Perang Hancurkan Harapan dan Mimpi Anak-Anak Sudan
- Penulis : Mila Karmila
- Selasa, 03 Juni 2025 04:40 WIB

ORBITINDONESIA.COM -- Muayad Kamel (13) berjalan menyusuri pasar pusat di Khartoum bagian selatan, sembari menggenggam sebuah kotak plastik kecil yang berisi tasbih, tisu, dan miswak, ranting pembersih gigi. Setiap langkahnya mencerminkan beban yang terlalu berat untuk orang seusianya.
Pasar tersebut, yang terletak di sekitar terminal bus yang dulunya ramai, perlahan-lahan mulai hidup kembali, diiringi suara teriakan para pedagang dan dengungan konstan dari mesin genset, yang merupakan satu-satunya sumber listrik.
Kamel menyelinap dengan tenang di antara kendaraan-kendaraan yang terparkir, melewati deretan bus yang setengah terisi. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dia mengangkat kotak ke arah jendela bus untuk menawarkan dagangannya.
Baca Juga: Indonesia Terbangkan Bantuan Kemanusiaan ke Yaman, Palestina, Sudan, Senin Malam Ini
Debu halus menempel di wajah dan pakaian yang sudah usang akibat terik matahari sepanjang hari. "Dulu saya termasuk salah satu murid berprestasi," katanya lirih, ketika ditanya alasan dia berhenti sekolah. "Namun, sekarang saya harus membantu keluarga saya."
Ayahnya sedang sakit dan dia memiliki beberapa adik. Setiap hari, Kamel bekerja lebih dari 10 jam, mulai sejak pagi dan pulang sebelum matahari tenggelam. Pada hari yang baik, penghasilannya bisa mencapai sekitar 5.000 pound Sudan (1 pound Sudan = Rp27).
"Ini tidak cukup untuk sekadar membeli kacang fava untuk dimakan keluarga saya," katanya sambil menyeka keringat di dahinya. "Namun, saya senang bisa membantu. saya hanya berharap mimpi buruk ini segera berakhir, dan kami bisa kembali ke kehidupan yang normal," tambahnya sembari tersenyum tipis.
Baca Juga: Dubes Sunarko: Indonesia Terus Dorong Pemerintah Sudan untuk Rekonsiliasi dan Gencatan Senjata
Di balik senyuman itu tersimpan kesedihan yang mendalam, kesedihan yang dirasakan oleh anak-anak Sudan yang tak terhitung jumlahnya, yang kehidupannya dihancurkan oleh perang yang sedang berlangsung antara Angkatan Bersenjata Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF).
Memasuki tahun ketiga konflik, anak-anak harus menanggung beban yang berat, dengan kehidupan, pendidikan, dan harapan mereka untuk masa depan berada di ujung tanduk. Menurut laporan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dirilis pada 15 April, jumlah anak-anak yang membutuhkan bantuan kemanusiaan meningkat dua kali lipat, dari 7,8 juta di awal 2023 menjadi lebih dari 15 juta pada 2025.
Di sebuah sekolah darurat yang didirikan oleh para aktivis di kawasan permukiman Al-Inqaz di Khartoum, Muram (10) duduk di lantai, dengan teliti menggambar burung merpati di buku catatannya. "Saya belajar bahwa burung merpati adalah simbol perdamaian, dan saya berdoa agar perdamaian menyebar ke seluruh negeri dan kehidupan akan kembali normal," katanya dengan suara penuh harapan.
Baca Juga: Tiga Staf Kantor Program Pangan Dunia PBB Tewas Dalam Serangan di Sudan
Muram merupakan salah satu dari sekitar 15 anak yang bersekolah di sekolah sementara tersebut, sebuah upaya sederhana untuk mengembalikan semangat belajar dan rutinitas setelah pendidikan terhenti secara tiba-tiba akibat pecahnya konflik pada pertengahan April 2023.
