DECEMBER 9, 2022
Internasional

Perang Hancurkan Harapan dan Mimpi Anak-Anak Sudan

image
Para siswa berjalan dalam barisan saat meninggalkan sekolah mereka di Port Sudan, sebuah kota pelabuhan di Sudan timur, pada 26 Februari 2025. (Xinhua/Fayez Elzaki)

Tanpa meja, atau kursi, serta perlengkapan yang memadai, sekolah ini mengandalkan metode improvisasi agar tetap berjalan, mencerminkan kesulitan ekonomi yang lebih luas. Namun demikian, Muram tampak berseri karena mendapat kesempatan untuk belajar kembali. "Saya kehilangan tas sekolah, buku, dan pulpen karena perang," katanya," tapi saya senang bisa kembali bersekolah."

Muram merindukan teman-teman dan rekan sekelasnya yang dia tinggalkan di sekolah asalnya. "Banyak teman sekelas saya yang mengungsi ke daerah lain dan sekarang tinggal di kamp-kamp," ujarnya. "Perang telah merenggut mimpi kami untuk belajar dan memaksa kami meninggalkan rumah."

"Lebih dari 17 juta anak tak bersekolah akibat perang dan dampaknya yang menghancurkan," tutur Abdul Qadir Abdullah Abu, sekretaris jenderal Dewan Kesejahteraan Anak Nasional (National Council for Child Welfare/NCCW) Sudan.

Baca Juga: Indonesia Terbangkan Bantuan Kemanusiaan ke Yaman, Palestina, Sudan, Senin Malam Ini

"Jutaan orang tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau tempat tinggal, sementara yang lainnya mengungsi dan hidup sebagai pengungsi," ungkap Abu kepada Xinhua.

Dia memperkirakan sekitar 8 juta anak mengungsi di wilayah Sudan, dan 1,5 juta lainnya telah melarikan diri dan menjadi pengungsi di negara lain.

Menurut UNICEF, Sudan sedang bergulat dengan krisis pengungsian anak terbesar di dunia, yang membahayakan masa depan 24 juta warga termudanya.

Baca Juga: Dubes Sunarko: Indonesia Terus Dorong Pemerintah Sudan untuk Rekonsiliasi dan Gencatan Senjata

Di sebuah kamp pengungsian di Port Sudan, yang saat ini menjadi ibu kota sementara Sudan, Kamal (11) mencoba memainkan alat musik yang disediakan oleh sebuah band lokal dalam sebuah acara hiburan yang langka bagi anak-anak.

Meski dia berusaha menyembunyikannya, kesedihan terlihat jelas di wajah Kamal. Jari-jemarinya gemetar saat memainkan alat musik tersebut, memperlihatkan ketegangan dan ketakutan yang membebani pikirannya yang masih muda.

"Saya tidak betah di sini," kata Kamal dengan suara pelan. "Kami dulu memiliki rumah yang indah di Khartoum, dan saya berharap kami bisa kembali ke sana."

Baca Juga: Tiga Staf Kantor Program Pangan Dunia PBB Tewas Dalam Serangan di Sudan

Kamal kini tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya di sebuah kamp yang didirikan di dalam sebuah sekolah di kawasan permukiman Al-Sika Hadeed, Port Sudan. Ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.

Halaman:
Sumber: Xinhua

Berita Terkait