DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: SATUPENA Rayakan 23 Penulis Besar di 23 Provinsi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - “Mereka yang menulis dengan hati, adalah penjaga cahaya di lorong panjang peradaban.”

— Tagore

Di balik setiap kata yang ditulis,

Ada denyut sejarah dan suara nurani.

Penulis adalah penjaga ingatan,

Yang menyalakan obor makna di gelap zaman ini.

Pagi itu, seorang anak di Padang duduk membaca novel Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” (1938). Novel ini bukan hanya salah satu karya sastra klasik terbesar dalam sejarah Indonesia, tapi juga sebuah refleksi mendalam tentang masyarakat, tradisi, agama, dan cinta.

Di bawah rindangnya pohon ketapang, ia tersentuh oleh kisah cinta yang terhalang oleh adat dan status sosial. Ia meneteskan air mata merenungkan kedalaman makna novel itu, soal bagaimana manusia menemukan makna hidup melalui penderitaan, pengorbanan, dan keikhlasan.

Di malam hari, seorang mahasiswa di Makassar membacakan cerpen Rahman Arge dalam pertemuan para aktivis.

Ia membacakan cerpen berjudul: “Gerobak” (1980-an). Cerpen ini menggambarkan kehidupan seorang pria tua yang bekerja keras menarik gerobak. Itu dilakukan untuk menghidupi keluarganya di tengah kemiskinan kota.

Cerpen itu menyoroti ketidakadilan sosial dan pentingnya empati terhadap perjuangan kaum marginal dalam masyarakat.

Sedangkan di Yogyakarta, sebuah renungan mengenai SH Mintardja menyentuh hati para peserta. Novel karyanya, “Api di Bukit Menoreh” (1967), bercerita betapa kepahlawanan itu bukan hanya soal keberanian bertempur, tapi kematangan spiritual.

Novel ini mengajarkan pahlawan sejati tak hanya mengandalkan kekuatan fisik, melainkan juga ketenangan batin, kebijaksanaan, dan rasa tanggung jawab terhadap keadilan sosial.

Semua mereka di 23 provinsi tak sedang melarikan diri dari realitas. Mereka sedang pulang—pulang kepada akar kebudayaan, kepada bahasa ibu yang ditinggikan oleh para penulis besar.

Dalam arus deras zaman, SATUPENA memilih untuk tidak hanya mengikuti derasnya teknologi dan industrialisasi. Para penulis ini memilih untuk menengok ke dalam, mengenang mereka yang telah wafat, namun karyanya masih hidup dalam jiwa bangsa.

Dari Aceh sampai Papua, tahun ini, Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA merayakan 23 penulis besar dari 23 provinsi. Mereka adalah batu penjuru kesusastraan Indonesia.

Nama para penulis itu barangkali mulai pudar dari media massa, namun tetap menyala dalam kesadaran kultural yang lebih dalam.

Mengapa Kita Perlu Merayakan Mereka? Ada tiga alasan fundamental:

Pertama, penulis besar adalah cermin batin kolektif masyarakatnya. Mereka merekam harapan, luka, cinta, dan kegelisahan bangsanya—dengan bahasa yang tak akan mati.

Kedua, perayaan atas mereka adalah pengingat bahwa kata-kata bisa mengubah dunia. Mereka menulis bukan hanya untuk menjadi abadi, tapi untuk memperbaiki realitas.

Ketiga, di tengah dunia yang makin digital dan artifisial, kita perlu fondasi rohani yang manusiawi. Dan karya-karya merekalah yang menjadi jangkar spiritual itu.

Inilah nama para penulis yang dirayakan, dan Ketua Satupena provinsi, yang menggerakkan komunitas provinsi untuk merayakannya.