Tanpa meja, atau kursi, serta perlengkapan yang memadai, sekolah ini mengandalkan metode improvisasi agar tetap berjalan, mencerminkan kesulitan ekonomi yang lebih luas. Namun demikian, Muram tampak berseri karena mendapat kesempatan untuk belajar kembali. "Saya kehilangan tas sekolah, buku, dan pulpen karena perang," katanya," tapi saya senang bisa kembali bersekolah."
Muram merindukan teman-teman dan rekan sekelasnya yang dia tinggalkan di sekolah asalnya. "Banyak teman sekelas saya yang mengungsi ke daerah lain dan sekarang tinggal di kamp-kamp," ujarnya. "Perang telah merenggut mimpi kami untuk belajar dan memaksa kami meninggalkan rumah."
Baca Juga: PBB: Sudan Menjadi Satu-satunya Tempat di Dunia Kasus Kelaparan Masih Ditemukan
"Lebih dari 17 juta anak tak bersekolah akibat perang dan dampaknya yang menghancurkan," tutur Abdul Qadir Abdullah Abu, sekretaris jenderal Dewan Kesejahteraan Anak Nasional (National Council for Child Welfare/NCCW) Sudan.
"Jutaan orang tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau tempat tinggal, sementara yang lainnya mengungsi dan hidup sebagai pengungsi," ungkap Abu kepada Xinhua.
Dia memperkirakan sekitar 8 juta anak mengungsi di wilayah Sudan, dan 1,5 juta lainnya telah melarikan diri dan menjadi pengungsi di negara lain.
Baca Juga: Lagi-lagi Standar Ganda, AS Bantah Terjadi Genosida di Gaza Meski Sebut Ada Genosida di Sudan
Menurut UNICEF, Sudan sedang bergulat dengan krisis pengungsian anak terbesar di dunia, yang membahayakan masa depan 24 juta warga termudanya.
Di sebuah kamp pengungsian di Port Sudan, yang saat ini menjadi ibu kota sementara Sudan, Kamal (11) mencoba memainkan alat musik yang disediakan oleh sebuah band lokal dalam sebuah acara hiburan yang langka bagi anak-anak.
Meski dia berusaha menyembunyikannya, kesedihan terlihat jelas di wajah Kamal. Jari-jemarinya gemetar saat memainkan alat musik tersebut, memperlihatkan ketegangan dan ketakutan yang membebani pikirannya yang masih muda.
Baca Juga: Turki Serukan Gencatan Senjata di Tengah Meningkatnya Konflik Sudan
"Saya tidak betah di sini," kata Kamal dengan suara pelan. "Kami dulu memiliki rumah yang indah di Khartoum, dan saya berharap kami bisa kembali ke sana."
Kamal kini tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya di sebuah kamp yang didirikan di dalam sebuah sekolah di kawasan permukiman Al-Sika Hadeed, Port Sudan. Ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.
Meski keluarganya telah berada di sini selama lebih dari satu tahun, Kamal masih belum bisa menyesuaikan diri, dan menggambarkan tempat itu sebagai sesuatu yang "asing dan sepi."
Baca Juga: Ketegangan Meningkat, PBB Peringatkan Sudan Selatan di Ambang Kehancuran
"Tidak ada tempat bermain di sini, dan ibu saya tidak mengizinkan saya keluar rumah. Saya merasa terkungkung," katanya.
Tinggal di kamp pengungsian menimbulkan tantangan serius bagi anak-anak, ujar psikolog Sudan, Ibtisam Al-Tayeb. "Ruang-ruangnya sangat sempit, dengan sering kali tiga atau empat keluarga terpaksa berbagi satu kamar atau ruang kelas," jelasnya.
"Tumbuh di kamp pengungsian meninggalkan dampak jangka panjang pada perilaku, pemikiran, hubungan, dan kesehatan mental anak-anak," paparnya kepada Xinhua.
Baca Juga: Komisi Nasional HAM: Korban Tewas Serangan di Al-Nahud Sudan Bertambah Jadi 300 Warga Sipil
"Kami khawatir masa depan anak-anak ini akan dibentuk oleh warisan ketidaktahuan, kekerasan, dan pengungsian, sebuah beban yang dapat memberatkan generasi yang akan datang," imbuhnya.***