
Kata “mabrur” sering diucap, tapi jarang dipahami. Rasulullah SAW bersabda: “Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi Nabi tidak menyebut detail teknisnya. Mabrur bukan sekadar “sah” secara fiqih. Para ulama memberi tafsir yang lebih luas:
• Imam Nawawi menyebut, haji mabrur adalah yang dilakukan dengan ikhlas, bebas dari dosa dan diiringi amal saleh.
Baca Juga: BP Haji Bertemu Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, Bahas Persiapan Penyelenggaraan Haji
• Ibnu Hajar mengatakan, mabrur berasal dari al-birr, yakni kebaikan yang sempurna.
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai haji yang tidak tercampur dengan kefasikan dan dosa.
Lalu siapa yang menentukan seseorang telah meraih mabrur? Bukan negara, bukan pembimbing haji, bukan pula rombongan. Hanya Allah yang tahu.
Baca Juga: Kemlu RI: 6 Warga Indonesia Meninggal Dalam Kecelakaan Bus Rombongan Umrah di Arab Saudi
Antara Fiqih dan Tasawuf
Secara fiqih, aku sudah menjalankan semuanya: ihram, wukuf, mabit, tawaf, sai, lempar jumrah, tahallul. Semua sesuai tuntunan. Tapi apakah syariat yang tertunaikan otomatis menghadirkan makna batin?
Di sinilah tasawuf bicara. Dalam kaca mata sufisme, haji adalah perjalanan simbolik:
Baca Juga: Orasi Denny JA: Umrah di Era Artificial Intelligence
Seorang sufi berkata: “Pergilah ke Ka'bah, tapi jangan lupakan rumah hatimu. Di sanalah Tuhan sebenarnya menunggu.”