampak seperti repetisi: ramai, emosional, dan tidak pernah selesai. Tapi narasi itu mengabaikan satu fakta: aksi massa adalah artikulasi politik paling jujur.

Ia lahir dari rasa tidak puas, dari ruang-ruang representasi yang buntu, dan dari kepercayaan bahwa tubuh di jalan lebih bergema daripada suara dalam survei.

Baca Juga: Donald Trump Tangguhkan Penerimaan Mahasiswa Asing di Universitas Harvard

Dalam bukunya Why Civil Resistance Works (2011), Erica Chenoweth dan Maria Stephan menunjukkan bahwa gerakan non-kekerasan, seperti aksi massa mahasiswa, memiliki peluang sukses dua kali lipat lebih tinggi daripada gerakan bersenjata. Bahkan, mereka menyebutkan bahwa partisipasi aktif sebesar 3,5% dari populasi suatu negara sudah cukup untuk mengguncang tatanan kekuasaan.

Aksi massa di Yogyakartaa tidak lahir dari ruang hampa. Kota ini menyimpan sejarah panjang resistensi sipil: dari gerakan mahasiswa 1998 yang menjatuhkan Orde Baru, hingga solidaritas kultural dalam isu penggusuran lahan seperti Wadas.

Mahasiswa Yogyaarta tak hanya turun ke jalan—mereka juga menciptakan kultur kritis melalui ruang baca, diskusi kolektif, hingga kanal jurnalisme akar rumput.

Baca Juga: Bus Mahasiswa Universitas Pendidikan Sultan Idris di Malaysia Kecelakaan, 15 Orang Dilaporkan Tewas

Di tengah dominasi narasi teknokratis tentang politik (politik adalah kebijakan, data, dan diplomasi), aksi massa menjadi pengingat bahwa politik adalah afek, keberpihakan, dan risiko.

Ia bukan antitesis demokrasi, melainkan fondasinya yang paling otentik.

Dalam studi oleh Sidney Tarrow Power in Movement, 2011, aksi kolektif dilihat sebagai siklus politik yang mengkristal dari peluang dan ketimpangan. Artinya, ketika ruang formal politik dibekap atau disetir oleh elit, aksi massa mengambil alih panggung. Yang menarik: semakin disingkirkan, semakin ia menjadi sah.

Baca Juga: Film Dokumenter Tanah Kitai Karya Mahasiswa Universitas Indonesia Raih Penghargaan di Sony Future Filmmaker Awards

Maka, yang kita saksikan di Yogyakarta bukan sekadar teatrikal. Ini adalah ekspresi politik warga dalam bentuk paling mentah. Dan di dalamnya, ada percikan harapan bahwa demokrasi bisa lebih dari sekadar bilik suara.***

Sumber:

Sidney Tarrow Power in Movement, 2011.

Why Civil Resistance Works (2011), Erica Chenoweth dan Maria Stephan.

Halaman:

Berita Terkait