Catatan Denny JA: Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Tuan Tanah
- Penulis : Arseto
- Kamis, 08 Mei 2025 19:26 WIB

46 persen tanah non-hutan dikuasai oleh hanya 60 keluarga perusahaan besar
ORBITINDONESIA.COM - Sore itu, angin menyapu ladang-ladang kecil di Padang Halaban. Matahari masih menyisakan cahaya lembut yang jatuh di tanah cokelat, tempat tanaman ubi dan pisang tumbuh dalam keheningan.
Di sebuah pondok kayu yang mulai rapuh, duduk seorang nenek tua bernama Samini.
Baca Juga: Catatan Denny JA: PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists
Ia berusia 77 tahun. Sehari-harinya ia menanam apa yang bisa ditanam dengan tangan renta, demi bertahan hidup seorang diri.
Suaminya sudah tiada. Anak cucunya tak lagi tinggal bersamanya. Yang ia miliki hanyalah tanah kecil tempatnya menyemai hidup dan harapan.
Tapi hari itu, surat dari pengadilan datang. Bukan kabar tentang bantuan atau keadilan, melainkan keputusan eksekusi. Tanah yang ia tempati, bersama warga lainnya, dinyatakan sah dimiliki oleh sebuah perusahaan besar. Seluas 83,5 hektar akan diambil paksa. (1)
Baca Juga: Catatan Denny JA: Perkuat Budaya Lokal Melalui Festival Internasional
“Kalau digusur, mau ke mana lah aku, nak, karena aku sebatang kara di sini…” katanya lirih, ketika diwawancarai oleh Mongabay.
“Sepanjang Rabu sampai Jumat, banyak aparat berpakaian preman mondar-mandir ke desa kami. Kami takut.”
Nenek Samini tak mengerti hukum. Tapi ia tahu satu hal: tanah ini tempat ia hidup, berdoa, dan menua. Kini semua itu terancam lenyap oleh selembar surat dan kekuatan tak terlihat yang disebut "hak hukum".
Baca Juga: Catatan Denny JA: Olahraga Padel Segera Naik Daun di Indonesia
Di saat yang sama, jauh dari ladang Samini, satu keluarga pemilik konsesi 1,8 juta hektar tanah duduk di ruang rapat berpendingin udara, membicarakan ekspansi dan laba.
Ini bukan fiksi. Ini Indonesia, tahun 2025.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Tumbuh Bersama Dongeng Walt Disney
Tak banyak yang menyangka bahwa sebuah pengumuman dari pejabat negara bisa terdengar seperti sirene darurat di tengah sunyi. Namun begitulah pernyataan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, pada 5 Mei 2025. (2)
Ia tidak sekadar membacakan angka. Ia membuka luka lama bangsa ini—luka yang membelah antara tanah dan rakyatnya.
Dari 170 juta hektar daratan Indonesia, 70 juta hektar adalah kawasan non-hutan. Dari angka itu, 46 persen—sekitar 30 juta hektar—dikuasai oleh hanya 60 keluarga besar. Dan satu keluarga saja menguasai 1,8 juta hektar.
Sedangkan Samini, yang hanya menempati sepetak tanah warisan nenek moyangnya, harus bersiap diusir oleh aparat.
Apakah ini yang kita bayangkan dari negeri yang katanya merdeka?
Apakah ini makna dari ‘Tanah Air’ yang kita lantunkan dalam lagu kebangsaan?
Ketimpangan bukan hanya statistik. Ia adalah luka yang terasa nyata di tubuh bangsa. Dan luka ini berbahaya karena melukai tiga sendi kehidupan bangsa:
Pertama, mengikis keadilan sosial.
Saat tanah—sumber utama penghidupan—dimiliki oleh segelintir elite, maka peluang untuk hidup layak bagi rakyat kecil terkubur bersama akar tanaman mereka. Yang diwariskan bukan kesejahteraan, tapi ketimpangan.
Kedua, memicu konflik agraria.
Tak perlu letusan senjata.
Cukup surat, pagar kawat, dan aparat. Dalam diam, petani dan warga tergusur. Banyak yang memilih diam. Tapi banyak pula yang melawan.
Mereka tahu mereka kalah bahkan sebelum perlawanan dimulai. Tapi demi survival, melawan kadang menjadi satu satunya pilihan tersisa.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat ratusan konflik setiap tahun—dari Sumatera hingga Papua.
Ketiga, menghambat produktivitas dan ketahanan pangan.
Petani kecil seperti Samini menanam dengan cinta, bukan hanya untuk laba. Tanah mereka hidup, subur, penuh semangat.
Tapi korporasi sering menjadikan lahan sebagai aset, bukan ladang. Banyak yang menjadi lahan tidur. Sementara rakyat kekurangan pangan, tanah justru menganggur.
-000-
Bagaimana ini bisa terjadi? Kita harus menoleh ke sejarah:
Pertama, warisan kolonial yang belum tuntas.
