Puisi Esai Mila Muzakkar: Pejuang Keadilan Itu Bernama Marsinah
- Penulis : Abriyanto
- Kamis, 01 Mei 2025 07:32 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Puisi esai ini dibuat untuk merayakan Hari Buruh, dengan mengangkat kisah Marsinah, aktivis buruh perempuan, yang ditemukan meninggal dengan kondisi penuh luka di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur, 8 Mei 1993.
-000-
Sengatan matahari membakar Sidoarjo pagi itu.
Di depan pabrik yang menjanjikan hidup,
puluhan buruh perempuan berbaju hitam dan wajah letih,
menggenggam tuntutan yang tak kunjung ditanggapi.
0
“Berikan hak kami! Naikkan upah kami!”
suara itu menampar langit berulang-ulang,
seperti doa yang tak pernah didengar langit pabrik.
Mereka adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) (¹)
0
Di barisan depan
seorang perempuan berdiri seperti batu karang,
rambut hitam lebat dibiarkan terurai apa adanya,
tangan kanannya terkepal ke langit.
0
“Kalau mereka tetap diam, kita mogok kerja!”
Ucap Marsinah lantang.
0
“Kau gila, ya? Bisa-bisa kita semua dipecat!” bisik temannya.
“Lebih baik dipecat daripada diinjak!” perempuan itu tegas menjawab.
0
Ia bukan sekadar buruh.
Ia membaca koran, menyusun logika,
berdebat dengan manajer yang sok tahu soal undang-undang.
0
Dialah Marsinah, buruh perempuan yang memimpin demo pagi itu.
“Tak usah kerja hari ini!”
“Tinggalkan mesin! Kita manusia, bukan robot!”
0
Dari dalam kawasan pabrik, seorang lelaki berkemeja putih,
manajer perusahaan, datang bersama aparat.
Wajahnya dingin. Baginya, barisan buruh ini hanya daun-daun kering yang berserakan di jalan.
“Kalian pikir bisa seenaknya?” ucapnya sinis.
0
Di ujung jalan, sebuah mobil hijau loreng mendekat.
Puluhan lelaki berseragam loreng, bersenjata lengkap, membawa perintah.
0
13 buruh perempuan ditangkap. Mereka dituduh mengadu domba demonstran.
dengan kasar mereka digiring ke Markas Kodim Sidoarjo. (²)
0
Marsinah meradang. Hatinya mendidih. Perempuan baja itu tak tinggal diam melihat teman-temannya diciduk seperti maling.
“Aku harus ke Kodim malam ini.” Hatinya mantap.
0
Malam itu, berbekal keberanian penuh, Marsinah melesat cepat ke Kodim seorang diri.
0
Gelap menyelimuti Porong.
Awan makin kelabu. Jalan-jalan terasa sunyi, gelap. Marsinah tenggelam dalam malam.
0
8 Mei 1993. Di sebuah gubuk reyot di hutan Dusun Jegong, Nganjuk,
tubuh Marsinah ditemukan kaku, lebam, sobek, berdarah.
Tubuhnya memar. Ususnya keluar.
Ada luka tembak di dekat vaginanya. (³)
0
Marsinah memang telah mati.
Tapi mereka lupa, Marsinah tak benar-benar mati.
kematiannya tak membungkam suaranya.
Ia berkembang-biak dalam dada jutaan perempuan.
0
“Kau pikir suaraku bisa dibunuh?”
tanya Marsinah dari balik batu nisan.
0
Marsinah masih di sini.
Di jalan-jalan setiap 1 Mei.
Ia hidup kembali di teriakan buruh, di spanduk yang sobek,
di langkah kaki yang gemetar tapi tetap melangkah.
0
Marsinah telah gugur.
Tapi kini,
jutaan Marsinah lainnya
lahir di lorong-lorong sempit,
di pabrik dan rumah kontrakan,
di sawah dan pelabuhan,
di desa dan kota,
meneruskan suaranya:
keadilan tak boleh lagi dipungut paksa oleh senapan.***
Depok, 1 Mei 2025 (Hari Buruh)
CATATAN:
*Puisi esai ini berkolaborasi dengan artificial intelligence (AI).
1. PT Catur Putra Surya (CPS) adalah perusahaan tempat Marsinah bekerja. Ia dan para buruh lain menuntut kenaikan upah minimum sesuai SK Gubernur Jatim No. 50/1993.
2. 13 buruh perempuan ditahan di Markas Kodim Sidoarjo tanpa prosedur hukum yang jelas. Marsinah mendatangi Kodim untuk meminta kejelasan.
3. Hasil otopsi menyebutkan tubuh Marsinah mengalami penyiksaan berat: memar, luka senjata tumpul, dan luka tembak di dekat alat kelamin. Diduga kuat ia disiksa oleh aparat. Hingga kini, pelaku sesungguhnya belum diadili secara transparan.