In Memoriam Harry Wibowo: Jejak Langkah Aktivis-Pemikir yang tak Pernah Mundur
- Penulis : Rhesa Ivan
- Senin, 19 Mei 2025 08:07 WIB

Ia membawa bersamanya pemikiran Karl Marx, Max Horkheimer, Erich Fromm, Ivan Illich, Paulo Freire. Mereka semua hidup dalam cara Harwieb berbicara.
Bandung menjadi ladang tempat dia menanam ide-ide progresif dengan cara yang elegan. Ia bukan tukang teriak, tapi pemantik bara.
Bicaranya tenang, penuh kutipan, namun suaranya membuat ruang menjadi sunyi. Karena kami tahu, kami sedang menyimak seseorang yang bukan hanya membaca buku, tapi dihidupi oleh buku.
Baca Juga: Sektor Wisata Berdenyut Kencang, Ekonomi Bali Bangkit
Kala itu orang luar menyebut generasi kami “perpustakaan berjalan.” Dan Harwieb adalah jilid lengkapnya.
Ia pembaca setia Pedagogy of the Oppressed. Ia meyakini pendidikan bukan alat domestikasi, tapi alat pembebasan. Dalam pikirannya, mahasiswa tak cukup sekadar turun ke jalan. Ia harus turun ke akar gagasan. Jika tidak, ia hanya jadi megafon, bukan mercusuar.
Dari 1986 hingga 1991, saya dan Harwieb kerap bertemu. Di sudut warung kopi atau ruang seminar yang pengap, kami membangun dunia. Lalu saya melanjutkan studi ke Amerika. Tujuh tahun terlewat.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA Menyambut Waisak: Bunga Meditasi untuk Tina Turner
Dan, ketika saya pulang, arah hidup kami menyebar, namun mata air asalnya tetap sama.
-000-
Saya lalu menjadi host televisi, membangun lembaga survei, menulis kolom, bahkan merambah ke bisnis dan tambang. Namun akar saya tak berubah: aktivisme dan pemikiran.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menemukan Jalan Karier Sejati
Harwieb tetap teguh di jalur sunyi. Ia bekerja di Prisma, jurnal bergengsi yang menjadi pelabuhan para pemikir.