DECEMBER 9, 2022
People & Lifestyle

Butet Manurung, Membawa Sekolah ke Hutan

image
Foto Butet Manurung (sumber: Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Benarkah sekolah harus dilakukan di dalam ruangan, di gedung tinggi nan mewah, dengan kurikulum yang terus berganti? Faktanya, definisi sekolah tak selalu begitu. Sekolah bisa dilakukan di rumah, jalanan, penjara, bahkan di dalam hutan, seperti yang dilakukan oleh Saur Marlina Manurung (Butet Manurung).

Butet menyusuri hutan lebat di pedalaman Jambi bukan untuk menaklukkan alam, tapi untuk memberi hak akses pendidikan pada mereka yang sering terlupakan, yaitu Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.

Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972,  memulai aksinya sekitar tahun 2003. Kala itu, Butet bekerja sebagai fasilitator pendidikan pada salah satu lembaga konservasi di Jambi.  itulah yang mengantarkannya mengenal komunitas Orang Rimba.

Baca Juga: Mensos Saifullah Yusuf: Empat Sekolah Rakyat Beroperasi di Sumatra Utara Tahun Ini

Bukan hal mudah bagi perempuan berdarah Batak ini untuk masuk, apalagi bersahabat dan hidup bersama Orang Rimba. Dicurigai sebagai antek asing, ditolak, dan diusir, sudah menjadi “makanan” hari-hari bagi Butet.

Tapi Butet adalah perempuan “keras kepala”. Tantangan yang datang tak menghentikan tekadnya untuk mendidik mereka yang tak tersentuh pendidikan. Justru di sanalah Butet menemukan kekuatannya: pendidikan bukan hanya soal menulis angka dan membuka buku, tapi juga membuka mata dan hati. Pendidikan bukan hanya soal nilai rapor, tapi soal nilai hidup.

Dengan berbekal ransel, sandal jepit, dan baju kaos sederhana, Butet rela hidup di hutan. Belajar bahasa orang rimba, mandi di sungai, tidur di pondok yang terbuat dari rumbia, makan dan minum laiknya orang rimba, ia lakoni, demi benar-benar menyatu dengan masyarakat setempat.

Baca Juga: Jakarta Mulai 2025/2026 akan Uji Coba Sekolah Swasta Gratis

Lalu Sokola Rimba pun lahir. Sekolah ini tak sama dengan sekolah umum yang kita saksikan di kota-kota. Tapi ini adalah ruang pembelajaran yang kontekstual, sesuai dengan kondisi masyarakat adat setempat.

Di Sokola Rimba, anak-anak memang diajarkan baca, tulis, hitung. Namun, tak mencabut akar budaya lokal. Mereka juga bebas belajar di mana saja: di bawah pohon, di pinggir sungai, sambil menjaga adik, bahkan sambil berjalan. Yang penting, ilmunya sampai.

Setelah puluhan tahun berlalu, kini Sokola Rimba menjadi sebuah gerakan besar. Bukan lagi hanya di pedalaman hutan Jambi, tapi menyebar ke pelosok Indonesia lainnya, dari Flores, Halmahera, sampai Asmat.

Baca Juga: Malala Yousafzai, Bertaruh Nyawa Demi Sekolah

Lulusn S2 di bidang Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif di Australian National University, Canberra, ini  telah membuktikan bahwa keadilan bisa dimulai dari satu kata: mengajar. Dan bahwa pendidikan tak harus menunggu ruang kelas,  kurikulum yang sempurna, dengan biaya mahal tapi tak terjangkau oleh sebagian orang.

Halaman:

Berita Terkait