DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Tuan Tanah

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

46 persen tanah non-hutan dikuasai oleh hanya 60 keluarga perusahaan besar

ORBITINDONESIA.COM - Sore itu, angin menyapu ladang-ladang kecil di Padang Halaban. Matahari masih menyisakan cahaya lembut yang jatuh di tanah cokelat, tempat tanaman ubi dan pisang tumbuh dalam keheningan. 

Di sebuah pondok kayu yang mulai rapuh, duduk seorang nenek tua bernama Samini.

Baca Juga: Catatan Denny JA: PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists

Ia berusia 77 tahun. Sehari-harinya ia menanam apa yang bisa ditanam dengan tangan renta, demi bertahan hidup seorang diri. 

Suaminya sudah tiada. Anak cucunya tak lagi tinggal bersamanya. Yang ia miliki hanyalah tanah kecil tempatnya menyemai hidup dan harapan.

Tapi hari itu, surat dari pengadilan datang. Bukan kabar tentang bantuan atau keadilan, melainkan keputusan eksekusi. Tanah yang ia tempati, bersama warga lainnya, dinyatakan sah dimiliki oleh sebuah perusahaan besar.  Seluas 83,5 hektar akan diambil paksa. (1)

Baca Juga: Catatan Denny JA: Perkuat Budaya Lokal Melalui Festival Internasional

“Kalau digusur, mau ke mana lah aku, nak, karena aku sebatang kara di sini…” katanya lirih, ketika diwawancarai oleh Mongabay. 

“Sepanjang Rabu sampai Jumat, banyak aparat berpakaian preman mondar-mandir ke desa kami. Kami takut.”

Nenek Samini tak mengerti hukum. Tapi ia tahu satu hal: tanah ini tempat ia hidup, berdoa, dan menua. Kini semua itu terancam lenyap oleh selembar surat dan kekuatan tak terlihat yang disebut "hak hukum".

Baca Juga: Catatan Denny JA: Olahraga Padel Segera Naik Daun di Indonesia

Di saat yang sama, jauh dari ladang Samini, satu keluarga pemilik konsesi 1,8 juta hektar tanah duduk di ruang rapat berpendingin udara, membicarakan ekspansi dan laba.

Halaman:

Berita Terkait