Sistem agraria Hindia Belanda meletakkan tanah di tangan segelintir elite. Setelah kemerdekaan, cita-cita reforma agraria sempat bersinar dalam UUPA 1960. Tapi semangat itu dihentikan oleh kepentingan politik dan ketakutan rezim.
Kedua, aliansi kekuasaan dan modal.
Sejak Orde Baru hingga era demokrasi hari ini, tanah dijadikan alat politik. Konsesi diberikan kepada kroni, proyek strategis mengorbankan rakyat, dan ‘izin’ menjadi senjata ampuh merampas hidup. Tanah bukan lagi milik rakyat, tapi milik kekuasaan.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum dan keterbukaan data.
Tumpang tindih sertifikat, mafia tanah, penghilangan peta adat, semuanya menunjukkan negara yang abai pada rakyat kecil. Ketika hukum memihak kekuatan, maka keadilan menjadi asing di kampung sendiri.
Namun sejarah juga memberi harapan. Lihat Korea Selatan dan Taiwan.
Keduanya hancur pasca Perang Dunia II. Tapi mereka sadar: bangsa tidak bisa dibangun di atas ketimpangan.
Pemerintah membeli tanah dari tuan tanah besar dan membagikannya kepada petani. Mereka menciptakan keadilan sebelum kemakmuran. Hasilnya? Pertanian tumbuh, demokrasi stabil, masyarakat lebih setara.
Korea Selatan hari ini memang terkenal karena teknologi dan musik. Tapi keadilan tanah adalah pondasi pertama mereka. Taiwan hari ini jadi pusat chip dunia. Tapi mereka dulu adalah petani-petani kecil yang diberi tanah dan harapan.
-000-
Indonesia bisa. Tapi harus memilih jalan yang benar.
Apakah kita ingin menjadi negara tuan tanah—tempat rakyat menjadi tamu di tanahnya sendiri?
Atau menjadi bangsa yang kokoh karena akar keadilannya dalam?
Langkah-langkahnya jelas:
1. Batasi kepemilikan lahan.
Tak perlu seseorang punya ratusan ribu hektar. Batasi: misalnya 500 hektar untuk individu, 1000 hektar untuk korporasi non-pangan.
2. Digitalisasi dan buka data pertanahan.
Biarkan rakyat tahu siapa pemilik tanah di desanya. Transparansi membunuh kegelapan.
3. Bangkitkan reforma agraria berbasis komunitas lokal dan adat.
Tanah ulayat, tanah adat, harus kembali diakui. Mereka lebih tua dari republik ini.
4. Kenakan pajak progresif atas lahan tidur.
Tanah yang tak diolah harus kena biaya tinggi. Berikan insentif bagi yang menghidupkan tanah.
5. Bentuk lembaga seperti SAFER di Prancis.
Lembaga independen ini membeli tanah dari pemilik besar dan menjualnya ke petani. Negara hadir sebagai penyeimbang, bukan sekadar penonton.
Namun, implementasi pembatasan kepemilikan lahan dan reforma agraria membutuhkan langkah teknis yang terukur dan pengawasan yang ketat.
Pemerintah perlu membangun sistem pendaftaran tanah berbasis digital yang terintegrasi dengan data kependudukan. Setiap transaksi dan perubahan kepemilikan dapat dipantau secara real-time.
Selain itu, perlu dibentuk tim pengawas independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga adat untuk memastikan distribusi lahan berjalan transparan dan adil.
Evaluasi berkala dan audit publik harus menjadi bagian dari proses ini, sehingga setiap penyimpangan dapat segera dikoreksi.
Dengan pendekatan teknis yang jelas dan partisipasi publik yang kuat, reforma agraria tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar mewujudkan keadilan sosial di akar rumput.
-000-
Di desa-desa Indonesia, tanah bukan sekadar properti. Ia adalah harta suci yang dirawat sehari-hari. Di atasnya tumbuh cinta, di bawahnya terkubur doa-doa leluhur.
Jika kita membiarkan tanah hanya dikuasai segelintir orang, kita sedang mencabut akar bangsa ini. Kita sedang menciptakan negeri tanpa pijakan.
Jangan sampai Indonesia menjadi negeri yang rakyatnya terusir dari ladang sendiri. Jangan sampai harapan tumbuh di atas aspal, bukan tanah.
Bayangkan suatu hari, cucu Samini berdiri di ladang yang pernah diolah neneknya. Ia menanam bukan hanya tanaman, tapi juga masa depan. Ia tak perlu takut diusir. Ia tahu tanah itu milik rakyat.
Kini waktunya kita memilih:
Apakah tanah akan jadi alat kekuasaan? Atau sumber kehidupan?
Karena sejatinya, bangsa yang besar bukan yang paling kaya lahannya, tapi yang paling adil membaginya.***
Jakarta, 8 Mei 2025
CATATAN
1. Kisah nenek Samini yang kehilangan tanah;
• Mongabay Indonesia, “Banyak Lansia, Petani Padang Halaban Was-was Penggusuran” (5 Maret 2025)
2. Menteri Nusron Wahid memberitakan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World