1. NH Dini (Jawa Tengah) – Gunoto Saparie

2. Buya Hamka (Sumatra Barat) – Sastri Bakry

3. Dwianto Setyawan (Jawa Timur) – Akaha Taufan Aminudin

4. Motinggo Busye (Lampung) – Yusrizal Karana

5. I Gusti Ngurah Bagus (Bali) – I Wayan Suyadna

6. Ismail Marzuki (DKI Jakarta) – Nia Samsihono

7. Bur Rasuanto (Sumatra Selatan) – Anwar Putra Bayu

8. BY Tand (Burhanuddin Yusuf Tanjung) (Sumatra Utara) – Dr. Shafwan Hadi Umri

9. Suman HS (Riau) – Satria Utama

10. Hasan Junus (Kepulauan Riau) – H. Abdul Kadir Ibrahim

11. Mas Ipong (FX Purnomo) (Papua) – Vicktor Manangkey

12. Joko Pinurbo (Jawa Barat) – Antonius Wagiyo Topo Aji

13. Rahman Arge (Sulawesi Selatan) – Rusdin Tompo

14. Remmy Sylado (Sulawesi Utara) – Hamri Manoppo

15. Ali Hasjmy (Aceh) – D. Kemalawati

16. SH Mintardja (DIY) – Dhenok Kristianti

17. Hamidah (Fatimah Hasan Delais) (Bangka Belitung) – Rita Orbaningrum

18. Gerson Poyk (NTT) – Robertus Fahik

19. Muhammad Riharja (Kaltara) – Muhammad Thobroni dan Muhammad Arbain

20. Jamal T. Suryanata (Kalsel) – Muhammad Thobroni

21. Fridolin Ukur (Kalteng) – Muhammad Thobroni

22. Korrie Layun Rampan (Kaltim) –  Muhammad Thobroni

23. Munawar Kalahan (Kalbar) – Muhammad Thobroni

Beragam bentuk penghormatan telah dilakukan: mulai dari konferensi pers, publikasi media, diskusi sastra, hingga peluncuran buku dan lomba menulis. Ini bukan sekadar perayaan, tapi penghidupan kembali cahaya yang pernah dinyalakan.

-000-

Zaman sudah berubah. Kini hadir kecerdasan buatan (AI) yang bisa menulis puisi, esai, bahkan novel. Ini revolusi. Tapi juga tantangan.

Sisi positifnya: AI memperluas akses terhadap pengetahuan. Membantu penulis dalam riset. Menjadi sparring partner dalam proses kreatif.

Tapi sisi gelapnya: AI dapat memproduksi tulisan massal tanpa jiwa. Ketika manusia malas berpikir, budaya pun bisa dikuasai oleh mesin. Lalu apakah penulis manusia masih penting?

Jawabannya: ya, bahkan lebih penting dari sebelumnya. Karena hanya manusia yang bisa merasakan sakit hati, hanya manusia yang bisa menangis, hanya manusia yang bisa mencintai dalam keheningan. Dan hanya dari kedalaman itu, lahir tulisan yang menggugah.

Tahun 2023, Hollywood lumpuh. Lebih dari 11.000 penulis skenario yang tergabung dalam Writers Guild of America (WGA) melakukan mogok massal selama 148 hari.

Mereka memprotes dominasi AI dalam penulisan naskah, dan model royalti baru dari streaming platform.

Apa tuntutannya? Gaji yang adil, perlindungan dari penggantian oleh AI, dan kejelasan hak cipta.

Aksi ini tak sia-sia. Akhirnya mereka berhasil memenangkan sejumlah poin penting, termasuk pembatasan penggunaan AI dalam penulisan skenario film dan peningkatan royalti.

Ini bukan hanya tentang uang. Tapi tentang mempertahankan martabat profesi menulis.

Di antara dentuman kode biner dan mesin yang tak kenal lelah,

tetap ada tetes tinta yang tak tergantikan: air mata, mimpi, dan luka.

AI mungkin mereplikasi kata, tapi takkan sempurna mencipta rasa, tak seperti akar pohon beringin yang mencengkeram bumi,

Karya penulis adalah napas abadi yang menggetarkan zaman.

-000-

Menurut data dari The Guardian dan Authors Guild (2022), hanya 1% penulis yang bisa hidup layak dari menulis saja. Sisanya harus bekerja di tempat lain. Rata-rata pendapatan penulis fiksi di AS turun drastis dalam 10 tahun terakhir.

Di Indonesia, keadaannya bahkan lebih keras. Mayoritas penulis hidup dari mengajar, berdiskusi, atau pekerjaan lain. Sementara menulis jadi pekerjaan malam, pekerjaan hati, pekerjaan sunyi.

Namun justru dari situ, kita melihat makna baru profesi ini. Masa depan profesi penulis sedang bergeser. Ia tak lagi dilihat semata sebagai pencaharian, melainkan sebagai persembahan.

“Kata-kata itu cahaya. Dan penulis adalah mereka yang membawa lentera.” ***

Jakarta, 19 April 2025

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/16S5RapcJB/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait